Aktivitas pertambangan pasir darat di Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, dihentikan TNI Angkatan Laut. Sepuluh tahun lalu, Pulau Sebaik di Karimun hilang dari peta karena tenggelam akibat pertambangan pasir yang tidak terkontrol.
Oleh
PANDU WIYOGA
·2 menit baca
BATAM, KOMPAS — Aktivitas pertambangan pasir darat di Pulau Citlim, Kecamatan Moro, Kabupaten Karimun, Kepulauan Riau, dihentikan TNI Angkatan Laut. Dua belas tahun lalu, Pulau Sebaik di Karimun hilang dari peta karena tenggelam akibat pertambangan pasir darat yang tidak terkontrol.
Komandan Gugus Keamanan Laut (Guskamla) Komando Armada I Laksamana Pertama Yayan Sofiyan, di Batam, Kamis (25/7/2019), mengatakan, pertambangan pasir darat di Pulau Citlim dihentikan berdasarkan laporan warga setempat. Warga melapor karena takut aktivitas tambang akan merusak ekosistem.
”Di Kepulauan Riau ada 2.048 pulau, sebagian merupakan pulau-pulau kecil yang menjadi batas negara. Kami tidak ingin peristiwa tenggelamnya Pulau Sebaik kembali terulang,” kata Yayan.
Untuk mencapai Pulau Citlim, diperlukan tiga jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut dari Batam. Pada Mei 2018, Pemerintah Kabupaten Karimun pernah berencana mengembangkan wisata di pulau itu dengan membangun resor. Namun, karena kerusakan lingkungan semakin parah akibat tambang, rencana itu gagal terwujud.
Dua pelanggaran
Dalam penyelidikan awal, ditemukan dua dugaan pelanggaran yang dilakukan PT Asa Tata Mardika. Pertama, pelanggaran aktivitas bongkar muat tanpa izin di perairan timur Pulau Citlim. Hal itu melanggar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Kedua, izin aktivitas tambang di Pulau Citlim diduga bodong. Berdasarkan data yang dikantongi Guskamla, PT Asa Tata Mardika merupakan salah satu dari 20 perusahaan tambang di Kepulauan Riau yang izinnya telah dibekukan Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Kepulauan Riau pada 17 Juni 2019.
”Awalnya kami mengirimkan KRI Surik lebih dulu untuk memastikan laporan warga. Setelah dipastikan memang ada dugaan pelanggaran, KRI Torani dikirimkan pada Senin (22/7/2019) untuk melakukan penindakan di Pulau Citlim,” kata Yayan.
Kami tidak ingin peristiwa tenggelamnya Pulau Sebaik kembali terulang.
Satu kapal tunda, satu tongkang, dua truk pengangkut pasir, satu truk tangki, dan satu buldoser disita dalam penindakan tersebut. Selain itu, 15 pekerja juga dibawa ke Pangkalan TNI AL di Batam, kemudian dimintai keterangan lebih lanjut.
”Saat ini kami baru mengumpulkan bukti-bukti awal. Soal pasir akan dikirimkan ke mana dan akan digunakan oleh siapa, itu memerlukan pendalaman lebih lanjut,” ujar Yayan.
Komandan Pangkalan TNI AL Batam Kolonel Alan Dahlan mengatakan, yang berwenang melakukan pemeriksaan pertama terhadap penindakan di laut adalah anggota di KRI yang bersangkutan. Proses penyelidikan lebih lanjut akan segera dimulai setelah berkas perkara diterima dari KRI Torani.
”Pelanggaran terkait pelayaran akan disidik sendiri oleh TNI AL. Adapun dugaan pelanggaran yang mengarah pada dampak lingkungan akan diserahkan kepada penyidik pegawai negeri sipil yang berwenang,” kata Alan.