Tri Sumiyatik Suradi, Mengubah Rongsokan Jadi Emas
Di kalangan buruh migran Indonesia di Hong Kong, Tri Sumiyatik Suradi (48) dianggap guru. Perempuan tomboi yang biasa disapa Zoplo ini gigih mengajarkan ilmu kewirausahaan kepada ratusan rekan buruh migran.
Oleh
Ester Lince Napitupulu
·5 menit baca
Di kalangan buruh migran Indonesia di Hong Kong, Tri Sumiyatik Suradi (48) dianggap guru. Perempuan tomboi yang biasa disapa Zoplo ini gigih mengajarkan ilmu kewirausahaan kepada ratusan rekan buruh migran. Setelah itu, ia mendorong mereka pulang ke kampung masing-masing dan menjelma menjadi wirausaha hebat.
Minggu menjadi hari spesial buat perempuan buruh migran Indonesia (BMI) di Hong Kong. Pada hari itu, orang-orang yang mempekerjakan BMI wajib memberikan libur kerja. Biasanya, mereka menghabiskan waktu libur di Victoria Park dengan berjalan-jalan dan nongkrong. Namun, kegiatan itu membuat gaya hidup sebagian buruh migran jadi boros.
Zoplo berusaha mengisi hari libur buruh migran dengan cara yang lebih produktif. Ia menggelar pelatihan kewirausahaan di komunitas yang digagasnya, Buruh Migran Cerdas (BMC), secara gratis. Pelatihan biasanya digelar di taman terbuka di Festival Walk Park, Kowloon Tong, yang relatif jauh dari keramaian, tetapi masih berada di pusat kota.
Pelatihan berlangsung selama enam bulan dengan materi antara lain dasar-dasar kewirausahaan. Peserta kemudian dilatih agar mampu membuat rencana usaha yang akan mereka jalankan di kampung masing-masing. Setelah lulus, peserta diwisuda di salah satu gedung di Hong Kong.
Sejauh ini, BMC telah menggelar pelatihan untuk 10 angkatan. Dari situ, sekitar 300 buruh migran telah lulus. Beberapa peserta yang masih bekerja di Hong Kong sudah ada yang mampu membuka usaha yang dijalankan oleh keluarga mereka di kampung.
Dengan rona bahagia, Zoplo mengisahkan kisah sukses para anak didiknya yang sudah kembali ke Tanah Air. Ketika tahun lalu mudik ke Indonesia, Zoplo mengunjungi alumni BMC di sejumlah daerah di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia menyaksikan para bekas buruh migran di Hong Kong yang mengikuti pelatihan kewirausahaan sukses membuka usaha roti, jahit, telur puyuh, beternak lele, beternak kambing, membuka toko kelontong, dan sebagainya. Di Nusa Tenggara Timur, ada buruh migran yang berhasil membuka usaha jasa pengantin.
”Saya selalu merasa bahagia ketika mendengar ada teman (buruh migran) yang pulang ke Tanah Air dan bisa buka usaha sendiri meskipun mulai dari yang kecil,” kata Zoplo, di Jakarta, Selasa (23/7/2019), di tengah cuti kerjanya sebagai asisten rumah tangga untuk sebuah keluarga di Hong Kong.
Biasanya ia memanfaatkan cuti untuk mengunjungi alumni BMC yang sudah sukses berwirausaha di kampung halaman masing-masing. Namun, tahun ini ia bertemu dengan pengusaha Ciputra. ”Pak Ciputra cuma bilang, teruslah berkarya,” ujar Zoplo terharu.
Saya selalu merasa bahagia ketika mendengar ada teman (buruh migran) yang pulang ke Tanah Air dan bisa buka usaha sendiri meskipun mulai dari yang kecil.
Ia mengaku terinspirasi oleh ungkapan Ciputra dalam sebuah pelatihan bahwa kewirausahaan dapat mengubah rongsokan menjadi emas. ”Awalnya saya enggak ngerti dan mengira rongsokan itu ya barang yang bisa diubah jadi emas. Setelah itu, saya paham, yang dimaksud adalah mengubah sesuatu yang tadinya tidak berharga jadi berharga. Saya jadi terpikir dengan nasib teman-teman buruh migran,” tuturnya.
