Sebanyak seribu batang tanaman mangrove ditanam di Pantai Laguna, Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah untuk mengurangi dampak tsunami. Kegiatan diinisiasi Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Oleh
WILIBRORDUS MEGANDIKA WICAKSONO
·3 menit baca
KEBUMEN, KOMPAS – Sebanyak seribu batang tanaman mangrove ditanam di Pantai Laguna, Lembupurwo, Kecamatan Mirit, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Penanaman mangrove yang diinisiasi oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana itu dilakukan untuk mengurangi dampak terjangan tsunami sekaligus dalam rangka ekspedisi desa tanggap bencana di pesisir selatan Jawa.
“Menurut kajian yang dilakukan, mangrove bisa cukup efektif (mengurangi tsunami). Jika tebal mangrove 150-200 meter, maka bisa mengurangi ketinggian tsunami sampai 50 persen,” kata Peneliti Tsunami Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Widjo Kongko, Selasa (30/7/2019).
Widjo mengatakan, mangrove juga bernilai ekonomis bagi masyarakat sekitar. Warga bisa memanfaatkannya sebagai sumber ekonomi karena kawasan mangrove merupakan habitat tumbuh kembangnya ikan serta kepiting.
Jika tebal mangrove 150-200 meter, maka bisa mengurangi ketinggian tsunami sampai 50 persen. (Widjo Kongko)
“Mangrove juga bisa jadi tujuan wisata sekaligus sebagai penyangga atau buffer dari gelombang pasang, tsunami, badai, dan lain-lain. Dari sisi lingkungan ramah. Ini kami dorong untuk lebih dibudidayakan agar pantai terlindungi,” katanya.
Meski demikian, lanjut Widjo, mangrove tetap tidak bisa serta-merta meniadakan terjangan tsumani. Oleh karena itu, edukasi terhadap masyarakat sekitar akan potensi kerawanan gempa dan tsunami perlu terus digalakkan.
Menurut Widjo, khusus untuk pantai selatan Jawa, pihaknya sudah membuat simulasi melalui pemodelan. “Tentu tidak bisa 100 persen benar," kata Widjo.
Berdasarkan pemodelan itu, golden time sebelum tsunami menerjang tidak lebih dari 25 menit. "Kalau ada terasa goyang cukup lama sekitar 20 detik atau lebih, segera lari dari pantai. Kalau terlalu datar dan jauh, carilah tempat yang tinggi. Menjauh secepatnya tentu sambil mendengarkan otoritas seperti BPBD,” ujarnya.
Kepala BNPB Doni Monardo menyampaikan, semua warga harus menyadari bahwa Indonesia ini adalah kawasan yang sangat rentan bencana alam. “Bapak Presiden dua minggu lalu mengatakan, sampaikan apa adanya kepada publik. Memang mungkin saat ini publik belum siap tapi saya lihat banyak juga kawan-kawan kita, juga dari media, yang sudah memahami potensi-potensi bencana ini dengan menyampaikan data-data peristiwa masa lalu,” kata Doni.
Terkait pembentukan desa tangguh bencana, Doni mengatakan desa tangguh bencana didirikan untuk mengedukasi warga tentang bencana yang perlu diwaspadai bersama potensi keterulangannya.
“Alam ini mencari keseimbangan. Ketika proses alam ini mencari keseimbangan, terjadilah gesekan atau pergerakan lempeng atau subduksi maka timbullah pelepasan energy, gempa yang skalanya lebih dari 8. Maka, timbullah gelombang tsunami. Kalau ini tidak diingatkan setiap waktu, bisa jadi masyarakat lupa,” paparnya.
Doni menyampaikan, pelatihan dan pengetahuan terhadap mitigasi bencana perlu digiatkan hingga tingkat keluarga sehingga meminimalkan risiko. Misalnya melalui imbauan membangun rumah tahan gempa.
“Tugas kita semua adalah membuat masyarakat kita ketika ada persitiwa alam, tidak ada korban. Mungkin kita tidak perlu menyebutnya bencana, tetapi itu peristiwa,” tuturnya.
Doni mengingatkan, jika terjadi gempa besar dan terasa kuat goyangannya serta terasa lama, jangan menunggu adanya peringatan dini untuk mengevakuasi diri sendiri.
“Tidak semua daerah punya peringatan dini. Yang punya peringatan dini Alhamdulilah. Kalau tidak punya peringatan dini, otomatis perlu kesadaran untuk segera meninggalkan tempat kurang dari 3 menit. Di beberapa tempat, kurang dari 3 menit, tsunami datang,” katanya.
Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan, sosialisasi untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan potensi bencana alam perlu terus dilakukan secara kontinyu di berbagai kesempatan. “Sosialisasi bisa dilakukan di pasar dan di tempat-tempat keramaian, misalnya dalam pengajian. Saya juga berharap latihan minimal setahun dua kali khususnya di selatan ini agar masyarakat terbiasa,” tutur Ganjar.