Indonesia Menuju Empat Besar Dunia
Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat dunia di tahun 2050. Keseriusan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam mengorkestrasi pemerintahan yang melayani masyarakat Indonesia menjadi kunci untuk mencapai posisi itu.
Apabila berjalan sesuai rel demokrasi dan kondisi pemerintahan beberapa tahun terakhir, Republik Indonesia diprediksi oleh lembaga profesional dan audit Pricewaterhouse Coopers (PwC) akan menjadi kekuatan ekonomi nomor empat dunia pada tahun 2050. Indonesia menjadi power house ekonomi dunia di bawah China, India, dan Amerika Serikat!
Sementara prediksi Pricewaterhouse Coopers (PwC), di tahun 2030, urutan ekonomi dunia didominasi China, Amerika Serikat, India, Jepang, dan Indonesia! Hanya 11 tahun dari sekarang, Indonesia akan menjadi peringkat ke-5 kekuatan ekonomi dunia!
Adapun berdasarkan perhitungan yang disampaikan Ekonom Kepala PwC John Hawksworth, di tahun 2016, Indonesia menduduki peringkat ke-8 ekonomi dunia di bawah China, Amerika Serikat, India, Jepang, Jerman, Rusia, dan Brasil.
Hanya Indonesia satu-satunya negara anggota ASEAN yang masuk 10 besar dan lima besar ekonomi dunia saat ini dan dalam 30 tahun mendatang. Produk domestik bruto Indonesia naik pesat dari 3.028 miliar dollar AS tahun 2016 menjadi 5.424 miliar dollar AS di tahun 2030 dan akan mencapai 10.502 miliar dolar AS tahun 2050.
Namun, ada pekerjaan rumah soal pemerataan, kesejahteraan, dan kepastian hukum yang harus dikerjakan saksama sejak sekarang, setelah Reformasi 1998 bergulir 20 tahun lebih.
Dalam forum percakapan yang diadakan lembaga penilai sumber daya manusia Daya Dimensi Indonesia di Jakarta, Kamis (25/7/2019) malam, Guru Besar Universitas Islam Negeri Komaruddin Hidayat mengingatkan, syarat-syarat untuk menjadi negara besar adalah adanya berbagai penemuan (invention) melalui ilmu pengetahuan dan riset serta penelitian serta pengembangan.
Selain itu, adanya birokrasi yang efektif dan efisien melalui pelayanan masyarakat yang bagus dan bebas korupsi serta kuatnya identitas. Itu pun yang menguat di Indonesia saat ini adalah adanya desakan identitas kelompok.
”Indonesia saat ini hanya unsur ketiga saja yang terpenuhi, yakni kuatnya identitas. Menurut Francis Fukuyama, negara yang mampu mengombinasikan riset dan pengembangan ilmiah, birokrasi yang efisien, dan kuatnya identitas sebagai bangsa akan bisa melakukan lompatan kemajuan di berbagai bidang menjadi bangsa besar. Kalau tidak terpenuhi dua variabel lainnya, Indonesia hanya akan menjadi negara pasar dan bukan negara industri,” kata Komaruddin.
Perjalanan kehidupan berbangsa di Indonesia, lanjut Komaruddin, di masa Orde Baru diwarnai kekuasaan yang terpusat pada Soeharto. Peran tersebut kini diambil alih partai politik sebagai instrumen demokrasi. Akan tetapi, partai politik lemah dalam menjalankan transparansi keuangan dan terjadi praktik politik berbiaya tinggi.
Walhasil, saat ini partai politik ibarat hanya menyediakan atau menjual boarding pass bagi calon yang akan muncul dalam proses elektoral di tingkat daerah dan nasional. Parpol dan ormas mengisi ruang dalam hubungan antara negara dan masyarakat.
Kehadiran Joko Widodo yang bukan dari golongan elite penguasa di Indonesia, diyakini Komaruddin, membuka pintu bagi siapa pun yang punya kemampuan bekerja dan dapat tampil memimpin di Indonesia.
Hal yang menjadi permasalahan saat ini adalah menguatnya politik identitas di negara yang majemuk. Itu mengakibatkan tidak terjadinya adu gagasan dan merujuk pada rekam jejak serta kemampuan calon yang akan memimpin Indonesia di berbagai lini.
Padahal, untuk mencapai kemajuan Indonesia, dibutuhkan pemimpin yang mampu mengakomodasi berbagai kepentingan, memiliki kemampuan, religius, sekaligus intelektual, dan menjunjung tinggi peradaban.
