Tarakan, Gelanggang Persaingan Tak Sepadan
Di tengah hiruk-pikuk di pusat perekonomian Kalimantan Utara itu, terjadi persaingan tak sepadan di etalase pusat oleh-oleh.
Kota ini tampak kontras dibandingkan kota atau kabupaten lain di Provinsi Kalimantan Utara. Kegiatan ekonomi terlihat di setiap sisi jalan. Ada saja pengunjung di beberapa toko dan restoran. Namun, di tengah hiruk-pikuk di pusat perekonomian Kalimantan Utara itu, terjadi persaingan tak sepadan di etalase pusat oleh-oleh.
Jefri (28), salah satu penjaga toko di pusat oleh-oleh Pasar Sebengkok, Tarakan Tengah, Kota Tarakan, Kalimantan Utara, tampak sibuk memberi penjelasan kepada dua pengunjung, Senin (22/7/2019). Seorang pengunjung mencari produk kemasan bubuk cokelat yang diproduksi di Malaysia. Jefri segera menunjukkan berbagai varian produk itu.
”Ini memang paling laku dan paling dicari pengunjung. Makanya, kami stok banyak,” kata Jefri.
Setelah melakukan tawar-menawar, seorang ibu membeli dua produk kemasan kakao dan sekantong ikan kering kerupuk khas Tarakan. Ikan kering pepija itu Rp 25.000 satu kemasan, sedangkan minuman bubuk kakao kemasan produksi Malaysia 3 in 1 Rp 55.000 per kemasan. Meski lebih murah, ikan kering pepija tak menarik minat pengunjung untuk membeli lebih banyak.
”Anak-anak pesan ini (menunjukkan produk kakao kemasan buatan Malaysia). Katanya memang ini yang terkenal di sini dan rasanya beda dengan yang diproduksi di Indonesia,” kata Siti Juleha (50), pembeli itu.
Jefri mengatakan, pembeli biasanya ramai di akhir pekan. Momen lain, ketika ada kunjungan dinas dari pemerintahan atau perusahaan dari luar kota ke Tarakan. Dalam sehari, setidaknya 100 bungkus produk kemasan kakao buatan Malaysia terjual di tokonya ketika sedang ramai.
Produk kemasan produksi Malaysia yang dijual tak hanya itu. Di etalase oleh-oleh, sebagian besar merupakan produk kemasan yang diproduksi Malaysia. Berbagai produk olahan kakao, susu, kopi, kue, teh, dan ginseng tertumpuk di setiap sudut toko di Pasar Sebengkok. Produk minuman dan kue kemasan yang mudah ditemui di swalayan Malaysia itu menjadi oleh-oleh ketika orang berkunjung ke Tarakan. Banyak orang Tarakan bergantung hidup dari bisnis itu.
Jefri mengatakan, setidaknya 3.000 kemasan produk kakao dengan berat 0,5 kilogram terjual dalam sebulan. Itu di luar produk kemasan lain buatan Malaysia. Setidaknya, 1.500 kilogram produk kakao kemasan itu bisa terjual dalam sebulan.
Untuk ikan pepija kering, toko Jefri hanya bisa menjual satu karung atau sekitar 70 kilogram sebulan. Jika sudah digoreng, ikan itu hanya bisa bertahan sebulan. Lain halnya dengan produk kemasan kakao yang bisa bertahan hingga setahun.
Hal itu dimaklumi Jefri karena ikan kering pepija merupakan produk olahan industri rumah tangga. Kemasannya pun hanya berupa plastik tembus pandang dan ditempeli merek. Secara kemasan dan ketahanan makanan, produk-produk itu jauh dari produk bubuk kakao kemasan plastik hijau yang diproduksi perusahaan multinasional.
Di Pasar Sebengkok saja, setidaknya terdapat 10 toko yang menjual produk serupa. Produk kakao kemasan menjadi primadona dan dipajang di etalase terdepan. Hal serupa bisa dijumpai di sepanjang Jalan Yos Sudarso atau Kampung Bugis. Toko-toko besar di kiri dan kanan jalan menjual berbagai produk kemasan yang diproduksi dari Malaysia.
Tingkatkan kualitas
Tarakan merupakan sebuah pulau dengan luas daratan 250,80 kilometer persegi di sisi timur Kalimantan Utara. Dari Tarakan menuju Tawau, Malaysia, bisa ditempuh dengan kapal bermotor selama 4-5 jam. Letaknya yang berdekatan dengan Malaysia membuat perdagangan lintas batas tak terhindarkan.
