Perjanjian dengan Uni Eropa Bisa Selesaikan Persoalan Kelapa Sawit
Tekanan terhadap produk kelapa sawit nasional diyakini dapat diselesaikan melalui Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dengan Uni Eropa.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Pemerintah memandang Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dengan Uni Eropa dapat menjadi senjata yang mampu membebaskan produk kelapa sawit nasional dari tekanan organisasi supranasional tersebut. Hambatan dari Uni Eropa atau UE turut berdampak pada penurunan ekspor kelapa sawit nasional.
Sejak 2016, Perjanjian Kerja Sama Ekonomi Komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa (I-EU CEPA), masih pada tahap perundingan.
"Indonesia memandang, tekanan terhadap produk kelapa sawit nasional dapat diselesaikan melalui (pembahasan) I-EU CEPA yang harus single undertaking (satu paket kesepakatan)," kata Deputi Bidang Koordinasi Kerja Sama Ekonomi Internasional Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Rizal Affandi Lukman saat dihubungi, Minggu (28/7/2019).
Salah satu tekanan Uni Eropa (UE) pada produk sawit nasional terletak pada delegated acts (rincian teknis) dokumen Arahan Energi Terbarukan II yang kini masih menunggu persetujuan penerapan.
Dokumen rincian teknis tersebut menggolongkan minyak kelapa sawit mentah (CPO) dalam kelompok tanaman pangan yang berisiko tinggi terhadap alih fungsi lahan secara tidak langsung.
Selain itu, UE berencana menerapkan bea masuk antisubsidi (BMAS) pada biodiesel berbahan baku kelapa sawit dari Indonesia pada Januari 2020. Perkiraan bea tersebut sebesar 8 - 18 persen. Saat ini, UE masih dalam tahap penyelidikan sebelum menerapkan BMAS itu.
Berdasarkan data yang dihimpun Kementerian Perdagangan, nilai ekspor biodiesel Indonesia ke UE sepanjang 2018 sebesar 532,50 juta dollar Amerika Serikat (AS). Angka ini melonjak 356,1 persen dibandingkan sepanjang 2017.
Badan Pusat Statistik mencatat, nilai ekspor Indonesia ke UE sepanjang semester-I 2019 sebesar 7,224 miliar dollar AS. Nilai ini lebih rendah 15,81 persen dari pencapaian pada tahun sebelumnya.
Di sisi lain, nilai ekspor produk minyak kelapa sawit yang mendominasi kelompok kode HS 15 sepanjang Januari-Juni 2019 juga turun sebesar 18,13 persen dibandingkan tahun sebelumnya secara keseluruhan. Pada semester-I 2019 ini, nilainya 8,082 miliar dollar AS.
Wakil Ketua Umum Bidang Hubungan Internasional Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Shinta Widjadja Kamdani menyatakan, berdasarkan data yang dihimpunnya, produk kelapa sawit dan turunannya menyumbang 30 persen ekspor Indonesia ke UE.
"Harapannya, perundingan I-EU CEPA dapat memberikan win-win solution (solusi menang-menang) terkait produk sawit Indonesia," katanya.
Menurut Vice Chairman European Business Chambers of Commerce (EuroCham) Wichard Von Harrach, pelaku industri kelapa sawit Indonesia mesti berjuang dalam mempromosikan produknya di pasar UE. Promosi utamanya bertujuan meyakinkan konsumen di negara-negara anggota UE terhadap penerapan prinsip-prinsip keberlanjutan di sisi lingkungan.
Sementara Kepala Perdagangan Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia dan Brunei Darussalam Raffaele Quattro mengatakan, UE sebetulnya masih membutuhkan produk kelapa sawit dari Indonesia. Oleh karena itu, produk kelapa sawit dan usaha-usaha penerapan prinsip keberlanjutannya dapat menjadi salah satu pembahasan dalam perundingan I-EU CEPA.
Saat ini, perundingan I-EU CEPA memasuki putaran ke-delapan.
"Kami mengharapkan agar perjanjian perdagangan ini dapat segera difinalisasi. Hal ini membutuhkan kemauan politis (political will) dari pemerintahan Indonesia," kata Raffaele.
Sementara itu, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Fithra Faisal berpendapat, Indonesia seharusnya dapat bersikap lebih akomodatif dan adaptif terhadap kebijakan UE terkait produk kelapa sawit dan turunannya. Jika Indonesia terlalu agresif, ekspor produk selain sawit ke UE terancam turut terkena hambatan.