Jebakan Rokok untuk Masa Depan Anak
Ketika anak-anak sudah menjadi perokok aktif, di situlah bukti abainya semua elemen masyarakat. Anak-anak Indonesia berusia 5-17 tahun yang merokok tembakau mencapai 939.434 orang dengan 80 persen menjadikannya konsumsi harian.
Ketika anak-anak sudah menjadi perokok aktif, di situlah bukti abainya semua elemen masyarakat. Anak-anak Indonesia berusia 5-17 tahun yang merokok tembakau mencapai 939.434 orang dengan 80 persen menjadikannya konsumsi harian. Penduduk muda ini menjadi korban dari minimnya perlindungan baik dari negara, masyarakat, keluarga, maupun korporasi industri rokok.
Anak-anak dan remaja seperti dikepung oleh rokok. Dengan gampang contoh perilaku merokok ditemukan di sekitarnya, baik oleh orang dewasa maupun sesama anak-anak. Belum lagi paparan iklan rokok yang masif memapar anak-anak tanpa disadari bahayanya. Pembiasaan ini menjadikan merokok tidak dianggap sebagai satu tindakan berisiko untuk dirinya.
Anak-anak dan remaja yang menjadi perokok sering kali berhubungan dengan pergaulan. Pilihan untuk merokok sering kali terkait dengan kebutuhan eksistensi dan agar dapat diterima dalam pergaulan di mana mereka berada. Pada usia yang lebih dini, imitasi orang dewasa di sekitarnya lebih mungkin terjadi. Berawal dari coba-coba, aktivitas merokok menjadi candu.
Menilik Riset Kesehatan Dasar yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan, angka prevalensi merokok pada usia remaja, 10-18 tahun, terus meningkat. Pada 2013 terdapat 7,2 persen remaja yang rutin merokok. Tiga tahun kemudian, angkanya naik menjadi 8,8 persen. Riset terakhir, pada 2018, angka tersebut kembali naik jadi 9,1 persen.
Perilaku merokok pada anak usia 5-17 yang merokok tembakau setiap hari mencapai 1,30 persen dari total anak di kelompok usia ini yang mencapai 57,6 juta orang.
Bahkan, menurut data dari Global Youth Tobacco Survey 2017 yang dirilis Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pengguna tembakau usia muda di Indonesia sepanjang 2016 mencapai 12,7 persen. Khusus perokok sigaret berusia muda mencapai 11,5 persen, sementara pengguna tembakau tanpa asap sebanyak 2,1 persen.
Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional 2017 oleh Badan Pusat Statistik menunjukkan, perilaku merokok pada anak usia 5-17 yang merokok tembakau setiap hari mencapai 1,30 persen dari total anak di kelompok usia ini yang mencapai 57,6 juta orang.
Adapun anak-anak yang merokok tembakau tidak setiap hari mencapai 0,33 persen. Ada pula anak yang sudah merokok elektrik setiap hari sebanyak 0,09 persen. Sementara yang merokok tidak setiap hari mencapai 0,03 persen.
Dilihat dari jenis kelaminnya, anak laki-laki yang merupakan perokok tembakau setiap hari sebanyak 2,49 persen. Angka ini jauh lebih banyak daripada anak perempuan dengan kebiasaan sama (0,06 persen). Kebiasaan merokok tidak setiap hari di kelompok anak laki-laki ditemukan pada 0,62 persen. Sementara yang tidak tiap hari pada anak perempuan sebanyak 0,02 persen.
Selain tembakau, rokok elektrik kian membanjiri pasaran rokok di dunia, tak terkecuali Indonesia. Menurut Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia, industri rokok elektrik di Indonesia setidaknya sudah memiliki 300 produsen liquid, lebih dari 100 produsen alat dan aksesori, lebih dari 150 distributor dan importir, serta 5.000 pengecer.
Menjamurnya rokok elektrik di pasaran juga menarik anak-anak usia 5-17 untuk mencobanya dan menjadi kecanduan. Bahkan, 0,17 persen anak laki-laki sudah memiliki kebiasaan merokok rokok elektrik setiap hari.
Sementara ada 0,05 persen anak laki-laki yang mengisap rokok elektrik tidak setiap hari. Selain menarik bagi anak laki-laki, anak perempuan pun tertarik mencobanya. Setidaknya ada 0,01 persen anak perempuan yang mengonsumsi rokok elektrik meski tidak setiap hari.
Mengancam Kesehatan
Fakta data tersebut baru menghitung anak-anak perokok aktif, belum memasukkan jumlah anak yang menjadi perokok pasif. Padahal, paparan asap rokok beserta racun yang dikandungnya terhadap para perokok pasif banyak terjadi di fasilitas umum dan lingkungan rumah.
Hasil Global Adult Tobacco Survey tahun 2011-2015 menunjukkan, prevalensi perokok pasif di Indonesia paling banyak ditemukan berturut-turut di restoran, rumah, dan tempat kerja. Khusus paparan rokok di lingkungan rumah yang mencapai 80 persen sangat rentan bagi anak-anak.