Kemajuan Indonesia juga tidak terlepas dari pertarungan berbagai kekuatan besar dunia. Komaruddin Hidayat mengingatkan pentingnya memahami geostrategis Indonesia yang selalu jadi rebutan kekuatan besar.
Semasa Perang Vietnam dan terjadi pertarungan Amerika-Blok Barat melawan Blok Timur yang komunis, korban besar di pihak Amerika adalah prajuritnya di Vietnam. Keseriusan dan komitmen Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam mengorkestrasi pemerintahan yang melayani masyarakat Indonesia menjadi kunci untuk mencapai posisi kekuatan empat besar dunia tahun 2050.
Akan tetapi, dalam periode yang sama di Indonesia, Amerika Serikat untung besar tanpa mengorbankan prajurit karena bisa mendapat konsesi ekonomi. ”Komunisme diberantas tanpa melibatkan fisik mereka dan salah satu keuntungannya adalah tambang besar Freeport di Papua,” kata Komaruddin.
Beda lagi dengan kondisi saat ini yang menghadapi benturan kepentingan antara Amerika Serikat dan China di Asia Tenggara, yang harus disikapi dengan bijak dan kepala dingin oleh Indonesia.
Kemajuan Indonesia juga tidak terlepas dari pertarungan berbagai kekuatan besar dunia. Komaruddin Hidayat mengingatkan pentingnya memahami geostrategis Indonesia yang selalu jadi rebutan kekuatan besar.
Menghadapi kepentingan dan peradaban besar tersebut, Komaruddin Hidayat mengingatkan pentingnya berpegang pada nilai Nusantara. Agama Hindu, Buddha, Islam, Kristen, Katolik, dan berbagai peradaban yang masuk ke Nusantara selalu dilokalkan sehingga dapat mengakar dan berbaur.
”Dari 16 hari besar agama, 11 adalah hari besar agama Islam. Banyak hari besar Islam yang kita rayakan yang tidak dirayakan di Timur Tengah. Ini bukti kebesaran kita dalam menerima peradaban dan nilai yang masuk,” kata Komaruddin.
Relasi militer-penegak hukum
Pembicara lain, pakar militer Connie Rahakundini Bakrie mengingatkan adanya variabel lain yang penting dalam mengatur roda pemerintahan di Indonesia. Untuk memastikan Indonesia menjadi negara besar dan sejahtera perlu membenahi relasi militer dan penegak hukum, terutama kepolisian.
”Yang terjadi pascareformasi adalah pemisahan antara pertahanan yang diembankan kepada TNI untuk menghadapi ancaman dari luar dan keamanan yang diserahkan kepada polisi untuk mengatur situasi aman di dalam negeri. Yang terjadi hari ini adalah militerisasi polisi dan demiliterisasi tentara,” kata Connie.
Selepas Reformasi 1998, reformasi TNI dan reformasi Polri dibiarkan berjalan sendiri-sendiri. Walaupun dalam realitas di lapangan banyak hal yang harus dikerjakan tentara, secara formal hal itu berada dalam kewenangan polisi. Walhasil, banyak dilakukan perbantuan atau bawah kendali operasi (BKO) TNI di bawah kepolisian.
Upaya membangun kultur patuh pada otoritas sipil di tubuh militer sulit dilakukan selama tidak jelas garis kewenangan polisi dan militer, terutama dalam isu keamanan. Ditambah lagi kecemburuan terhadap makin luasnya peran polisi di berbagai sendi kehidupan masyarakat dan negara.
Connie Bakrie mengingatkan, adanya peredaran rekaman ujaran petinggi militer yang menganjurkan melawan negara di situasi seputar pemilu adalah bukti adanya persoalan yang belum selesai dan berbau politik.
Dia menyayangkan kenapa yang muncul bukannya ujaran untuk membangun kepedulian terhadap para veteran, seperti veteran Timor Timur dan lain-lain.
Pemisahan militer dari keamanan yang kemudian diproyeksikan menghadapi ancaman dari luar juga harus didukung dengan membangun industri pertahanan yang sanggup menghadapi ancaman dari luar, semisal potensi konflik Laut China Selatan.
”Nyatanya, itu tidak terjadi. Momentum pemerintahan 2019-2024 ini harus dimaksimalkan untuk mewujudkan gagasan poros maritim dunia. Poros maritim dunia berarti kita juga poros dirgantara dan daratan sebagai persimpangan kepentingan perdagangan dunia dan berbagai kepentingan lain,” ujar Connie.
