Lahan Register 45, Bara dalam Sekam Pengusik Nurani
Lahan Register 45 di Kabupaten Mesuji, Lampung, kembali bergejolak, Rabu (17/7/2019). Bentrokan terjadi antardua kelompok yang menewaskan tiga orang dan melukai sepuluh orang lainnya. Foto korban yang tersebar di media sosial mengusik nurani dan menggugah rasa kemanusiaan. Sampai kapan konflik di Mesuji terus berulang?
Yusuf Tamiy (41) tak pernah mengira masalah pembajakan lahan akan berujung bentrok berdarah dan mematikan. Siang itu, Yusuf terkejut melihat lahan garapannya dibajak orang tak dikenal. Pria kelahiran Aceh itu pun memukul kentongan agar warga berkumpul dan membantu menengahi.
”Kami hanya bertanya siapa yang menyuruh? Kami ingin musyawarah,” ujar Yusuf, salah satu anggota Kelompok Mekar Jaya Abadi, saat ditemui Kompas di Register 45, Sabtu (20/7/2019). Akhir pekan itu, situasi perkampungan itu belum sepenuhnya kondusif. Banyak warga dievakuasi atau menjauh dari perkampungan menghindari bentrok susulan.
Warga meminta agar alat bajak ditinggal di balai desa. Merasa terdesak, orang yang membajak lahan Yusuf pun pergi. Tak lama, sejumlah orang justru datang membawa senjata tajam. Bentrok antara Kelompok Mekar Jaya Abadi dan Kelompok Mesuji Raya pun tak terhindarkan.
Bentrok kali ini melibatkan warga di provinsi berbeda, yakni di Kabupaten Mesuji, Lampung, dan Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan. Tiga orang yang tewas dalam konflik adalah warga Desa Pematang Panggang, Kecamatan Mesuji, Kabupaten OKI, Sumsel.
Kawasan Register 45 merupakan hutan tanaman industri di bawah pengawasan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Saat ini, izinnya dipegang PT Silva Inhutani Lampung (SIL). Kawasan Register 45 yang semestinya ditanami kayu itu lebih didominasi kebun singkong.
Jejak konflik
Setelah bentrok dua kelompok massa di Register 45, Kabupaten Mesuji, Lampung, sejumlah warga penggarap lahan memilih mengungsi, Jumat (19/7). Meski kondisi berangsur kondusif, warga masih takut beraktivitas.
Konflik di Register 45 sebenarnya sudah berlangsung bertahun-tahun. Kerja sama kemitraan hutan tanaman industri antara warga dan PT SIL yang tidak berjalan mulus diduga sebagai pemicu konflik.
Ada dua tipikal konflik yang terjadi di register 45 ini, yakni perluasan areal PT SIL yang dinilai menyerobot lahan warga dan pendudukan lahan register oleh warga. Dua hal itu tak juga terselesaikan.
Pemerintah pertama kali memberikan izin hak pengusahaan hutan tanaman industri (HPHTI) kepada PT SIL seluas 32.600 hektar pada 1991. Padahal, warga telah menghuni kawasan itu jauh sebelum pemerintah memberi izin kepada perusahaan itu. Pada 1997, pemerintah justru menambah luas areal yang dikelola perusahaan menjadi 43.100 hektar. Perluasan itulah yang dianggap telah mencaplok wilayah desa.
Atas desakan warga, pemerintah pernah mencabut izin HPHTI PT SIL pada 2002. Alasannya, PT SIL dinilai tidak layak melaksanakan pembangunan hutan tanaman industri dan tak pernah menyerahkan rencana kerja tahunan. Namun, dua tahun kemudian, pemerintah kembali memberi izin HPHTI kepada PT SIL untuk mengelola lahan 42.762 ha.
Adapun konflik lainnya ialah warga tetap bertahan menempati Register 45 yang merupakan lokasi HPHTI PT SIL. Meskipun sama-sama menempati Register 45, setiap lokasi memiliki kompleksitas permasalahan masing-masing.
Dalam kurun itu, terjadi rentetan konflik yang berujung pada jatuhnya korban jiwa. Catatan Kompas, periode 2015-2019, konflik di Register 45 menyebabkan enam orang meninggal. Jika ditelusuri lebih jauh, jumlah korban meninggal lebih banyak karena ada beberapa bentrok yang tidak muncul ke permukaan alias tidak terekspos.
