Keluarga Berharap Kasus Nuril Jadi Pelajaran bagi Semua Pihak
Keluarga besar Baiq Nuril lega dan bersyukur atas persetujuan DPR bagi pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mereka ingin kasus yang menimpa Nuril menjadi pelajaran penting semua pihak sehingga tidak ada perempuan lain yang menjadi korban.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·4 menit baca
PRAYA, KOMPAS - Keluarga besar Baiq Nuril lega dan bersyukur atas persetujuan DPR bagi pemberian amnesti kepada Baiq Nuril dalam pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Mereka ingin kasus yang menimpa Nuril menjadi pelajaran penting semua pihak sehingga tidak ada perempuan lain yang menjadi korban.
Seperti diberitakan, dalam rapat paripurna, Kamis (25/7/2019), DPR menyetujui pemberian amnesti oleh Presiden Joko Widodo kepada Baiq Nuril. Setelah mendapat persetujuan ini, Presiden dapat menerbitkan putusan pemberian amnesti (Kompas, 26/7).
"Kami sangat bersyukur dan bahagia atas persetujuan (DPR) itu. Hari ini, keluarga besar sudah bisa merasa lega, berkumpul di sini untuk menyambut Nuril yang baru pulang dari Jakarta," kata Lalu Isnaini, suami Nuril di rumahnya di Puyung, Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat, Minggu (28/7/2019) siang.
Setelah hampir dua pekan di Jakarta, Minggu pagi ini, Nuril pulang ke rumahnya di Puyung. Sejak pagi hingga sore, anggota keluarganya dari berbagai tempat datang untuk menemui Nuril. Terlihat suasana bahagia di rumah tersebut.
Menurut Isnaini, selain untuk menyambut, mereka berkumpul untuk memberikan dukungan kepada Nuril hingga Presiden Joko Widodo menerbitkan keputusan amnesti. Sejak awal, dukungan keluarga besar memang terus diberikan agar Nuril tetap memperjuangkan keadilan.
Termasuk Presiden Joko Widodo yang telah menggunakan haknya sebagai kepala negara. Apalagi kita tahu bagaimana sifat dan karakter beliau yang selalu berada di pihak orang lemah. (Lalu Junaidi)
"Saya sekarang bisa tidur. Sebelumnya sulit tidur karena terus memikirkan tidak hanya anak saya, tetapi juga cucu, dan istri yang sedang sakit," kata Lalu Mustajab, ayah Nuril.
Lalu Junaidi, paman Nuril menambahkan, kasus yang menimpa Nuril bisa sampai di tahap ini tentu tidak lepas dari bantuan berbagai pihak."Termasuk Presiden Joko Widodo yang telah menggunakan haknya sebagai kepala negara. Apalagi kita tahu bagaimana sifat dan karakter beliau yang selalu berada di pihak orang lemah. Itu yang terjadi sekarang. Keponakan saya akan segera mendapatkan amnesti," kata Junaidi.
Baiq Nuril yang juga terlihat begitu ceria saat berkumpul dengan anggota keluarganya juga mengaku lega. "Rasanya plong. Setelah proses yang begitu panjang sejak 2014, akhirnya sekarang mau selesai. Memang belum ada keputusan resmi dari Presiden, tetapi kabarnya sudah masuk ke Presiden dan tinggal tandatangan beliau," kata Nuril singkat.
Tidak terulang
Junaidi berharap, kasus yang menimpa Nuril menjadi pelajaran penting. "Tidak hanya bagi kami, tetapi semua pihak. Bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia agar negara menjadi pelindung bagi warganya," kata dia.
Junadini menambahkan, kasus Nuril harus bisa menggerakkan negara agar menjadi pembela bagi orang-orang yang tidak berkemampuan. "Kalau dilihat hukuman untuk Nuril, selain penjara 6 bulan, juga denda Rp 600 juta. Mau dapat dari mana. Keponakan saya ini, untuk makan sehari-hari saja sulit," kata dia.
Kasus Nuril harus bisa menggerakkan negara agar menjadi pembela bagi orang-orang yang tidak berkemampuan.
Menurut Junaidi, kasus Nuril hendaknya menjadi titik tolak bagi pemerintah mengevaluasi Undang-Undang ITE. "Jangan sampai ada korban lainnya. Cukuplah keponakan saya yang terakhir, " tambahnya.
Bagi Junaidi UU ITE seperti dua mata pisau. Di satu sisi bisa dipakai untuk hal yang baik. Tetapi di sisi lain, kadang-kadang dipakai untuk hal yang kontraproduktif dengan misi undang-undang tersebut, salah satu contohnya pada kasus Baiq Nuril.
Dalam kondisi itu, menurut Junaidi, rasa keadilan yang kemudian harus dimiliki, terutama oleh aparat hukum. "Mestinya, aparat hukum di samping melihat delik undang-undang, nuraninya juga harus bicara. Kalau kembali kepada materi undang-undang itu sendiri, mungkin salah. Tetapi kalau dilihat dari nilai-nilai keadilan, sebaliknya," kata Junaidi.
Kasus yang menimpa mantan tenaga honorer di SMA Negeri 7 Mataram, NTB, itu berawal pada 2014 ketika dia dilaporkan M, kepala sekolah di tempatnya bekerja, dengan tuduhan pencemaran nama baik. Nuril merekam pembicaraan telepon dengan M karena merasa dilecehkan. Sebab, M menceritakan hubungan asmaranya dengan seorang wanita lain yang mengarah ke pornografi. Rekaman itu belakangan disebarluaskan rekan Nuril dan berujung pada laporan M ke Polres Mataram pada awal 2017.
Nuril pun didakwa dengan UU ITE karena mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan melanggar kesusilaan. Nuril ditahan dua bulan, kemudian dituntut enam bulan penjara dan denda Rp 500 juta oleh jaksa penuntut umum. Majelis hakim Pengadilan Negeri Mataram menjatuhkan vonis bebas kepada Nuril.
Jaksa penuntut umum mengajukan kasasi. Pada 26 September 2018, MA menjatuhkan vonis kepada Nuril enam bulan penjara serta denda Rp 500 juta subsider 3 bulan penjara. Nuril kemudian menggunakan upaya hukum terakhir dengan mengajukan peninjauan kembali (PK) ke MA.
Namun, Jumat (5/7/2019), MA melalui juru bicaranya menyatakan bahwa perkara PK dengan pemohon Baiq Nuril Maknun ditolak. Ini berarti MA menguatkan putusan pemidanaan yang dijatuhkan kepada Nuril. Sejak putusan itu, Baiq Nuril bersama kuasa hukumnya dan berbagai pihak terkait kemudian memperjuangkan amnesti sebagai jalan terakhir.