Batik Betawi, Saksi Bisu Pesatnya Pembangunan Jakarta
Sekitar tahun 1965, di sepanjang jalan kawasan Terogong, Cilandak Barat, Jakarta Selatan, mudah ditemui perempuan yang membatik. Bunyi suara canting yang ditiup sayup-sayup terdengar dari jalan. Para perempuan itu mengerjakan pesanan batik dari para tauke.
Sekitar tahun 1965, di sepanjang jalan kawasan Terogong, Cilandak Barat, Jakarta Selatan mudah ditemui perempuan yang membatik. Bunyi suara canting yang ditiup sayup-sayup terdengar dari jalan. Para perempuan itu mengerjakan pesanan batik dari para tauke.
Itulah ingatan tentang batik yang dahulu masih banyak dikerjakan warga Jakarta. Pada masa itu masih banyak warga yang “nembok” atau menutup motif dengan malam. Kain diambil dari bos atau tauke yang biasanya berasal dari keturanan Tionghoa. Kala itu, membatik menjadi pekerjaan sambilan perempuan. Mereka yang tidak bekerja di sawah, ladang, biasanya mengambil pekerjaan tambahan dengan membatik.
“Dulu kalau kita jalan di gang kampung, udah banyak berjajar orang-orang ngebatik. Rame bener dah,” ujar Zainudin (60), perajin batik betawi, Jumat (26/7/2018).
Pada masa itu, peralatan membatik masih sangat sederhana. Malam dicairkan dengan kaleng bekas sarden di atas tungku batu bata. Tungku yang digunakan untuk mencairkan malam untuk membatik itu menggunakan bahan bakar kayu.
Jamilah (59), kakak Zainuddin, yang kala itu masih gadis, mengingat orang-orang yang membatik identik dengan mereka yang tidak bersekolah. Itulah sebabnya, ia kerap dilarang oleh orangtuanya mendekati orang yang sedang membatik. Orangtuanya khawatir jika Jamilah menyukai batik, ia akan meninggalkan sekolah.
“Makanya sampai sekarang, meski anak dan adik saya menjadi pengrajin batik, saya kagak pernah tuh tertarik membatik,” ujar Jamilah.
Sejak tahun 2012, anak perempuan Jamilah yaitu Agustina Dwi Ariani, tertarik mempelajari batik. Agustina mengikuti pelatihan yang diadakan oleh Pemprov DKI pada era Gubernur Fauzi Bowo. Oleh pemprov DKI, ia diberi modal kain, canting, malam, wajan, kompor untuk belajar membatik. Gurunya didatangkan langsung dari Pekalongan.
“Karena gurunya menginap di rumah saya, saya paling sering belajar membatik. Setelah saya bisa, saya ngomporin anggota keluarga lain untuk belajar batik, he..he..he,” ujar Agustina yang akrab disapa Tina.
Bekal belajar membatik itulah yang menjadi cikal bakal berdirinya rumah Batik Betawi Terogong. Sesuai dengan namanya, rumah batik itu konsen pada pelestarian batik dengan motif Betawi. Ciri khas motif yang dihasilkan rumah batik ini adalah buah cermai dan mengkudu. Selain itu juga ada motif modifikasi seperti ondel-ondel, deretan gedung-gedung bertingkat, tarian Yapong, dan monumen nasional.
“Motif cermai itu punya filosofi ceria dan ramai, makanya sering dipakai perempuan. Karena perempuan harus ceria dan ramai. Kalau laki-laki motifnya tebar mengkudu, karena laki-laki itu harus tekun dan sabar emang kudu,” terang Tina.
Sudah lama
Di Jakarta, pabrik batik di masa lampau banyak dimiliki oleh orang Tionghoa. Dalam buku Batik Betawi Koleksi Hartono Sumarsono yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia tahun 2017 disebutkan, seorang Tionghoa Lie Tiang Tjeng pada tahun 1906 tiba di Jakarta dari Ankwe, Tiongkok untuk bekerja di pembatikan kerabatnya di kawasan Karet, Batavia. Pembatikan orang Tionghoa diketahui berkembang dari Karet Sawah ke Karet Tengsin, Karet Pedurenan, Karet Kebon Pala, Karet Depan, Karet Kuningan, Palmerah, dan Kebayoran Lama. Daerah Karet berlokasi tak jauh dari Pasar Tanah Abang dan dialiri Kali Krukut. Tempat itu menjadi lokasi ideal untuk pembatikan.
Ketua Keluarga Batik Betawi Yahya Andi Saputra menuturkan, dari catatan sejarah penggunaan batik di Jakarta sudah terlihat sejak masa Jayakarta. Kemudian, pada tahun 1900-an, penggunaannya semakin masif karena pengaruh perdagangan dari luar Batavia. Munculnya sekolah The School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) juga ikut berpengaruh pada penggunaan batik di Batavia. Perkumpulan-perkumpulan pemuda yang berbasis kedaerahan, masing-masing menunjukkan identitas dengan gaya berpakaiannya. Batik pun semakin populer dan permintaannya mulai banyak. Pasar Senen dan Pasar Tanah Abang kemudian menjadi sentra penjualan batik.
“Orang-orang pesisiran seperti Pekalongan dan Cirebon kemudian didatangkan para tauke untuk membuat batik di sini,” ujar Yahya.
