Sepanjang 2018 hingga Juli 2019, kemerdekaan pers di Asia Tenggara terus menjadi sorotan. Perhatian internasional khususnya tertuju ke Filipina dan Myanmar.
Secara khusus, seperti dilaporkan harian ini, Filipina menggelar Press Freedom Caravan, Rabu (24/7/2019), di Jakarta. Dalam acara itu, Pemerintah Filipina menegaskan kembali dukungannya pada kebebasan berpendapat. Kemerdekaan pers dihormati dalam konstitusi Filipina. Filipina menjelaskan sikapnya, sedangkan Myanmar lebih berdiam diri.
Sorotan atas ancaman kemerdekaan pers di Filipina terjadi setelah Rodrigo Duterte ditetapkan sebagai presiden sejak 2016. Ia menyatakan perang terhadap perdagangan narkotika, yang langkahnya dinilai masyarakat internasional diwarnai pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Kemerdekaan pers terancam, antara lain, karena penahanan terhadap Pemimpin Redaksi Rappler, Maria Ressa. Ressa terancam dipidana.
Manila menyatakan, kasus Maria Ressa itu murni persoalan hukum dan bukan ancaman bagi kebebasan pers. Sebaliknya, Ressa mengaku menjadi sasaran karena bersikap kritis terhadap kebijakan Presiden Duterte. Masyarakat internasional lebih memercayai Ressa.
Desember 2018, majalah Times mengangkat wartawan, termasuk Ressa, sebagai Person of the Year 2018. Selain Ressa, terdapat wartawan asal Arab Saudi, Jamal Khashoggi yang terbunuh di Turki; lima anggota staf surat kabar Capital Gazette yang terbunuh di ruang redaksinya di Maryland, Amerika Serikat; serta wartawan Reuters, Kyaw Soe Oo dan Wa Lone, yang ditahan dan diadili oleh pemerintah karena mendokumentasikan pembunuhan 10 warga Rohingya oleh aparat keamanan Myanmar. Keduanya sudah bebas.
Jurnalis Tanpa Batas (Reporters Sans Frontieres/RSF), dalam indeks kemerdekaan pers 2019, menempatkan Filipina di peringkat ke-134 dari 180 negara yang dinilai. Tahun 2018, Filipina di peringkat ke-133 dan peringkat ke-127 (2017).
Memburuknya kemerdekaan pers di Filipina, sesuai catatan RSF, antara lain, karena ancaman dari Presiden Duterte yang menyebut jurnalis tidak dibebaskan dari pembunuhan jika ia adalah penjahat. Tiga wartawan Filipina terbunuh pada 2019. The International Programme for the Development of Communication UNESCO pada 2018 menyebutkan, empat wartawan Filipina terbunuh tahun 2017 dan dua orang lainnya terbunuh pada 2016.
Dalam indeks kemerdekaan pers global dari RSF, peringkat Filipina yang menurun dibandingkan dengan tahun sebelumnya senasib dengan Myanmar, Kamboja, dan Laos. Peringkat Timor Leste, Thailand, Malaysia, dan Brunei Darussalam naik. Peringkat Indonesia dan Singapura tetap. Namun, kemerdekaan pers di negara-negara ASEAN masih saja berada di papan tengah dan bawah.
Kini, tugas pimpinan dan warga ASEAN untuk menghormati serta meningkatkan kemerdekaan pers di negara masing- masing. ”Freedom of the press is not just important to democracy, it is democracy,” kata wartawan perang AS, Walter Leland Cronkite Jr (1916-2009). Kemerdekaan pers itu adalah demokrasi.