JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan wilayah perbatasan sejak 2015 mulai mampu mengeluarkan daerah dari keterisolasian dan meningkatkan keamanan negara. Akan tetapi, upaya pemerintah daerah untuk memastikan keberlanjutan geliat pembangunan juga dibutuhkan.
Pelaksana Tugas Sekretaris Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) Suhajar Diantoro di Jakarta, Senin (29/7/2019), mengatakan, selama empat tahun terakhir sejumlah infrastruktur telah dibangun di 41 kabupaten/kota yang berada dalam 13 provinsi perbatasan dengan negara tetangga.
Infrastruktur tersebut di antaranya jalan paralel sepanjang 1.906 kilometer (km) di Kalimantan, 1.098,2 km di Papua, dan 176,2 km di Nusa Tenggara Timur (NTT). “Dari tiga daerah tersebut, baru kebutuhan jalan di NTT yang sudah tuntas. Masih ada sekitar 200 km jalan yang belum dibangun di Kalimantan,” kata Suhajar.
Untuk mengeluarkan daerah perbatasan perbatasan dari keterisolasian, pemerintah juga mempercepat penerapan proyek tol laut di lintas kawasan perbatasan laut, membangun Pelabuhan Subi, Kepulauan Riau; Pelabuhan Saumlaki, Maluku; dan dermaga Miangas, Sulawesi Utara.
Selain itu, pemerintah juga meningkatkan status Bandara Bomakia, Papua; Bandara Melonguane, Sulawesi Utara; serta meningkatkan sarana dan prasarana di Bandara Mopah, Papua.
Dari segi keamanan negara, pemerintah telah membangun tujuh pos lintas batas negara (PLBN) yang dilengkapi infrastruktur pendukung di kawasan sekitarnya. PLBN itu antara lain berada di Entikong, Kalimantan Barat; Motaain, NTT; Nanga Badau, Kalimantan Barat; dan Aruk, Kalimantan Barat. Selain itu, terdapat juga PLBN di Skouw, Papua; Motamasin, NTT; serta Wini, NTT.
Lalu lintas masyarakat di perbatasan yang sebelumnya berlangsung secara ilegal saat ini dilegalkan melalui proses di PLBN. Baik manusia maupun barang yang keluar masuk Indonesia harus melalui proses imigrasi, pemeriksaan bea cukai, dan karantina di sana.
Suhajar menambahkan, pembangunan PLBN yang juga berfungsi sebagai simbol negara di wilayah perbatasan akan digencarkan. Tahun 2019, akan dibangun empat PLBN, yakni di Jagoi Babang, Kalimantan Barat; Long Midang atau Krayan, Kalimantan Utara; Sei Nyamuk, Kalimantan Utara; dan Sota, Papua.
Pada 2020 dan seterusnya, pembangunan PLBN dilanjutkan di tujuh lokasi lain, yaitu Jasa Sei Kelik, Kalimantan Barat; Serasan, Kepulauan Riau; Long Nawang, Kalimantan Utara; Labang, Kalimantan Utara; Napan, NTT; Oepoli, NTT; dan Yetetkun, Papua.
Menurut Suhajar, pembangunan wilayah perbatasan terkendala konektivitas kawasan yang masih rendah. Selain itu, masih ada pula permasalahan batas negara yang belum tuntas karena organisasi yang mengurus outstanding boundary problems (OBP) masih bersifat ad hoc.
Pada perbatasan darat, pemerintah baru menyelesaikan beberapa segmen batas sektor timur, di antaranya OBP Simantipal dan OBP C500—C600 dan pembangunan jalur inspeksi dan patroli perbatasan (JIPP) RI—Malaysia sepanjang 869,84 km.
Tanggung jawab pemda
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng mengapresiasi pembangunan wilayah perbatasan yang telah dilakukan sepanjang pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Menurut dia, upaya tersebut membuktikan kehadiran negara yang selama ini tidak dirasakan di daerah perbatasan. Akan tetapi, langkah-langkah itu belum cukup.
“Pemerintah pusat telah membangun banyak infrastruktur penting, misalnya dengan tujuh PLBN. Namun, hal itu masih bersifat simbolik,” kata dia.
Robert mengatakan, pembangunan harus berdampak positif pada kesejahteraan warga. Salah satunya memicu perkembangan ekonomi.
“Soal kesejahteraan masyarakat seharusnya diinisiasi melalui kebijakan pemerintah daerah, namun sampai saat ini inisiatif dari pemerintah daerah belum terlihat,” ujar dia.
Menurut Suhajar, dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pengelolaan dan pemanfaatan kawasan perbatasan memang merupakan kewenangan pemerintah pusat.
Meski demikian, peran pemerintah daerah juga amat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan geliat pembangunan. Namun, regulasi yang membagi tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah belum ada.
“Kami sedang menyusun peraturan perundang-undangan setingkat peraturan pemerintah untuk menerjemahkan maksud UU No 23/2014 yang dipadukan dengan UU Wilayah Negara. Dengan peraturan itu, kita bisa melihat tugas yang diemban pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” kata Suhajar.
Ia menambahkan, pembagian tugas itu penting, karena geliat pembangunan di kecamatan tempat berdirinya PLBN semestinya dimanfaatkan pula oleh warga kecamatan lainnya. Akan tetapi, masyarakat akan sulit mengaksesnya jika infrastruktur antarkecamatan tidak dibangun oleh pemerintah daerah.
“Seluruh kawasan PLBN memang tugas pemerintah pusat, tetapi di luar kawasan itu seharusnya ditangani pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota,” tutur Suhajar.