Sentra-sentra pembuatan batik kala itu terkonsentrasi di sekitar Pasar Tanah Abang yaitu Dukuh Atas, Dukuh Bawah, Karet Tengsin, Karet Belakang, Karet Bawah, Petunduhan, dan sebagainya. Orang-orang Betawi dari kalangan kaya kemudian melirik batik terutama dengan motif pesisiran. Mereka menyukai motif batik pesisir karena warnanya yang mencolok. Karena memiliki modal besar, para orang kaya Betawi itu pun meminta para pengrajin batik di Batavia, untuk memproduksi motif batik pesisiran. Motif tumpal atau segitiga sangat disukai karena menjadi simbol keseimbangan alam semesta.
“Beberapa motif khas Betawi pun ada yang sudah hilang seperti bambu kuning, gerimis kelapa, sirih embun, sirih lamaran,” ujar Yahya.
Sementara itu, di buku Batik Betawi Koleksi Hartono Sumarsono disebutkan, seorang wanita Belanda bernama Agustina de Wit yang menginap di hotel des Indes tahun 1984, mendapati sesama orang Eropa sedang berleha-leha di beranda yang teduh sambil minum limun dingin dengan pakaian sarung batik. De Wit yang menulis pengalamannya dalam Java, Facts, and Fancies (1896) itu pun kaget bukan kepalang. Ia terkejut dengan pakaian yang dikenakan oleh orang Eropa.
Kaum wanita memakai sarung dan kebaya. Sedangkan kaum pria, mengenakan kemeja tidak berkerah dan celana dari bahan sarung tipis dihiasi bunga-bunga berwarna merah dan biru. Bahkan, ada yang bergambar kupu-kupu dan naga. Di matanya, pakaian yang meniru pribumi itu sangat tidak pantas.
Kemudian De Wit merasakan sendiri bahwa mengenakan pakaian gaya Eropa yang tebal dan tertutup di negara iklim tropis sangat menyiksa. Pakaian yang tipis, longgar, dan santai lebih sehat dan nyaman.
Pada tahun 1800-an, batik tulis didatangkan dari Jawa Tengah melalui moda transportasi kereta api. Sebelum ada kereta api, batik didatangkan dengan pedati atau kapal laut. Batik pun digunakan oleh pribumi kaya, orang Eropa, keturunan Arab, dan keturunan Tionghoa. Batik yang digunakan oleh orang Eropa kerap disebut “batik Belanda”. Kebanyakan dibuat oleh wanita Indo-Eropa di Pekalongan, Banyumas, dan Semarang. Sedangkan keturunan Tionghoa menyukai batik bermotif burung hong, kilin, pucuk rebung, dan sebagainya.
Penggusuran dan pencemaran lingkungan
Akhir abad ke-20, sentra pembatikan di pusat kota seperti Bendungan Hilir, Karet, tergusur karena proyek pembangunan infrastruktur. Tempat-tempat yang dahulu menjadi pabrik batik digusur dan digantikan sebagai kawasan bisnis, perkantoran seperti kawasan Sudirman.
Karena limbah batik dianggap mencemari lingkungan, pembatikan di Bendungan Hilir, Sudirman, Karet, Palmerah, dan Kebayoran Lama pada tahun 1990-an pindah ke luar Jakarta. Sentra pembatikan pindah ke Cibitung, Cikarang, Karawang Timur, Balaraja, Parung Panjang, dan Mauk.
Kini, seiring ditetapkannya batik sebagai warisan budaya Indonesia oleh Unesco, pamor batik pun kian populer. Sentra batik skala rumahan mulai muncul kembali di Jakarta. Di Terogong misalnya, keluarga Agustina Dwi Ariani, memilih menjadi pengrajin batik Betawi. Tujuannya adalah untuk mempertahankan aset tanah mereka dari ekspansi usaha properti maupun proyek pemerintah.
Agustina menuturkan, kampung Terogong terjepit di antara kawasan elit Pondok Indah dan kawasan bisnis Fatmawati. Terogong selalu diincar pengembang untuk melebarkan kawasan tersebut. Dengan batik, ia berharap keluarganya secara khusus, dan kampung Terogong secara umum memiliki nilai lebih. Apalagi, sekarang rumah batik miliknya kerap didatangi tamu untuk belajar membatik. Dengan nilai lebih itu, ia berharap tanah warisan kakek moyangnya Guru Minan, dapat terus dipertahankan.
“Batik menjadi alat bagi keluarga kami untuk mendapatkan pengakuan dari pemerintah. Sebab, keluarga kami memegang teguh pesan orangtua bahwa tanah warisan harus terus dipertahankan,” ujar Tina.
Selain di Terogong, sentra pembuatan batik di Jakarta Selatan juga ada di Lenteng Agung, Setu Babakan, Palbatu, dan Gandaria. Selain di Jakarta Selatan, masing-masing wilayah di Jakarta juga memiliki sentra pengrajin batik. Seperti di Jakarta Utara yang terdapat sentra batik Marunda. Dari masa ke masa, redup dan bangkitnya batik Betawi menjadi saksi bisu perkembangan Jakarta yang ternyata masih pesat dan terus berderap.