Pertaruhan ”The Reds”
Liverpool belum pernah memetik kemenangan dalam empat pertandingan persahabatan terakhir. ”The Reds” juga tidak agresif berburu pemain matang untuk meningkatkan kualitas tim.
EDINBURGH, SENIN — Liverpool mempertaruhkan masa depannya dengan rangkaian hasil buruk di pramusim. Ditambah lagi, bukannya membeli pemain matang untuk meningkatkan kualitas tim, mereka justru mendatangkan pemain muda yang baru bisa dilihat kemampuannya beberapa tahun ke depan.
”The Reds” kembali menelan kekalahan pada pertandingan persahabatan melawan Napoli dengan skor 0-3 di Stadion Murrayfield, Edinburgh, Skotlandia, Minggu (28/7/2019).
Hasil buruk tersebut membuat juara Liga Champions itu belum pernah memetik kemenangan dalam empat pertandingan persahabatan terakhir.
Sebelumnya, anak asuh Jurgen Klopp mengalami kekalahan dari Borussia Dortmund dan Sevilla serta imbang melawan Sporting CP saat menjalani tur pramusim di Amerika Serikat. Hasil buruk tersebut bisa membuat pamor Liverpool turun di mata para penggemarnya.
Musim 2017/2018 lalu mereka berhasil meraup keuntungan komersial secara signifikan karena hasil positif di lapangan.
CEO Liverpool Peter Moore mengatakan, tahun 2017/2018 merupakan rekor laba sebelum pajak yang pernah didapat oleh klub sepak bola. Omzet mereka meningkat dalam 12 bulan. Hingga Mei 2018, keuntungan mereka naik dari 90 juta poundsterling (Rp 1,5 triliun) menjadi 455 juta poundsterling (Rp 7,8 triliun).
Keuntungan tersebut didapat setelah Liverpool mampu melaju ke final Liga Champions dan penjualan Philippe Coutinho ke Barcelona dengan harga 145 juta euro (Rp 2,2 triliun). Moore memperkirakan, pendapatan pada tahun ini akan lebih tinggi daripada musim lalu setelah Liverpool sukses menjuarai Liga Champions.
”Sejak menjuarai Liga Champions, banyak sponsor menjadi lebih tertarik pada Liverpool,” kata Moore.
Saat ini Liverpool telah menjadi mitra bisnis gim konsol EA Sports, AXA sebagai mitra asuransi, MG sebagai mitra otomotif, dan 1xBet sebagai mitra taruhan. Kesepakatan kerja sama dengan sponsor papan atas tersebut diselesaikan hanya dalam hitungan bulan.
Moore yang pernah bekerja di EA (Electronic Arts) selama 10 tahun mengungkapkan, perusahaan global dan klub sepak bola memiliki kesamaan model bisnis. Mereka mendapatkan keuntungan karena memiliki ratusan juta orang yang berinteraksi dengannya.
Sebagai contoh, bisnis video game saat ini telah mengalami pergeseran. Mereka tak lagi menjual disket, tetapi menawarkan berbagai perlengkapan di dalam permainan yang menunjang seperti avatar dan skins. Model bisnis tersebut lebih menguntungkan karena pengguna akan terus membeli perlengkapan yang menunjang sehingga laba yang didapat akan terus bertambah secara bertahap.
Seperti halnya dengan perusahaan video game, klub sepak bola seperti Liverpool juga akan meraup keuntungan dari berbagai hal di sekitarnya.
”Selama beberapa tahun, penggemar global akan datang ke Anfield sesekali, membeli baju, membeli program, berlangganan LFCTV, dan lainnya. Ada banyak cara yang bisa dilakukan oleh penggemar dengan kita,” ujar Moore.
Prestasi pada musim lalu membuat para penggemar semakin antusias. Dalam tiga pertandingan persahabatan Liverpool di Amerika Serikat, ada 107.127 penggemar yang memadati stadion demi menyaksikan idola mereka.
Banyaknya penggemar yang dimiliki Liverpool dapat membuat bisnis mereka semakin berkembang. Liverpool semakin getol membuat tayangan video berseri dengan judul Inside Anfield yang menunjukkan suasana yang tak terlihat di televisi, seperti di terowongan, ruang ganti, dan hal-hal spontan yang terjadi.
Moore menegaskan, pemain bintang juga berpengaruh pada pertumbuhan penggemar. Sebagai contoh, kehadiran Virgil van Dijk yang berperan penting pada kesuksesan Liverpool di Liga Champions membuat penggemar selalu menantikan kehadirannya.
Moore menegaskan, klub akan berinvestasi kembali untuk mendatangkan pemain berkualitas demi mendorong prestasi Liverpool di lapangan dan mendapatkan keuntungan komersial. Namun, sejauh ini pembelian pemain berkualitas belum dilakukan.
