Petani Tebu di Jateng Keluhkan Bocornya Gula Rafinasi
Petani tebu di Jawa Tengah mengeluhkan masih banyaknya gula kristal rafinasi yang mestinya diperuntukkan bagi industri dijual eceran di pasar. Hal itu berdampak pada belum terserapnya gula dari petani tebu pada musim giling kali ini.
Oleh
ADITYA PUTRA PERDANA
·2 menit baca
SEMARANG, KOMPAS — Sejumlah petani tebu di Jawa Tengah mengeluhkan masih banyaknya gula kristal rafinasi atau GKR yang mestinya diperuntukkan bagi industri dijual eceran di pasar. Akibatnya, gula dari para petani tebu pada musim giling kali ini banyak yang belum terserap.
Ketua Dewan Pimpinan Daerah Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jawa Tengah Sukadi Wibisono, Selasa (30/7/2019), mengatakan, pihaknya telah melakukan pemantauan di sejumlah pasar di Jateng, di antaranya di Kabupaten Klaten dan Magelang, akhir pekan lalu.
Hasilnya, banyak ditemukan toko-toko yang menjual GKR secara eceran. ”Padahal sudah jelas. Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 1 Tahun 2019, GKR dilarang diperdagangkan di pasar eceran. Namun, nyatanya masih banyak yang bocor seperti ini,” kata Sukadi.
GKR dilarang diperdagangkan di pasar eceran.
Menurut peraturan tersebut, produsen GKR dilarang menjual GKR kepada distributor, pedagang pengecer, dan/atau konsumen. GKR hanya dapat diperdagangkan kepada industri pengguna sebagai bahan baku atau bahan penolong dalam proses produksi melalui kontrak kerja sama.
Sukadi menambahkan, hasil pantauan di sejumlah pasar tersebut, GKR dijual Rp 11.500 per kilogram, sedangkan gula kristal putih (GKP), yang diperuntukkan untuk dikonsumsi, Rp 12.500 per kg. Hal itu merugikan petani tebu.
Petani tebu asal Kabupaten Karanganyar, Jateng, Sumandoko (57), menuturkan, empat tahun terakhir pemasaran gula lesu. ”Setiap musim giling lesu. Selain melimpah saat musim giling, dari informasi yang kami terima ada gula rafinasi yang diecer,” katanya.
Ia menambahkan, sesuai yang diajukan APTRI, harga pokok penjualan (HPP) gula dari petani yakni Rp 10.500 per kg. Menurut Sumandoko, pada tahap pertama diterapkan seperti itu. Namun, kemudian karena mengikuti kondisi pasar, harganya menurun menjadi Rp 10.250 per kg.
Menurut dia, biasanya setelah tutup giling dan dilelang bersama, paling lama tebu petani dibayar dalam jangka waktu tiga hari. Namun, kini, sudah hampir tiga minggu belum mendapat pembayaran. ”Mau tidak mau meminjam sana-sini karena harus membayar tenaga untuk menebang,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Seksi Tertib Niaga Dinas Perindustrian dan Perdagangan Jateng, Sri Wahyuningsih, mengatakan, pengawasan dan pengecekan di lapangan rutin dilakukan. Termasuk pada GKR yang tidak boleh diperjualbelikan di tingkat eceran.
Setiap menemukan ada pelanggaran, pihaknya memberi tahu dan melarang penjual yang memperdagangkan GKR. ”Namun, terkadang penjual juga kurang memahami peraturan yang ada. Edukasi penting bagi pedagang dan kami memberikan itu demi melindungi petani tebu,” ujar Sri.