Jembatan Palu IV, Utang, dan Mitigasi
Jembatan Palu IV atau Jembatan Kuning roboh saat gempa dan tsunami lalu di Kota Palu, Sulawesi Tengah. Jembatan senilai Rp 25 miliar yang dibangun tahun 2006 itu menyisakan masalah, yakni pembayaran utang Pemerintah Kota Palu kepada rekanan.
Ketika pembayaran utang jadi polemik, termasuk karena aroma suap, pemerintah mau membangun lagi jembatan yang sama dengan versi baru. Di sisi lain, daerah ini masih mengurus bencana yang didera kehancuran akibat gempa dan tsunami.
Pascagempa dan tsunami 28 September 2018, di lokasi jembatan tinggal tersisa oprit di sisi timur dan barat muara Sungai Palu. Hanya itu yang tersisa dari jembatan yang memiliki panjang 250 meter. Pemerintah menyimpan kerangka jembatan untuk dilelang.
Jembatan Palu IV menghubungkan timur dan barat Kota Palu yang sekaligus menjadi akses utama dari dan menuju Kabupaten Donggala bagian selatan, Provinsi Sulawesi Barat serta Sulawesi Selatan. Waktu masih membentang, jembatan itu menjadi ikon dan spot befoto di Palu. Pada malam hari, cahaya bergelimang di lengkung jembatan.
Ternyata, jembatan itu mengandung masalah yang tak seindah saat sebelum hancur karena gempa dan tsunami. Pembayaran utang yang dilakukan Pemkot Palu kepada rekanan PT Global Daya Manunggal pada Maret 2019 sebesar Rp 14,9 miliar menuai pro-kontra.
Pembayaran utang itu merupakan perintah dari putusan Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI). PT Global Daya Manunggal membawa masalah utang pembangunan jembatan tersebut ke BANI. Pengajuan ke BANI dilakukan karena Pemkot Palu pada 2007 tak mau membayar utang dari penyesuaian harga dan penambahan pekerjaan.
Putusan BANI tertanggal 2 Oktober 2007 dikuatkan oleh semua putusan pengadilan, mulai dari banding di Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung. Pemkot Palu waktu itu tak langsung membayar karena proses di tingkat pengadilan tersebut berlangsung. Putusan BANI juga mencantumkan pembayaran utang 10 persen dari pokok utang per tahun.
Dalam rapat dengar pendapat di kantor DPRD Kota Palu, Senin (15/7/2019), Wali Kota Palu Hidayat menegaskan, pembayaran utang itu murni melaksanakan putusan berkekuatan hukum tetap. Pemkot Palu bahkan berkonsultasi dengan Forum Komunikasi Pimpinan Daerah, pengadilan negeri, Kementerian Dalam Negeri, dan KPK. Hasilnya sama, utang harus dibayar. ”Kalau tidak dibayar, bunganya jalan terus. Pada 2019, total utang pokok dan bunganya Rp 33 miliar. Yang kami bayar itu baru utang pokok,” katanya.
Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Kota Palu Iskandar Aryad menegaskan. karena tercatat dalam APBD 2019, sebagai dinas teknis, ia membayar utang tersebut. Memang tidak diatur soal waktu pembayaran, tetapi semakin lama diulur-ulur, bunganya akan semakin besar. Soal aroma suap mengiringi pembayaran utang, Aryad menegaskan, pihaknya tak ada hubungannya dengan hal itu. Ia setuju kalau hal tersebut dibawa ke ranah hukum.
Anggota Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa DPRD Kota Palu, Nasir Daeng Gani, mengingatkan semua pihak, isu pembayaran utang dengan aroma suapnya menjadi bola panas akhir-akhir ini. Ia meminta Dewan mengusut hal itu. Ketua DPRD Kota Palu Ishak Cae yang memimpin rapat justru menantang Nasir untuk melapor kepada penegak hukum jika memang mengetahui informasi soal suap itu.
Bangun lagi
Pembayaran utang Rp 14,9 miliar juga dipertanyakan karena dilakukan saat sejumlah kewajiban pemerintah dalam memenuhi hak penyintas belum diurus. Hak itu berupa uang jaminan hidup per hari Rp 10.000 per pengungsi selama dua bulan, dana stimulan perbaikan rumah rusak, hingga santunan korban meninggal Rp 15 juta per jiwa. Hak-hak penyintas itu belum terealisasi sepenuhnya setelah 10 bulan bencana berlalu.
”Saya tidak tahu apa yang ada dalam pikiran pemerintah dalam menangani bencana ini. Atau, jangan-jangan mereka tak menganggap ini bencana besar,” kata Timo Jehaut (34), warga Kelurahan Birobuli Selatan, Kecamatan Palu Selatan, yang rumahnya rusak sedang.
Tak berhenti pada polemik pembayaran utang, Jembatan Palu IV versi baru akan dibangun lagi di lokasi tak jauh dari muara Sungai Palu. Bentuk dan ukuran dibuat semirip mungkin dengan jembatan lama: kerangka samping berwarna kuning melengkung ke atas di dua sisi jembatan.
Jika merujuk pada peta kerawanan bencana, jarak tersebut masih berada di dalam zona merah/terlarang untuk pembangunan hunian. Kawasan zona merah adalah titik-titik yang mengalami kehancuran total pada gempa lalu, antara lain bekas tsunami dan likuefaksi.
Biaya pembangunan jembatan tak disebutkan secara rinci, hanya bagian dari paket dana hibah Badan Kerja Sama Internasional Jepang (JICA) untuk penanganan bencana di Sulteng senilai Rp 300 miliar. Pegiat literasi kebencanaan Sulteng Isnaeni Muhidin menyayangkan tidak responsifnya pemerintah dalam mengurus kebencanaan dan mitigasinya.
Dosen Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Tadulako Palu, Abdullah, mengingatkan kompleksitas bencana di Kota Palu. Selain gempa, bencana yang mengikuti tsunami, likuefaksi, ada juga fenomena penurunan dan penaikan muka tanah. Kondisi itu harus dipertimbangkan saat membangun infrastruktur. Bencana semestinya mengubah kebijakan untuk lebih mengutamakan mitigasi. (Videlis Jemali)