Dengan banyaknya perokok aktif dan perokok pasif di kelompok usia anak-anak tersebut, sesungguhnya bangsa ini sedang berinvestasi buruk untuk masa depan. Kebiasaan merokok pada anak dan remaja berdampak buruk pada kesehatannya di jangka panjang. Ancamannya antara lain paru-paru berhenti berkembang, kerusakan gigi, gejala penyakit jantung dan pembuluh darah lebih awal, serta masalah pada otot dan tulang.
Dengan banyaknya perokok aktif dan perokok pasif di kelompok usia anak-anak tersebut, sesungguhnya bangsa ini sedang berinvestasi buruk untuk masa depan.
Selain itu, saat dewasa kelak, anak-anak perokok juga rentan mengalami penurunan kesuburan, peningkatan insiden hamil di luar kandungan, gangguan pertumbuhan janin fisik dan mental, kejang pada kehamilan, gangguan imunitas bayi, dan peningkatan kematian perinatal.
Bahaya bagi kesehatan yang ditimbulkan rokok adalah karena di dalamnya terkandung zat-zat yang sangat berbahaya, seperti nikotin, sianida, kadmium, metanol, amonia, karbon dioksida, dan lain-lain.
Menurut WHO, diperkirakan pada tahun 2030, angka kematian yang disebabkan oleh kebiasaan merokok mencapai 10 juta jiwa setiap tahun. Bahkan, Indonesia disebut sebagai negara ketiga dengan jumlah perokok terbesar di dunia setelah China dan India.
Dilema pengendalian rokok
Hingga saat ini, rokok menjadi salah satu persoalan problematik di Indonesia. Bahaya kesehatan yang mengancam generasi penerus bangsa di satu sisi, sementara di sisi lain keuntungan ekonomis begitu memanjakan negara.
Pada 2018, cukai rokok menyumbang sekitar Rp 153 triliun untuk negara. Mengacu pada Tobacco Control Atlas 2018, Indonesia ada di posisi kedua setelah China sebagai pasar rokok terbesar di dunia dengan volume 316 juta batang.
Legislasi yang memiliki semangat melindungi anak dan remaja dari rokok sesungguhnya telah hadir di Indonesia. Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan, pemerintah wajib bertanggung jawab melindungi anak dalam situasi darurat, salah satunya korban zat adiktif, termasuk rokok.
Mengacu pada UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Pasal 113 menyebutkan dengan jelas bahwa zat adiktif meliputi tembakau dan produk yang mengandung tembakau.
Pemerintah berupaya mengendalikan dampak merokok dengan menghadirkan Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Penyelenggaraan pengamanan bahan yang mengandung zat adiktif berupa produk tembakau bagi kesehatan meliputi produksi dan impor, peredaran perlindungan khusus bagi anak dan perempuan hamil, dan adanya kawasan tanpa rokok.
Berbagai aturan secara rinci terkait pencantuman informasi yang harus dimuat dalam kemasan produk rokok juga diatur dalam PP Nomor 109 Tahun 2012 termasuk larangan menjual atau memberikan produk kepada anak di bawah 18 tahun, menampilkan anak dan remaja dalam iklan, hingga promosi lain.
Bahkan, larangan juga muncul bagi setiap orang yang menyuruh anak di bawah usia 18 tahun untuk menjual, membeli, atau mengonsumsi produk tembakau. Namun, sayangnya sanksi yang diberikan bagi pelanggar sebatas sanksi dari pemerintah daerah tanpa aturan yang lebih detail. Aturan ini dinilai gagal melindungi anak dan remaja dari penggunaan rokok.
Dukungan
Minimnya penerapan sanksi tidak boleh menyurutkan berbagai pihak untuk ikut berkontribusi memerangi perilaku merokok pada anak dan remaja. Selain perlindungan hukum, mereka membutuhkan dukungan untuk berhenti dari perilaku merokok.
Menaikkan harga rokok tidak otomatis dapat menurunkan jumlah perokok, terutama perokok anak. Upaya preventif ataupun kuratif sebaiknya tidak menggunakan pendekatan kognitif semata, seperti pemberian informasi bahaya-bahaya atau dampak negatif merokok, tetapi lebih diperlukan sentuhan-sentuhan afeksional. Pendekatan afeksional diiringi dengan upaya melepaskan anak-anak dari kebiasaan merokok dan mengalihkannya ke kegiatan yang lebih positif.
Pendekatan afeksional harus dibarengi dengan pendekatan klinis. Penyediaan terapi gratis di klinik kesehatan harus ditingkatkan untuk dapat merangkul anak dan remaja yang menjadi korban rokok.
Menjaga generasi mendatang menjadi tanggung jawab tidak saja pemerintah, tetapi juga semua pihak. Bahkan, dengan tidak menjadi perokok, setiap orang sudah berkontribusi membentuk generasi baru yang lebih sehat dan produktif. (LITBANG KOMPAS)
Baca juga: Sudahkah Hak Anak atas ASI Terpenuhi?
Baca juga: Akta Kelahiran Anak, Bukti Legal Kehadiran di Dunia
Baca juga: Jangan Abaikan Imunisasi Anak