Berbekal inspirasi itu, Zoplo kemudian membakar semangat buruh migran yang rutin berkumpul di taman-taman di Hong Kong dengan kata-kata pedas. ”Saya bilang, ’Kita ini cuma rongsokan. Kita dipuji sebagai pahlawan devisa, tapi ketika pulang ke Tanah Air, nasib kita tidak dipikirkan pemerintah’.”
Setelah itu, Zoplo cepat-cepat menambahkan, ”Tapi, asal ada niat dan semangat, saya akan bantu mengubah kalian jadi perempuan hebat. Inilah yang disebut rongsokan jadi emas. Meski bersusah-susah dulu jadi buruh migran, tapi nanti kembali jadi hebat dengan punya usaha sendiri.”
Zoplo berusaha menahan tangis ketika mengisahkan ketangguhan perempuan-perempuan buruh migran yang belajar di BMC. Mereka datang ke Hong Kong dengan semangat untuk mengangkat martabat keluarga di Indonesia, tetapi ada begitu banyak beban yang ditanggung. Mereka bekerja di Hong Kong terpisah dari keluarga, di rumah majikan pun belum tentu diperlakukan dengan baik.
”Ada yang pagi datang ke taman, merangkul dan menangis sesenggukan, mengisahkan beban yang ada di keluarga di Indonesia dan kondisi di rumah majikan. Saya hanya bisa memeluk dan menyemangati. Lalu, kami bertekad untuk belajar dengan penuh semangat,” ujar Zoplo.
Kekeluargaan
Zoplo adalah salah seorang buruh migran paling senior di Hong Kong saat ini. Ia bekerja di negeri itu sebagai asisten rumah tangga sejak 1997. Saking seniornya, ia biasa disapa ”Mbah” oleh buruh migran yang lebih muda. Karena itu, Zoplo sangat paham bagaimana kehidupan buruh migran dan persoalan yang mereka hadapi.
Zoplo tidak ingin buruh migran terus berkubang dalam persoalan yang sama. Ia percaya, pelatihan kewirausahaan yang digelarnya sejak beberapa tahun lalu di bawah naungan BMC bisa jadi jalan keluar. Ia rangkul beberapa sukarelawan yang mau membantunya dan membujuk para buruh migran untuk menjadi peserta pelatihan yang diusung dengan semangat kebersamaan dan kekeluargaan. Motonya, dari BMI untuk BMI dan oleh BMI.
”Kebersamaan kami bangun supaya merasa seperti keluarga. Di taman, kami makan bersama, ada yang masak dari rumah atau kadang urunan untuk beli makan. Yang tadinya mikir-mikir datang jadi rajin tiap Minggu untuk belajar bersama,” ucapnya.
Zoplo mengatakan, sebenarnya dirinya sangat ingin pulang kampung sebab bekerja sebagai asisten rumah tangga tak lagi dinikmatinya. Namun, ia memilih untuk bertahan di Hong Kong karena merasa punya beban untuk mempersiapkan buruh migran lain agar punya wawasan kewirausahaan saat pulang ke Indonesia.
”Kalau saya tinggalkan begitu saja, saya khawatir BMC bubar. Teman-teman maunya saya selalu ada di taman untuk menemani. Saya merasa tenang jika sudah ada yang mau meneruskan, asal dengan semangat ikhlas dan berbagi. Saya mengalir saja, menikmati saja, sampai suatu saat BMC bisa saya tinggal,” lanjutnya.
Zoplo hanya ingin buruh migran punya kehidupan yang lebih baik. Ia berharap, BMC dapat dukungan dari pemerintah untuk terus mendidik BMI. ”Rasanya bahagia banget kalau dapat laporan dari BMI, ’Mbah, aku sudah kumpul dengan keluarga. Aku sudah menjalankan usaha’. Ini yang selalu membuat saya semangat untuk membuat BMC bermanfaat bagi buruh migran di Hong Kong,” ujar Zoplo.