Wewenang Kepala Daerah Mengangkat dan Menghentikan ASN Perlu Dievaluasi
Kasus suap jabatan yang terus terjadi menandakan ekses atau penyalahgunaan peran pejabat politik, terutama kepala daerah, dalam mengelola aparatur sipil negara (ASN). Karena itu, kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN harus dievaluasi atau ditinjau kembali.
Oleh
INSAN ALFAJRI
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kasus suap jabatan yang terus terjadi menandakan ekses atau penyalahgunaan peran pejabat politik, terutama kepala daerah, dalam mengelola aparatur sipil negara. Oleh sebab itu, kewenangan mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan aparatur sipil negara harus dievaluasi atau ditinjau kembali.
Asisten Komisioner Bidang Pengaduan dan Penyelidikan Komisi Aparatur Sipil Negara Sumardi, Sabtu (27/7/2019), mengatakan, dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN), pejabat politik, seperti gubernur, bupati, dan wali kota, dijadikan sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK). Dengan perannya itu, pejabat politik berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN.
”Ini bahayanya. Ditambah lagi, pejabat politik itu dihadapkan pada ongkos politik yang tinggi sewaktu menjadi kepala daerah,” lanjutnya.
Sumardi menilai, UU ASN itu perlu direvisi. Kewenangan PPK diserahkan ke sekretaris jenderal di kementerian, sekretaris utama di lembaga non-kementerian, atau sekretaris daerah di provinsi, kabupaten, kota.
”Bisa juga kewenangan itu diserahkan ke lembaga khusus yang anggotanya dipilih negara,” ucapnya.
Sebagai pejabat pembina kepegawaian, pejabat politik berwenang mengangkat, memindahkan, dan memberhentikan ASN. Ini bahayanya. Ditambah lagi, pejabat politik itu dihadapkan pada ongkos politik yang tinggi sewaktu menjadi kepala daerah.
Pada Jumat (26/7/2019), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Bupati Kudus M Tamzil atas dugaan suap pengisian jabatan. Tamzil diduga menerima uang hingga ratusan juta rupiah untuk memuluskan nama tertentu sebagai kepala dinas. Selain Tamzil, juga ada delapan orang lainnya, termasuk Sekretaris Daerah Pemerintah Kabupaten Kudus Sam’ani Intakoris dan dua pelaksana tugas kepala dinas.
Hingga Jumat petang, tim penyidik KPK telah menyita uang lebih kurang Rp 145 juta. Ruangan Sam’ani dan staf khusus bupati juga sudah disegel petugas KPK.
Perkara suap pengisian jabatan bukan baru kali ini terjadi. KPK juga pernah menangkap sejumlah kepala daerah karena suap pengisian jabatan. Kepala daerah itu adalah Bupati Klaten Sri Hartini, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra, dan Bupati Jombang Nyono Suharli Wihandoko (Kompas, 27/7/2019).
Menanggapi hal itu, Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Bahtiar menyatakan tindakan kepala daerah itu memalukan. Masih ada saja kepala daerah yang terkena operasi tangkap tangan, apalagi kasus jual beli jabatan.
Kementerian Dalam Negeri selalu mengingatkan daerah untuk menjauhi area rawan korupsi. ”Pak Menteri (Mendagri Tjahjo Kumolo) gencar mengingatkan agar kepala daerah menjauhi area rawan korupsi, bahkan kalau gubernur setiap baru dilantik selalu kami bawa ke KPK sebagai pengingat jangan sampai berkasus di KPK,” ujarnya.
Menurut Bahtiar, area rawan korupsi tersebut antara lain perencanaan anggaran, dana hibah dan dana bantuan sosial, pajak dan retribusi daerah, pengadaan barang dan jasa, serta menyangkut jual beli jabatan.
”Selain mengingatkan para kepala daerah, kami juga mengoptimalkan koordinasi dan supervisi dengan bidang pencegahan KPK di tingkat daerah,” lanjutnya.