Bahkan, sebagian besar makanan dan minuman produk kemasan produksi Malaysia itu tak memiliki izin edar. Di kemasannya tidak tertera nomor registrasi izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Pemerintah juga menghadapi dilema karena banyak masyarakat yang bergantung hidup dari bisnis makanan olahan dari negeri jiran itu.
Gubernur Kalimantan Utara Irianto Lambire mengatakan, biaya distribusi makanan dari Jawa ke Kaltara jauh lebih mahal dibanding membeli dari negeri tetangga yang barang dan kualitasnya lebih baik. Pemerintah provinsi dan BPOM saat ini sedang menyiapkan pembangunan Balai POM yang dibidangi oleh eselon II. Hal itu untuk membantu pengawasan obat dan makanan yang beredar di tapal batas negeri di Kaltara.
”Dengan hadirnya BPOM di wilayah kami, itu juga akan meningkatkan nilai komoditas kita. Kalau kita mau ekspor bisa tersertifikasi, kalau mau impor di lintas batas bisa menghasilkan pemasukan dan pendapatan negara,” kata Irianto Rabu (17/7/2019) di Tarakan.
BPOM mencatat, pada 2015-2018, terdapat 1.103 kasus kejahatan obat dan makanan di Indonesia. Kerugian negara akibat makanan dan obat ilegal itu mencapai Rp 161,48 miliar.
Menyikapi peredaran makanan di tapal batas negeri, Kepala BPOM Penny K Lukito akan mengedepankan edukasi kepada pebisnis yang menjual produk olahan dari Malaysia. Ia akan memastikan mutu makanan itu. Melalui Loka POM di Tarakan, ia akan menggencarkan pendekatan kepada pengusaha yang belum mengerti menjual produk makanan supaya berizin edar.
”Kami akan edukasi. Mungkin mereka (pengusaha) tidak tahu caranya menjual produk itu secara legal ke Indonesia. Kita akan permudah dan proaktif agar mereka mudah mendaftarkan produk itu untuk menjualnya secara legal agar menambah pemasukan negara,” ujar Penny.
Di sisi lain, BPOM juga membina industri rumahan lokal agar mampu bersaing melalui program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi. Para pelaku industri makanan rumahan dibekali pengetahuan untuk mengelola usaha makanan dengan mutu yang baik.
Pemerintah Tarakan juga berkomitmen akan meningkatkan pendampingan kepada pelaku industri rumahan dengan menggandeng akademisi, pelaku usaha, dan sejumlah instansi pemerintahan.
”Jika pengolahan dan pengemasannya baik, nantinya daya tahan dan kualitas makanan itu akan lebih baik. Ke depannya, akan ada pembinaan lebih lanjut agar bisa menyuplai produk-produk itu ke negara tetangga kita,” ujar Wakil Wali Kota Tarakan Effendi Djuprianto.
Sementara itu, pelaku industri rumah tangga di Tarakan terus mengembangkan diri. Ida Suci Teguh (57), yang memproduksi berbagai oleh-oleh khas tarakan, gencar mengikuti berbagai seminar dan pelatihan. Ia memproduksi kerupuk ikan pepija kering, kue kacang cokelat, keripik keju, dan kentang krispi.
”Ketika ada pelatihan dari universitas atau dari pemerintah, saya pasti ikut. Saya jadi tahu bagaimana supaya makanan lebih awet dan bersih,” kata Ida saat menghadiri program Komunikasi, Informasi, dan Edukasi dari BPOM di Tarakan beberapa waktu lalu.
Dalam sebulan, keuntungan bersih yang ia peroleh sekitar Rp 3 juta. Ia berharap, peningkatan kualitas dan kreativitas dalam mengemas produk bisa meningkatkan nilai jual makanan yang ia produksi. Saat ini, ia menjual mandiri makanan olahan itu dan menitipkan ke beberapa toko di Tarakan.
Seorang tukang ojek di Pelabuhan Tengkayu I Tarakan, Adi (35), berseloroh ”Garuda di dadaku, Malaysia di perutku,” katanya. Ia mengatakan itu ketika mengantarkan Kompas ke beberapa pusat oleh-oleh di Tarakan.
Ini pekerjaan rumah di beranda depan negeri. Jika tidak dicermati serius, entah sampai kapan etalase oleh-oleh itu akan menjadi gelanggang persaingan tak sepadan produk industri rumahan dan produk kemasan dari negeri jiran. Garis depan adalah penentuan pertarungan.