Mereka baru mendatangkan dua pemain muda potensial dengan harga yang murah. Bek 17 tahun asal Belanda, Sepp van den Berg, didatangkan dari PEC Zwolle dengan harga 1,9 juta euro (Rp 29 miliar) dan penyerang sayap 16 tahun Harvey Elliot dari Fulham dengan harga yang dirahasiakan.
Tidak khawatir
Buruknya penampilan Liverpool di pramusim tidak membuat Pelatih Liverpool Jurgen Klopp khawatir. Ia masih memuji penampilan pasukannya dan berusaha menutupi kekurangan timnya.
”Awal dan akhir bagus, tetapi kami kebobolan oleh gol dengan cara sederhana,” kata Klopp seusai timnya dibantai Napoli melalui gol yang diciptakan oleh Lorenzo Insigne, Arkadiusz Milik, dan Amin Younes seperti dikutip dari The Guardian. Ia mengaku bahwa dirinya tidak ingin mencari alasan atas kekalahan tersebut meskipun menganggap timnya lebih lambat dalam memulai pramusim daripada Napoli.
Dalam pertandingan tersebut, Klopp langsung menurunkan Harvey Elliott yang baru direkrut pada hari yang sama. Elliott telah memecahkan rekor sebagai pemain termuda yang pernah bermain di Liga Inggris, yakni pada Mei lalu pada usia 16 tahun dan 30 hari.
Baca juga : Ajax Amsterdam Masih yang Terbaik
Sebelum datang ke Liverpool, pemain tersebut juga menjadi incaran Barcelona, Real Madrid, Paris Saint-Germain, Arsenal, Manchester City, dan RB Leipzig. Klopp menuturkan, Elliot adalah remaja berbakat yang memiliki catatan positif. Namun, ia masih membutuhkan waktu bermain untuk mengembangkan kemampuannya.
Legenda Liverpool, Robbie Fowler, mendorong para pendukung Liverpool untuk tidak khawatir melihat aktivitas transfer pada musim panas ini. Ia percaya pada kemampuan Klopp untuk mengembangkan kualitas para pemain yang dimiliki Liverpool sehingga para penggemar tidak perlu cemas dengan kondisi tim pada musim ini.
Ia menganggap, keberhasilan Liverpool mempertahankan pemain kunci yang dimiliki lebih penting daripada mendatangkan pemain baru secara gegabah. Fowler mencontohkan pengalaman Liverpool pada 2002.
Pada musim 2001/2002, Liverpool menjuarai Piala FA, Piala Liga, Piala UEFA, dan sangat dekat dengan juara Liga Premier dengan menduduki peringkat ketiga. Lantas mereka membeli El Hadji Diouf, Salif Diao, Alou Diarra, dan Bruno Cheyrou pada musim 2002/2003. Mereka dianggap sebagai kepingan akhir untuk mengisi kekurangan Liverpool.
”Itu berjalan dengan baik? Tidak. Itu sama dengan di tahun 2009. Alberto Aquilani dan Maxi Rodriguez seharusnya menjadi yang terakhir, tetapi menjaga Xabi Alonso mungkin merupakan ide yang lebih baik”, tulis Fowler di mirror.co.uk.
Pada musim 2009/2010, Liverpool gagal mengangkat trofi di semua kompetisi.
Baca juga : Kontradiksi Penundaan Laga Final oleh PSSI
Membeli pemain bintang juga bukan menjadi solusi untuk memperkuat tim. Menurut Fowler, pemain yang memiliki nama besar sulit berkomitmen pada klub. Ia mencontohkan Fernando Torres, Luis Suarez, dan Philippe Coutinho yang dengan mudah pindah ke klub lain.
Karena itu, mempertahankan pemain seperti Virgil van Dijk, Mohamed Salah, atau Sadio Mane sama beratnya dengan mendatangkan bintang baru.
Menurut Fowler, hasil buruk di pramusim ini terjadi karena beberapa pemain baru sembuh dari cedera sehingga penampilan mereka belum maksimal. Selain itu, pemain yang bermain buruk di pramusim bukan berarti akan bermain buruk juga pada saat kompetisi berlangsung.
Ia mencontohkan, pemain seperti Fabinho dan Naby Keita tidak banyak memiliki kesempatan pada awal kompetisi. Namun, pada akhir musim mereka menjadi pemain penting di tim.
Baca juga : Reformasi PSSI Sulit Terwujud
”Jangan lupa, hanya karena Liverpool tidak menghabiskan banyak uang di musim panas ini, bukan berarti mereka bangkrut. Saya yakin jika Klopp benar-benar menginginkan seorang pemain, mereka akan memberikan uangnya”, tulis Fowler. Ia berharap para pendukung Liverpool tidak panik dan hanya butuh kesabaran serta percaya pada salah satu manajer terbaik di generasinya, yakni Jurgen Klopp. (REUTERS/AFP)