Penggunaan Medsos yang Bijak Lebih Efektif Dibandingkan Pengawasan
Lembaga rektorat menyambut baik imbauan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi agar perguruan tinggi mengawasi penggunaan media sosial oleh sivitas akademikanya. Namun, metoda pengawasan merupakan hal sekunder karena hal utama adalah memastikan keberagaman ada dan dirayakan di kampus.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lembaga rektorat menyambut baik imbauan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi agar perguruan tinggi mengawasi penggunaan media sosial oleh sivitas akademikanya. Akan tetapi, metoda pengawasan merupakan hal sekunder karena hal utama adalah memastikan keberagaman ada dan dirayakan di kampus.
”Lembaga pendidikan adalah garda ketahanan nasional yang mendidik mahasiswa mengenai kebangsaan. Namun, perlu diingat bahwa di dalam Pancasila itu juga ada otonomi akademik. Dalam perkuliahan tentu mahasiswa juga dipaparkan mengenai perkembangan media sosial, dampak, dan pemanfaatannya yang baik,” kata Rektor Universitas Al-Azhar Indonesia Asep Saifuddin di Jakarta, Minggu (28/7/2019).
Sebelumnya, Menristek dan Dikti Mohamad Nasir dalam jumpa pers mengatakan agar rektorat memantau pemakaian media sosial (medsos) oleh mahasiswa, dosen, dan staf guna menangkal penyebaran ekstremisme, intoleransi, dan segala hal yang bertentangan dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada saat yang sama, ia tidak melarang kajian topik-topik yang dianggap sensitif, seperti ideologi Marxisme, khilafah, ataupun ragam seksualitas dan jender selama ada dalam koridor akademik.
”Yang perlu diawasi adalah apabila ada ujaran kebencian, hasutan, dan ajakan untuk bergabung ke dalam ideologi yang tidak sesuai dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika,” ujarnya.
Asep mengatakan, pemakaian media sosial dengan bijaksana merupakan pendidikan bagi mahasiswa agar menjadi cendekiawan. Perguruan tinggi sah-sah saja membuat aturan mengenai pemakaian media sosial dan mengambil tindakan apabila ada yang melanggar asalkan pada praktiknya terus dilakukan advokasi kepada sivitas akademika mengenai praktik bermedia sosial yang menghasilkan manfaat.
Pemakaian media sosial dengan bijaksana merupakan pendidikan bagi mahasiswa agar menjadi cendekiawan.
Menurut dia, kampus wajib menjadi tempat berpikir yang otonom, bukan tempat pengaderan untuk partai politik, organisasi masyarakat, ataupun kelompok agama. Kampus harus bebas dari intervensi politik praktis. Keberadaan organisasi adalah untuk memberikan ragam diskusi yang dibahas guna memperluas wawasan sivitas akademika. Oleh sebab itu, di Universitas Al-Azhar Indonesia, mereka menandatangani pakta integritas.
Secara terpisah, Rektor IPB University Arif Satria mengatakan, dosen-dosen juga aktif bermedia sosial agar selalu terhubung dengan mahasiswa dan mengetahui perkembangan isu di tengah generasi muda. ”Salah satu hal yang selalu kami tekankan adalah prinsip ’Kita adalah semua hal yang kita tulis’. Jejak digital akan terus melekat dan berpengaruh kepada reputasi seseorang,” ujarnya.
Aturan jelas
Antropolog sosial dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Fadjar Thufail, memandang skeptis imbauan Kemenristek dan Dikti tersebut dengan alasan harus ada pedoman jelas dari pusat mengenai definisi radikalisme, ekstremisme, ujaran kebencian, hasutan, dan diskriminasi. Hendaknya definisi diiringi dengan berbagai contoh variabelnya.
Harus ada pedoman jelas dari pusat mengenai definisi radikalisme, ekstremisme, ujaran kebencian, hasutan, dan diskriminasi.
”Jangan sampai aturan menjadi multitafsir di lapangan karena ujungnya bukan mencegah diskriminasi dan ekstremisme, malah berisiko kampus menjadi polisi moral yang melakukan pembungkaman,” katanya.
Ia mencontohkan, di Jepang dan Amerika Serikat, setiap perguruan tinggi memiliki komite etik yang dipimpin oleh provos. Di dalamnya juga ada pakar dan tokoh yang berasal dari luar perguruan tinggi sehingga bisa memberikan pandangan netral tidak terpengaruh bias akibat mengenal individu yang dipermasalahkan.
”Komite ini melakukan penyelidikan untuk membuktikan apabila unggahan ataupun perilaku anggota sivitas akademika itu memang masuk ke kategori ekstremisme dan diskriminasi. Prosesnya tidak reaktif dan kerjanya berlandaskan aturan rinci dari pemerintah,” ucapnya.