Akibat bertambahnya tekanan dari pasar Uni Eropa, pelaku usaha mengharapkan pemerintah mempercepat penerapan program pencampuran bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit sebesar 30 persen atau program B30.
Oleh
M Paschalia Judith J
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Akibat bertambahnya tekanan dari pasar Uni Eropa, pelaku usaha mengharapkan pemerintah mempercepat penerapan program pencampuran bahan bakar nabati berbasis minyak kelapa sawit sebesar 30 persen atau program B30. Dengan percepatan program ini, pelaku usaha dapat mengalihkan suplainya yang semula untuk konsumsi Uni Eropa menjadi untuk kebutuhan dalam negeri.
Menurut Ketua Umum Asosiasi Produsen Biofuel Indonesia (Aprobi) MP Tumanggor, tekanan dari Uni Eropa (UE) membuat pelaku usaha enggan mengekspor ke negara-negara anggota UE. ”Oleh sebab itu, kami harap, penerapan mandatori B30 dipercepat. Mandatori B30 mampu mengalihkan suplai kami dari UE ke dalam negeri,” ujarnya saat dihubungi, Jumat (26/7/2019).
Tekanan makin meningkat karena UE berencana menerapkan bea masuk antisubsidi (BMAS) kepada eksportir biodiesel yang berbahan dasar minyak kelapa sawit dari Indonesia pada Januari 2020. BMAS itu sebesar 8-18 persen.
Sebelum penerapan tersebut, Komisi Eropa tengah menyelidiki kebenaran adanya bentuk-bentuk subsidi terhadap biodiesel Indonesia. Berdasarkan situs Komisi Eropa, penyelidikan tersebut berlangsung sejak Desember 2018.
Tumanggor berharap, program mandatori B30 dapat dipercepat menjadi Oktober 2019. ”Percepatan dapat terjadi jika Pertamina bisa menyiapkan tangki pencampurannya secepat mungkin. Perusahaan logistik juga mesti siap dengan penambahan fasilitas pengangkut,” katanya.
Terkait percepatan penerapan mandatori B30, Direktur Jenderal Minyak dan Gas Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Djoko Siswanto mengatakan, ada peluang hal itu terjadi. Namun, semuanya itu tergantung dari hasil uji jalan B30 pada kendaraan yang saat ini berlangsung.
Pemerintah menargetkan, mandatori B30 dapat diterapkan pada Januari 2020. Dengan penerapan B30, potensi penyerapan biodiesel berbahan baku kelapa sawit mencapai 9 juta kiloliter per tahun.
Aprobi mendata, produksi biodiesel sepanjang Januari-Mei 2019 mencapai 4,19 juta kiloliter. Realisasi penyaluran untuk kebutuhan domestik mencapai 3,16 juta kiloliter, sedangkan untuk ekspor sebesar 552.167 kiloliter.
Menduga proteksi
Sementara itu, Direktur Pengamanan Perdagangan Direktorat Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Pradnyawati menduga, UE tengah berupaya untuk memproteksi pasarnya dari produk kelapa sawit Indonesia. Hal ini terlihat dari rencana penerapan BMAS pada biodiesel dan pencanangan dokumen arahan energi terbarukan atau RED II yang mendiskriminasikan kelapa sawit.
Langkah tersebut diduga dilakukan UE seiring dengan melonjaknya ekspor biodiesel Indonesia ke UE. Kementerian Perdagangan mendata, total ekspor biodiesel ke UE pada 2017 senilai 116,73 juta dollar AS, sedangkan pada 2018 mencapai 532,50 juta dollar AS.
Lonjakan sebesar 356,1 persen tersebut disebabkan oleh dibebaskannya ekspor biodiesel dari bea masuk antidumping ke UE pada 2017. Pembebasan tersebut merupakan buah gugatan Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
Sebelum pengenaan bea masuk antidumping tersebut, Pradnyawati mengatakan, UE juga pernah berencana menerapkan BMAS pada biodiesel Indonesia pada 2013. Namun, usaha UE kandas karena tidak memiliki bukti yang cukup.
Oleh sebab itu, Pradnyawati optimistis, Indonesia dapat menepis tuduhan UE yang berkaitan dengan subsidi terhadap biodiesel. ”Semua peluang dapat terjadi, termasuk biodiesel yang tidak dikenai BMAS di UE,” ujarnya dalam konferensi pers, Jumat.
Total ekspor biodiesel ke UE pada 2017 senilai 116,73 juta dollar AS, sedangkan pada 2018 mencapai 532,50 juta dollar AS.
Ada sembilan aspek yang menjadi tuduhan UE terhadap subsidi yang dilakukan Pemerintah Indonesia. Kesembilan aspek itu ialah dana subsidi biodiesel yang berkaitan dengan keberadaan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit; pembatasan ekspor minyak kelapa sawit; serta keuntungan pemasukan pajak untuk investasi terdaftar (income tax benefits for listed investments). Selain itu juga adanya fasilitas pembiayaan dan jaminan dari Eximbank Indonesia; subsidi bagi kawasan industri; fasilitas fiskal bagi industri pionir; fasilitas bea masuk impor; tax exemption on VAT; dan subsidi langsung bagi produsen biodiesel.
Pradnyawati menyebutkan, UE menilai kesembilan aspek itu membuat harga produk yang terbentuk bukan karena mekanisme pasar. ”Padahal, sebagian besar aspek-aspek tersebut berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang bersifat umum terhadap industri, tidak spesifik untuk produsen biodiesel. Produsen biodiesel kita tergolong sudah besar dan mandiri sehingga tidak membutuhkan subsidi,” tuturnya.