Dinamika demokrasi tidak pernah selesai. Hal itu terjadi karena dalam sistem demokrasi selalu ada kaum terpinggirkan atau ”The Wrong” yang berusaha memperjuangkan kesetaraan mereka dalam tatanan masyarakat dominan.
Oleh
Aditya Diveranta
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Dinamika demokrasi tidak pernah selesai. Hal itu terjadi karena dalam sistem demokrasi selalu ada kaum terpinggirkan atau ”The Wrong” yang berusaha memperjuangkan kesetaraan mereka dalam tatanan masyarakat dominan.
”The Wrong” kerap memicu disensus atau situasi sosial yang memperlihatkan terjadinya ketidaksepakatan atau perselisihan mengenai nilai-nilai tertentu. Kendati begitu, disensus dianggap wajar hadir dalam suatu sistem demokrasi.
Hal itu mengemuka dalam sesi diskusi peluncuran buku Disensus: Demokrasi sebagai Perselisihan Menurut Jacques Ranciere di Teater Utankayu, Jakarta, Jumat (26/7/2019). Diskusi itu mengkaji pemikiran Ranciere, ahli filsafat Perancis, yang ditulis Sri Indiyastutik.
Pembicara dalam diskusi peluncuran buku itu adalah budayawan Goenawan Mohamad dan sosiolog Universitas Indonesia, Francisia Ery Seda.
Francisia menjelaskan, Ranciere menyampaikan bahwa demokrasi selalu menyisakan kaum terpinggirkan yang disebut The Wrong. Kalangan ini adalah orang-orang yang kehilangan hak mereka karena ditempatkan tidak sesuai dalam tatanan masyarakat dominan.
Kemudian orang-orang ini berusaha memperjuangkan hak mereka untuk menjadi setara. Keberadaan kaum The Wrong yang memperjuangkan kesetaraan dalam tatanan masyarakat dominan justru menunjukkan demokrasi berjalan dinamis.
”Ranciere menyebut, perjuangan kaum ini sebagai disensus dan bagian dari demokrasi. Namun dengan catatan, perselisihan ini tidak dimaknai dengan tindak kekerasan,” katanya.
Menurut Francisia, konsep disensus dalam demokrasi penting diketahui sebagai pemahaman alternatif. Sebab, selama ini sistem demokrasi cenderung hanya dimaknai sebagai sebuah konsensus atau kesepakatan.
Apabila demokrasi hanya dimaknai sebagai konsensus, makna demokrasi tereduksi sebagai ajang menang atau kalah. Dengan cara pandang seperti itu, bisa saja penguasa menghalalkan segala cara, bahkan yang tidak benar pun dilakukan asal mencapai konsensus.
Apabila demokrasi hanya dimaknai sebagai konsensus, makna demokrasi tereduksi sebagai ajang menang atau kalah.
”Dalam pemahaman demokrasi yang melulu soal kesepakatan, bisa saja terjadi oligarki kekuasaan. Penguasa bisa menghalalkan segala cara hanya demi mencapai konsensus, termasuk dengan menjual politik identitas,” ungkap Francisia.
Goenawan mengatakan, pemikiran demokrasi Ranciere dipengaruhi dengan latar belakang kehidupannya di Perancis. Ranciere sempat mengalami peristiwa bentrokan antara polisi, mahasiswa, dan kaum buruh yang terjadi pada Mei 1968.
Peristiwa itu juga berkaitan dengan perjuangan hak kesetaraan. Pada masa tersebut, Perancis pernah menganut paham konservatif yang kental hingga memicu pergerakan besar yang dilakukan masyarakat Perancis.
”Kalau berbicara mengenai Ranciere, kita tidak bisa melepaskan latar belakang sejarah yang dialami Ranciere di negaranya,” katanya.
Revolusi bukan dengan kekerasan. Dengan mengikuti pemikiran Ranciere mengenai disensus, menjadi mudah memahami politik Indonesia saat ini. Demokrasi politik Indonesia selalu mengarah pada konsensus sehingga bisa saja terjadi oligarki kekuasaan.