Menarik Milenial, Penerbitan Sukuk Hijau Ritel Dikaji
Oleh
KELVIN HIANUSA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mengkaji penerbitan investasi Surat Berharga Syariah Negara untuk pembiayaan proyek ramah lingkungan, yaitu sukuk hijau khusus sektor ritel. Instrumen investasi untuk individu itu diminati generasi milenial.
Sukuk hijau (green sukuk) merupakan instrumen investasi yang diterbitkan Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dalam dua penerbitan sukuk hijau sebelumnya, hanya investor badan atau perusahaan yang bisa membeli.
Dwi Irianti Hadiningdyah, Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kemenkeu, mengatakan, Kemenkeu sedang mengkaji penerbitan sukuk hijau ritel. Setelah regulasi penerbitan jadi, para investor perorangan bisa membeli secara daring dengan nilai yang bervariasi.
”Kita minta UNDP (Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa) juga mengkaji potensinya dari sisi investor ritelnya. Banyak calon investor yang tanya sukuk hijau bisa dibeli di mana,” kata Dwi dalam 4th Annual Islamic Finance Conference (AIFC), 24-25 Juli 2019, di Surabaya, Jawa Timur.
Menurut Dwi, sukuk hijau ritel sangat cocok dengan generasi milenial. Sebelumnya, Kemenkeu sudah beberapa kali mengeluarkan sukuk tabungan. Pembeli mayoritasnya, mencapai 50 persen, merupakan generasi milenial yang berusia 19-39 tahun.
”Itu cara kita mewadahi mereka yang ingin beli sukuk, tetapi bedanya ini yang hijau. Sukuk tidak hanya dibeli oleh investor syariah, tetapi semuanya juga ikut membeli, termasuk konvensional,” katanya.
Dwi menambahkan, sukuk hijau ritel lebih cocok ke generasi milenial karena sukuk itu mengusung konsep kepedulian terhadap lingkungan. Milenial banyak yang peduli dengan lingkungan dan investasi terkait hal itu.
”Kita perlu memenuhi platform daring dengan sukuk hijau. Terbukti partisipasi milenial terus meningkat di sektor investasi itu, terutama di daring,” katanya.
Pemerintah sudah dua kali menerbitkan sukuk hijau. Pada 2018, sukuk hijau yang diterbitkan senilai 1,25 miliar dollar AS dengan imbal hasil 3,75 persen per tahun. Kemudian pada 2019 nilainya 750 juta dollar AS dengan imbal hasil 3,9 persen per tahun.
Pendanaan dari sukuk hijau itu digunakan untuk 23 proyek pembangunan berkelanjutan nasional. Beberapa di antaranya yaitu jalur ganda kereta api sepanjang 727 kilometer, 121 pembangkit listrik tenaga matahari, dan pengelolaan sampah bagi 3,4 juta rumah tangga.
Dalam penerbitan kedua, pada Februari 2019, sukuk hijau semakin diminati banyak investor. Meskipun jumlah penerbitan lebih kecil, investor meningkat dari 146 investor menjadi 183 investor. Investasi ini juga inklusif karena mayoritas investor atau hampir 70 persen berasal dari pasar konvensional, seperti Eropa dan Amerika.
Direktur Eksekutif Komite Nasional Keuangan Syariah (KNKS) Ventje Rahadjo Soedigno mengemukakan, sukuk hijau ritel memang berpotensi bagi generasi milenial. Namun, hal itu akan kembali lagi kepada imbal hasil dari investasi.
”Saya kira anak muda sekarang sangat rasional. Pasti mereka tanya keuntungan juga. Jika keuntungannya sama atau tidak terlalu jauh dengan konvensional, mereka akan melihat lebihnya apa. Misalnya, sukuk itu berjenis sukuk syariah atau bisa juga sukuk hijau,” tutur Ventje.
KNKS berharap uang penerbitan sukuk hijau ritel itu ditaruh di bank syariah. Hal itu untuk memperbesar pangsa pasar keuangan syariah yang saat ini belum mencapai 10 persen dibandingkan dengan konvensional. Perkembangan bank syariah akan otomatis mengembangkan isntrumen di dalamnya, seperti sukuk hijau.
KNKS berharap uang penerbitan sukuk hijau ritel itu ditaruh di bank syariah. Hal itu untuk memperbesar pangsa pasar keuangan syariah yang saat ini belum mencapai 10 persen dibandingkan konvensional.
Muhammad Didi Hardiana, National Project Manager UNDP Indonesia, mengatakan, penerbitan terdahulu, yaitu sukuk ritel dan sukuk hijau, mendapat tanggapan baik dari investor. Untuk itu, sukuk hijau ritel juga sangat potensial.
”Saya pikir ini bisa menjadi peluang bagi pasar domestik untuk bisa juga menjadi investor untuk instrumen pemerintah. Saat ini, kita sedang mengembangkan studi sukuk hijau untuk investor ritel individu di Indonesia,” ujar Didi.
Nantinya, UNDP akan membantu melihat prospek dari proyek yang sudah dicanangkan pemerintah untuk perubahan iklim. UNDP akan mengidentifikasi proyek yang memiliki dampak paling besar untuk Indonesia.
”Kami cari yang punya dampak positif untuk tujuan pembangunan sehingga nantinya proyek-proyek itu bisa dimonitor pemerintah melalui sukuk hijau ritel. Perhatian anak muda untuk isu-isu lingkungan sangat tinggi sekarang,” kata Didi.