BOGOR, KOMPAS - Isu mutu dan keamanan pangan segar merugikan Indonesia karena daya saing yang rendah. Dominasi pangan impor di pasar domestik menjadi salah satu indikator rendahnya daya saing itu. Kini, sekitar 60-80 persen buah yang dijual di supermarket dalam negeri adalah produk impor.
“Impor sayuran per November 2018 juga cukup tinggi mencapai 732.715 ton, dengan nilai mencapai 602 juta dollar AS,” ujar Joni Munarso dalam orasi ilmiah yang bertajuk “Inovasi Teknologi Pascapanen untuk Peningkatan Mutu, Keamanan, dan Daya Saing Komiditas Pangan Segar”, Senin (29/7/2019). Orasi dibacakan pada acara Pengukuhan Profesor Riset yang diselenggarakan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian, di Bogor.
Joni menambahkan, ekspor pangan segar ke pasar internasional tidak berjalan mulus. Selain menghadapi masalah “automatic detention” dan pemotongan harga, ekspor pangan segar juga menghadapi banyaknya notifikasi (nota penolakan) dari Uni Eropa. “Penolakan terjadi karena mutu tidak memenuhi standar, atau karena tidak ada sertifikasi,” jelasnya seusai acara. Pada beberapa kasus, pengekspor tidak melengkapi barang ekspor dengan sertifikat yang disyaratkan.
Menurut Joni, tujuan penyediaan pangan utama untuk mencukupi kebutuhan lokal, mencapai puncaknya pada 1984 saat tercapai swasembada beras. Dengan lahirnya Revolusi Hijau yang diperkenalkan dalam era Pelita 1, pertanian diperkenalkan pada varietas unggul baru (VUB) padi, irigasi, pupuk, pestisida, disertai penyuluhan masif. Penggunaan pestisida mengantar pada isu keamanan pangan karena terjadi beberapa kasus keracunan kemudian mengarah pada penggunaan pupuk organik.
Namun, menurut Joni, masalah keamanan yang terus ada dari dulu hingga sekarang adalah paparan aflatoksin yang bersifat toksik (racun), terutama pada jagung. Masalah ini telah diatasi dengan berbagai temuan dari berbagai penelitian. “Problem aflatoksin ini juga menghambat perdagangan,” ujarnya.
Standarisasi global
Terkait persaingan di tingkat global, Joni menekankan bahwa beberapa produk pertanian dan perkebunan Indonesia unggul di dunia internasional. Dia menyebutkan kakao yang berada di posisi ketiga di dunia, setelah Pantai Gading dan Ghana. Sementara untuk komoditas pala, Indonesia nomor satu.
Kita ingin memajukan komoditas kita, tetapi semangat perlu ditambah. “Intinya, kerjakan yang sudah pernah kita tuliskan. Konsep-konsep sudah ada semua, tapi itu terbentur pada insentif dan disinsentif. Kalau sudah melakukan inovasi tapi tidak mendapat insentif, itu jadi nothing,” jelasnya.
Akibatnya, invoasi yang sudah banyak dilakukan tidak dapat akselerasi adopsi karena hambatan-hambatan terkait insentif dan sertifikasi kesehatan yang kurang kuat. “Siapa industri yang mau mengembangkan lebih lanjut inovasi yang telah dilakukan,” kata Joni.
Menurut Kepala Badan Litbang Kementerian Pertanian, Fadjry Djufry saat ini di Balitbang Kementerian Pertanian tersedia anggaran riset sekitar Rp 200 miliar. “Dari awal sudah ditentukan riset untuk public domain dan untuk industri. Inovasi memang diarahkan untuk bisa dikomersialisasi,” ujarnya.
Dengan posisi kuat di beberapa komoditas, Indonesia seharusnya memimpin dalam penentuan standar internasional untuk komoditas tersebut. “Kalau standarnya tidak kita yang buat, kita dipermainkan karena standar mereka yang buat. Kalau kita kuat di komoditas itu kita harus mengusulkan standarnya,” tambah Joni.
Saat ini, Indonesia berperan besar untuk standarisasi tempe, lada, dan saat ini pala sedang digodhok di Codex Quality & Standardisation-lembaga penentu acuan kualitas dan standar internasional untuk komoditas pangan. Joni menjadi chairman untuk kelompok kerja penentuan standarisasi pala di Codex.
Selain Joni, dua peneliti lainnya, Benny Rachman dan Titiek Farianti Djafaar. Benny menyampaikan orasi berjudul “Reformulasi Sistem Penyangga Pangan Kota-Kota Besar Melalui Onovasi Kelembagaan Sentra Distribusi Pangan Mendukung Ketahanan Pangan Nasional”. Sementara Titiek menyampaikan orasi bertajuk “Teknologi Pengolahan Kacang Lokal sebagai Bahan Substitusi Kedelai Memperkuat Ketahanan Pangan”. (*)