Pemberantasan peredaran produk baja impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia dinilai penting untuk meningkatkan utilisasi industri baja di Tanah Air. Saat ini, utilisasi industri baja masih relatif kecil, yakni berkisar 8,9-38 persen.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono
·3 menit baca
KOMPAS/CYPRIANUS ANTO SAPTOWALYONO
Suasana diskusi kelompok terfokus bertajuk ”Pemberantasan Peredaran Produk Baja Impor Non-SNI” yang digelar Kamar Dagang dan Industri Indonesia di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
JAKARTA, KOMPAS — Pemberantasan peredaran produk baja impor yang tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia atau SNI dinilai penting untuk meningkatkan utilisasi industri baja di Tanah Air. Di sisi lain, industri baja dalam negeri ditantang meningkatkan efisiensi produksi agar kompetitif.
Demikian antara lain mengemuka pada diskusi kelompok terfokus bertajuk ”Pemberantasan Peredaran Produk Baja Non-SNI”. Diskusi digelar Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia di Jakarta, Rabu (24/7/2019).
Direktur Utama PT Krakatau Steel (Persero) Tbk Silmy Karim mengatakan, ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan industri baja nasional beroperasi sangat berat. Salah satunya adalah baja impor yang diduga masuk dengan pengalihan kode sistem terharmonisasi atau HS code untuk menghindari bea masuk.
Menurut dia, mustahil untuk berhadapan dengan importir yang melakukan pengalihan kode HS sehingga mereka bisa berhemat 15 persen. Belum lagi ketika ada rebate atau potongan pajak ketika mengekspor produk yang berkisar 10-13 persen.
Kompas/Totok Wijayanto
Ilustrasi
”Kami bukan mencari proteksi yang berlebihan. Kami hanya ingin level playing field (tingkat medan persaingan) yang sama,” kata Silmy.
Ketua Asosiasi Industri Pengecoran Logam Indonesia (Aplindo) Achmad Safiun mengatakan, struktur biaya produksi terkait dengan penggunaan teknologi berpengaruh terhadap daya saing harga baja.
Teknologi yang digunakan industri baja nasional dinilai tertinggal dibandingkan dengan negara lain. Akibatnya, energi yang dibutuhkan untuk menghasilkan 1 ton baja di Indonesia mencapai 600-650 kWh atau lebih tinggi ketimbang di negara lain yang hanya sekitar 300-320 kWh.
Teknologi yang digunakan industri baja nasional dinilai tertinggal dibandingkan dengan negara lain.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Perindustrian Johnny Darmawan menambahkan, penegakan aturan hukum adalah hal penting. ”Saya mendapat kabar bahwa para pemain baja di Indonesia sudah pada idle semua,” katanya.
Utilisasi pabrik yang rendah berpotensi menimbulkan pemutusan hubungan kerja. Bahkan, ketika sampai ada pabrik yang tutup, pendapatan negara dari pajak pun akan berkurang.
”Jadi, persoalan baja adalah masalah nasional yang harus diatasi supaya semua perusahaan baja nasional dapat hidup, menghidupi karyawan, dan memberikan pendapatan kepada pemerintah,” kata Johnny.
KOMPAS/HERU SRI KUMORO
Gulungan baja lembaran yang siap dikirim ke konsumen di pabrik baja PT Krakatau Steel, Cilegon, Banten, awal Februari 2013. Konsumsi baja di dalam negeri diproyeksi tumbuh 6-9 persen pada 2013. Pertumbuhan industri baja ini didorong peningkatan investasi di sektor manufaktur, otomotif, dan realisasi pembangunan sejumlah proyek infrastruktur pemerintah. Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 06-02-2013
Data yang disampaikan Kadin Indonesia melalui rilis pers menyebutkan, kapasitas industri baja lapis seng di dalam negeri 1.007.000 metrik ton (MT), utilisasi 35 persen, dan importasi 290.000 MT.
Kapasitas industri baja lapis aluminium seng dalam negeri 1 juta MT, utilisasi 38 persen, dan importasi 750.000 MT. Adapun kapasitas industri baja lapis seng warna dan baja lapis aluminium seng warna 450.000 MT, utilisasi 8,98 persen, dan importasi 1 juta MT.
Kadin Indonesia mengajak semua pihak berpartisipasi aktif mendorong industri dalam negeri. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian diharapkan segera menerbitkan peraturan tentang penetapan SNI wajib untuk baja lapis seng, baja lapis aluminium seng, baja lapis seng warna, dan baja lapis aluminium seng warna. ”Kami juga mengharapkan pengawasan SNI yang benar-benar diperketat,” kata Johnny.