Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan membantu mengadvokasi drg Romi Syofpa Ismael terkait dengan haknya sebagai perempuan penyandang disabilitas.
Oleh
YOLA SASTRA
·4 menit baca
PADANG, KOMPAS — Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak akan membantu mengadvokasi drg Romi Syofpa Ismael terkait dengan haknya sebagai perempuan penyandang disabilitas. Kementerian PPPA menilai, pembatalan kelulusan CPNS drg Romi karena berkursi roda oleh Pemerintah Kabupaten Solok Selatan sebagai bentuk diskriminatif.
Asisten Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian PPPA Nyimas Aliah di Padang, Sumatera Barat, Minggu (28/7/2019), mengatakan, dirinya telah membaca dokumen-dokumen terkait dengan drg Romi. Kementerian PPPA menyimpulkan, Pemkab Solok Selatan telah bertindak diskriminatif terhadap drg Romi.
”Kami akan memfasilitasi jika drg Romi membutuhkan pendampingan hukum,” kata Nyimas ketika menemui drg Romi dan kuasa hukumnya, Lembaga Bantuan Hukum Padang.
Nyimas melanjutkan, Kementerian PPPA tidak menolerir sekecil apa pun bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk diskriminasi. Pemerintah sudah banyak memberikan kebijakan untuk melindungi hak-hak perempuan penyandang disabilitas.
Kementerian PPPA tidak menolerir sekecil apa pun bentuk kekerasan terhadap perempuan, termasuk diskriminasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas, misalnya, ada satu bab khusus tentang perlindungan khusus dan perlakuan lebih terhadap penyandang disabilitas. Dalam bab itu disebutkan, mereka punya hak dan kesempatan yang sama, termasuk dalam memperoleh pekerjaan.
Meskipun siap membantu pendampingan hukum, Kementerian PPPA lebih mendorong penyelesaian kasus di luar persidangan. ”Kami berupaya meluruskan melalui upaya-upaya persuasif. Lebih baik diselesaikan di luar jalur hukum. Kami paham masih banyak warga yang belum sadar tentang keberadaan disabilitas,” ujar Nyimas.
Nyimas menambahkan, Pada Senin (29/7/2019), beberapa kementerian terkait yang dikoordinatori Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan menggelar rapat koordinasi menyikapi kasus drg Romi. Rapat itu juga mengundang Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Kabupaten Solok Selatan.
”Kami (Kementerian PPPA) ingin hak drg Romi dipulihkan. Kasus ini jadi pembelajaran bagi kita semua. Sekaligus sebagai uji materi terhadap UU No 8 Tahun 2016. Jika preseden buruk terjadi, percuma ada UU ini. Padahal, secara regulasi sangat kuat. Negara sudah banyak bertanggung jawab untuk kelompok disabilitas,” ujar Nyimas.
Penyandang disabilitas sering kali disalahartikan sebagai tidak sehat secara jasmani. Kesalahan tafsir itu diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Ketua Lembaga Advokasi dan Perlindungan Penyandang Disabilitas Indonesia Heppy Sebayang yang hadir bersama Kementerian PPPA berpendapat, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas sering terjadi akibat tafsir yang berbeda-beda terhadap peraturan. Tafsir berbeda itu tergantung dari pengalaman tiap-tiap orang dalam berinteraksi dengan isu-isu disabilitas.
Dalam syarat penerimaan pekerja, misalnya, penyandang disabilitas sering kali disalahartikan sebagai tidak sehat secara jasmani. Kesalahan tafsir itu diskriminatif terhadap penyandang disabilitas.
Menurut Heppy, peraturan perekrutan CPNS semestinya memuat secara jelas tafsir terkait syarat sehat secara jasmani dan rohani agar menghindari salah tafsir pada masa mendatang. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dapat dijadikan contoh.
”Dalam UU Pemilu disebutkan, syarat sehat jasmani dan rohani tidak dimaksudkan untuk menghalangi, membatasi, dan menghilangkan hak-hak politik penyandang disabilitas untuk mengikuti pemilu sepanjang mereka punya kompetensi dan kemampuan. Tafsir UU itu semestinya juga berlaku untuk semua isu,” kata Heppy.
Dalam kesempatan itu, Heppy juga menyatakan dukungan untuk mengadvokasi drg Romi. Heppy menyerahkan satu bundel berkas kasus diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang ia menangkan di pengadilan.
Satu kasus yang mirip dengan drg Romi adalah penolakan berkas pendaftaran PNS Wuri Handayani, penyandang tunadaksa, oleh Pemerintah Kota Surabaya tahun 2005. Panitia seleksi menafsirkan syarat sehat jasmani dan rohani bahwa seseorang tidak boleh memiliki cacat fisik. Di pengadilan, Wuri memenangkan gugatan karena perlakuan pemkot tersebut melawan hukum dan merugikan hak-hak individu penyandang disabilitas.
Direktur LBH Padang Wendra Rona Putra menyatakan siap berkolaborasi dengan sejumlah pihak untuk memulihkan hak drg Romi. Ia mengatakan, implementasi dari peraturan terkait hak disabilitas masih menjadi pekerjaan rumah yang besar. Meskipun secara tertulis baik, implementasi peraturan di lapangan masih buruk.
Di Sumbar, misalnya, setidaknya ada empat kasus diskriminasi terhadap disabilitas dalam tahun ini. Selain kasus drg Romi, ada dua kasus pelarangan penyandang disabilitas berkursi roda masuk ke Masjid Raya Sumbar dan satu kasus penyiksaan penyandang disabilitas mental di Pariaman.
”Ini menjadi tamparan keras, bagaimana semestinya Pemerintah Provinsi Sumbar bersikap atas kondisi ini,” kata Wendra.