Untuk menekan konflik, KLHK telah menggulirkan program kemitraan kehutanan antara perusahaan dan masyarakat pada 2015. Namun, lagi-lagi, program kemitraan ini tidak berjalan dengan baik. Meski telah bermitra, warga tidak mendapat keamanan dalam menggarap lahan.
”Saya sudah punya kartu anggota, tetapi lahan tetap mau diserobot,” ujar Yusuf sembari menunjukkan kartu peserta kemitraan di Register 45. Dalam kartu itu, identitas Yusuf tercatat sebagai warga Desa Sendang Agung, Kecamatan Sendang Agung, Kabupaten Lampung Tengah.
Tak hanya itu, setiap kali warga masuk ke lahan juga harus membayar sejumlah uang kepada sejumlah orang atau preman. Warga selalu waswas karena sewaktu-waktu lahan mereka bisa disita orang tak dikenal. Di sisi lain, warga tak mampu keluar dari situasi tersebut.
Pola bentrok
Menurut Tisnanta, pengamat hukum Universitas Lampung yang pernah menjadi anggota Tim Gabungan Pencari Fakta Kasus Mesuji, program kemitraan yang tidak berjalan baik justru mengubah pola bentrokan di Register 45. Sebelumnya, bentrok kerap terjadi antara warga dan PT SIL.
Namun, beberapa tahun terakhir, justru konflik horizontal berebut lahan garapan. Konflik itu akan terus berulang jika aparat dan pemerintah belum menuntaskan akar masalah.
Semua konflik agraria itu berakar pada akses masyarakat yang minim terhadap lahan kelola. Di sisi lain, segelintir pemodal besar menguasai lahan teramat luas. Bukan tak mungkin, konflik berdarah kembali terulang jika pemerintah tidak memadamkan bara dalam sekam konflik agraria ini.
Pengungkapan dan penyelesaian secara komprehensif atas konflik agraria mendesak dilakukan mengingat ada banyak kasus serupa di negeri ini. Data Tim Percepatan Penyelesaian Konflik Agraria Kantor Staf Presiden, saat ini mereka menangani 680 konflik terkait lahan dengan luasan sekitar 700.000 hektar di seluruh Indonesia.
”Konflik ini melibatkan lebih dari 180.000 keluarga. Ini harus segera diselesaikan,” kata Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Abetnego Tarigan di Medan, Sumatera Utara (Kompas, 23/7/2019).
Saat ini, warga di Register 45 menunggu kehadiran Kementerian LHK untuk menyudahi konflik. Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pengelolaan Hutan Produksi Lestari KLHK Bambang Hendroyono pun berjanji segera meninjau lokasi dan mengevaluasi pola kemitraan kehutanan PT SIL dengan masyarakat.
Direktur PT SIL Benny Susanto, Senin (29/7), menampik perusahaan melakukan pembiaran terhadap masalah di Register 45. Selama ini, perusahaan telah berkoordinasi dengan aparat keamanan dan pemda setempat. Menurut dia, perusahaan kesulitan menjalankan program kemitraan dengan masyarakat. Sebab, tidak semua masyarakat yang telah memiliki kartu anggota kemitraan berkomitmen mengelola kawasan hutan bersama perusahaan.
Kendala lain, maraknya premanisme dan jual beli lahan di Register 45. Dari 9.049 hektar lahan, perusahaan hanya dapat mengelola sekitar 700 ha lahan bersama warga. Sebagian besar petani memilih menanam sendiri lahan dengan singkong.
Namun, ada juga warga yang tanahnya dirampas orang lain. Tidak adanya sanksi bagi warga yang belum bermitra dengan perusahaan kerap memicu kecemburuan sosial.
Sebagian masyarakat akhirnya menilai kemitraan tidak menguntungkan. Padahal, kata Benny, perusahaan memberikan upah setiap bulan kepada warga yang bermitra. Mereka juga mendapat keuntungan bagi hasil setelah panen. Terkait aksi premanisme, perusahaan menyatakan telah melakukan pemetaan dan melaporkan adanya oknum yang melakukan jual beli lahan kepada polisi dan pemerintah. Namun, hingga kini, aparat belum melakukan penangkapan.
Benny berharap pemerintah pusat, yakni KLHK, dapat turun tangan menuntaskan masalah ini. Diperlukan kehadiran semua pihak, antara lain pemerintah pusat, aparat penegak hukum, dan pemerintah daerah untuk menyelesaikan bentrok di Mesuji. Tanpa kerja sama sejumlah pihak yang berkepentingan dan memiliki otoritas, konflik Mesuji akan terus berulang. Tanpa tahu kapan akan terselesaikan. Semoga saja tidak.