”Dengan membangun poros maritim dunia secara serius, berarti membangun pertahanan dan kemampuan militer Indonesia yang sejalan dengan pembangunan ekonomi Indonesia,” lanjutnya.
Mantan Pemimpin Redaksi Harian Kompas yang kini menjadi Wakil Pemimpin Umum Harian Kompas, Rikard Bagun, dalam kesempatan sama mengingatkan pentingnya mengedepankan rasionalitas dalam perbedaan.
”Pemilu tahun 1955 itu sangat terpecah dalam berbagai aliran politik, tetapi sangat menghargai rasionalitas dan adu gagasan. Pemilihan umum kita tahun 2019 sangat memecah, bahkan sampai tingkatan keluarga terbelah,” ujarnya.
Baca juga: ”Sea Power” Indonesia 2019-2024
Ia kemudian mengusulkan perlunya pemilu dengan calon minimal tiga pasangan agar tidak terjadi polarisasi dalam satu putaran pemilihan.
Kondisi dewasa ini, berita palsu, era post-truth, dan semakin minimnya etika di ruang publik terjadi di seluruh dunia. Kondisi yang semakin berbahaya muncul ketika kelompok ekstremis memanfaatkan platform media sosial yang sulit dikontrol.
Realitas keberagaman
Yosef Djakababa dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pelita Harapan menegaskan, pengalaman sejarah Nusantara sejak zaman Hindu-Buddha, kerajaan Islam, kolonial, dan Republik Indonesia selalu hidup dalam masyarakat majemuk.
”Beragam ini dalam semua bidang, tidak hanya suku, agama, sosial, ekonomi, tetapi juga dalam hal aliran pemikiran pun sejak dulu kita selalu beragam,” kata Djakababa, putra Pulau Sumba lulusan Wisconsin State University ini.
Masyarakat Nusantara sudah tidak asing dengan kebudayaan hibrida hasil percampuran gagasan dari seluruh dunia. Hingga memasuki fase kolonialisme Eropa. Metropole atau pusat kekuasaan di Eropa, makmur dari kekayaan negeri jajahan di Asia-Afrika, termasuk Nusantara yang menjadi titik utama pencarian jalan pelayaran ke timur oleh bangsa-bangsa Eropa.
Lalu Indonesia pun lahir dari kesamaan nasib berbagai elemen masyarakat di Nusantara. Akan tetapi, persoalan budaya feodalisme masih mengakar di masyarakat Indonesia hingga kini.
Bung Karno memimpin di masa Orde Lama dengan visioner dan semangat antikolonial. Tetapi, itu tidak cukup di masa Perang Dingin. Bung Karno pun terjungkal.
Orde Baru muncul di bawah Soeharto dengan fokus pembangunan ekonomi, tetapi keras terhadap oposisi, kekuasaan yang sentralistik, dan pembangunan yang Jawa-sentris pada akhirnya berakhir tragis di tahun 1998.
Indonesia memasuki era globalisasi pascareformasi dengan berbagai kebebasan dan munculnya multilateralisme dalam pergaulan dunia.
Akan tetapi, Djakababa mengingatkan fenomena Old State, New Society di Indonesia yang disampaikan Indonesianis Bennedict Anderson. Masyarakatnya boleh jadi baru, tetapi relasi dan bentuk bernegara masih sama seperti di masa silam, dengan berbagai kekurangan dan kelemahan yang ada.
Baca juga: Jalan Internasional Kita
Indonesia pun kini memasuki era populisme dengan banjirnya informasi dan menguatnya kesenjangan ekonomi dan kemunduran kualitas lingkungan.
Tantangan terakhir yang dihadapi Indonesia dan dunia saat ini adalah pola patron-klien (tidak sejajar) yang masih bertahan, sikap reaksioner dalam menghadapi persoalan karena terbiasa pragmatis, dan lambat bahkan enggan berbenah diri.
”Ditambah lagi kerusakan lingkungan, krisis iklim global yang sudah terjadi, dan krisis pangan. Indonesia harus melakukan mitigasi jika ingin menjadi kekuatan dunia dalam beberapa dekade mendatang,” kata Djakababa.
Keseriusan dan komitmen Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dalam mengorkestrasi pemerintahan yang melayani masyarakat Indonesia menjadi kunci untuk mencapai posisi kekuatan empat besar dunia tahun 2050.