Insentif pajak bagi hunian mewah membawa harapan kebangkitan bagi pasar di segmen atas. Selama ini, pasar primer hunian mewah nyaris terhenti karena konsumen dibebani pajak yang mencapai 40 persen.
Pemerintah memangkas tarif Pajak Penghasilan (PPh 22) hunian sangat mewah, dari 5 persen menjadi 1 persen. Pemerintah juga menaikkan batasan nilai unit apartemen sangat mewah yang kena PPh 22 dari Rp 5 miliar menjadi lebih dari Rp 30 miliar atau luas bangunan lebih dari 150 meter persegi. Adapun untuk rumah tapak ditetapkan di atas Rp 30 miliar atau luas lebih dari 400 meter persegi.
Selain itu, insentif juga diberikan dengan cara menaikkan batasan nilai hunian mewah kena Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), dari semula Rp 10 miliar menjadi Rp 30 miliar. Dengan dua kebijakan itu, proyek hunian mewah untuk harga unit Rp 10 miliar hingga di bawah Rp 30 miliar yang dibebaskan dari PPnBM dan PPh 22 diharapkan bangkit.
Dari sisi komposisi, keberadaan proyek hunian mewah sangat terbatas jumlahnya terhadap keseluruhan proyek properti. Colliers International Indonesia merilis, pasokan baru unit apartemen sampai dengan 2022 sebanyak 248.790 unit. Dari jumlah itu, kelas apartemen mewah dengan harga Rp 10 miliar-Rp 30 miliar hanya 999 unit atau 0,4 persen di antaranya.
Kendati pasokan tipis, kapitalisasi yang dihasilkan dari hunian mewah cukup signifikan. Sebagai ilustrasi, harga satu hunian mewah senilai Rp 10 miliar setara dengan 10 kavling rumah kelas menengah dengan harga Rp 1 miliar per unit. Atau lebih ekstrem lagi setara dengan 63 rumah tapak bersubsidi yang harganya Rp 158 juta per unit.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan kondisi di Indonesia yang memiliki penduduk 260 juta jiwa, pasar properti mewah belum berdampak luas bagi masyarakat. Sebab, kebutuhan hunian terbesar saat ini justru dari masyarakat kelas menengah. Kelompok ini mendominasi populasi penduduk Indonesia.
Selama ini, segmen kelas menengah mengalami berbagai kendala dalam menjangkau hunian. Kelas menengah serba ”nanggung” ini tidak memenuhi persyaratan kepemilikan rumah bersubsidi. Akan tetapi, mereka kesulitan menjangkau harga rumah segmen menengah yang berkisar Rp 500 juta-Rp 2 miliar per unit.
Sejauh ini, belum ada insentif dari pemerintah untuk segmen pasar terbesar ini. Kendala utama bagi segmen menengah adalah beban suku bunga kredit pemilikan rumah (KPR) yang tinggi. Padahal, porsi pemanfaatan KPR oleh kelompok masyarakat kelas menengah sekitar 74 persen dari transaksi. Kebijakan Bank Indonesia untuk menurunkan suku bunga acuan belum banyak berdampak terhadap penurunan suku bunga KPR.
Dari sisi suplai, upaya pemerintah menyediakan tanah hunian sangat terbatas. Upaya ini malahan lebih banyak dilepaskan kepada pihak swasta. Lahan yang harganya terjangkau juga semakin jauh dari pusat kota.
Dari sisi pengembang, suku bunga kredit konstruksi yang tinggi dan harga lahan yang mahal menyebabkan harga jual properti kelas menengah sulit ditekan. Akibatnya, pasar kelas menengah belum tergarap optimal.
Untuk menggerakkan properti, tidak cukup hanya mendorong insentif di kelas pucuk dan kelas terbawah. Bicara tentang kondisi di Indonesia, daya jangkau segmen menengah justru merupakan kuncinya.
Dibutuhkan terobosan dari aspek fiskal ataupun suplai. Terobosan itu antara lain kemudahan skema cicilan dan insentif suku bunga KPR. Dari sisi suplai, kemudahan pembebasan lahan dan harga tanah diharapkan lebih banyak menjangkau kelas menengah. (BM Lukita Grahadyarini)