JAKARTA, KOMPAS – Para aparat penegak hukum dari berbagai instansi berkomitmen untuk bekerja sama dalam menangani berbagai kasus kejahatan lingkungan hidup dan kehutanan. Kolaborasi itu diperlukan untuk mengatasi jenis kejahatan yang terindikasi sebagai kejahatan terorganisir serta memiliki kapital dan sumber daya yang kuat.
Selain itu, setiap aparat saling membutuhkan untuk mengejar batas waktu penyidikan pada kasus lingkungan dan kehutanan yang umumnya terjadi di lokasi terpencil maupun perlu pendekatan pembuktian keilmuan. Kolaborasi aparat hukum pun bisa memaksimalkan keberadaan sejumlah undang-undang bisa digunakan untuk menjerat pelaku kejahatan.
“Komitmen dari aparat penegak hukum untuk penegakan hukum lingkungan hidup dan kehutanan snagat besar. Kami optimistis akan lebih baik dalam penyelamatan lingkungan serta mencegah terjadinya kerugian negara yang lebih besar lagi (sebagai akibat kerusakan lingkungan),” kata Rasio Ridho Sani, Direktur Jenderal Penegakan Hukum (Gakkum) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Selasa (23/7/2019), di sela-sela Festival Gakkum di Gedung Manggala Wanabakti, Jakarta.
Pembukaan Festival Gakkum menghadirkan pembicara Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Kiagus Ahmad Badaruddin, Pelaksana tugas Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum Ali Mukartono, dan Direktur Tindak Pidana Tertentu Bareskrim Polri Brigjen (Pol) M Fadil Imran.
Dalam penanganan hukum lingkungan, setiap instansi akan saling membutuhkan. Contohnya, penyidik pegawai negeri sipil membutuhkan penilaian jaksa agar dokumen penyidikan bisa dilanjutkan ke penuntutan di pengadilan. Demikian pula, penyidik polisi maupun kejaksaan membutuhkan tenaga ahli dari KLHK untuk menilai suatu pencemaran/kerusakan lingkungan.
Sistem terintegrasi
Fadil Imran mengatakan kejahatan lingkungan ini berhadapan dengan orang kuat sehingga aparat penegak hukum, termasuk polisi, tidak bisa bertindak sendiri. Karena itu, ia menawarkan konsep integrated investigation system sebagai wadah para aparat penegak hukum untuk berkolaborasi menghadapi kejahatan lingkungan.
“Yang kita hadapi ini organized (terorganisir). Punya resources (sumber daya) di semua sektor dan lini. Ada divisi penerangan, divisi hukum, divisi keuangan, divisi market. Terus kita hadapi sendiri, Direktorat Tipiter Unit Kebun yang jumlahnya 10 orang hadapi ini bisa jebol,” katanya.
Yang kita hadapi ini organized (terorganisir). Punya resources (sumber daya) di semua sektor dan lini.
Mengutip pendapat Ruggieero dan Gounev 2012, ia menjelaskan kejahatan lingkungan (the green criminals) dilakukan sekelompok orang yang memiliki berbagai sumber daya dan kekuasaan. Dengan sumber daya dan kekuasaan pelaku cenderung mampu untuk mengeksploitasi masyarakat lokal, serta bersembunyi di balik regulasi dan mengakali hukum untuk menutupi pelanggaran hukum yang dilakukan. Bahkan, disebutnya, mampu melakukan obstruction of justice (menghalangi keadilan/proses hukum) dan konspirasi.
Nilai kejahatan itu amat tinggi serta merugikan masyarakat yang terdampak kerusakan dan pencemaran lingkungan. Bahkan, kejahatan tumbuhan dan satwa liar yang tampak sederhana telah berkelindan dengan kejahatan narkotika yang nilainya sangat tinggi.
Jika aparat penegak hukum dan pengambil keputusan bisa berkolaborasi, hal itu akan menciptakan daya gempur yang lebih besar dan menimbulkan efek jera. Tak kalah penting, konflik akibat kesalahan tata kelola bisa dihindari.
Fadil Imran mencontohkan kasus-kasus konflik masyarakat di Jambi dan Mesuji Lampung yang mengakibatkan korban maupun kekerasan beberapa hari lalu, akarnya adalah tata kelola lahan. Bukan hanya terkait penganiayaan yang adalah ekses buruknya tata kelola lahan.
Sementara Ketua KPK Agus Rahadjo menjanjikan dalam empat bulan sisa masa jabatannya untuk mengoordinasikan penyelesaian eksekusi kasus Padang Lawas di Sumatera Utara serta eksekusi atas putusan tetap pembayaran ganti rugi kerugian negara dan pemulihan lingkungan yang ditangani KLHK. “Saya berjanji sepulang dari sini Padang Lawas dan denda-denda bisa diselesaikan dengan baik,” ungkapnya.
Ia mendapat informasi kasus Padang Lawas tak bisa dieksekusi lahannya meski berkekuatan hukum tetap sejak tahun 2007/2008. “Ini kalau mau membalik itu mestinya tugas anda selesaikan kok tak selesaikan. Pejabat-pejabat kementerian ini apa termasuk pejabat yang mengakibatkan kerugian negara,” ujarnya.
Karena itu, ia akan mengundang Dirjen Penegakan Hukum serta dirjen terkait di KLHK, pejabat kejaksaan, serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.”Mari tinggal empat bulan (periode jabatannya di KPK) digunakan untuk menyelesaikan itu,” katanya.
Selain itu, sosialisasi dan komunikasi dengan masyarakat setempat juga perlu dilakukan. Apalagi area itu juga dimanfaatkan masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ia pun akan melibatkan Kementerian BUMN untuk membicarakan kelanjutan pengelolaan kebun sawit tersebut.
Demikian dengan denda kerugian negara dan biaya pemuihan lingkungan yang dimenangkan secara perdata oleh KLHK senilai Rp 18,3 triliun hingga kini tak ditagih. “Ini kok tidak masuk-masuk ke negara, kan sangat memprihatinkan. Jangan dibiarkan pembiaran terus-menerus,” kata Agus Rahardjo.
Ditanya terkait eksekusi ini, Rasio Ridho Sani mengatakan eksekusi kasus PT Kallista Alam yang telah berkekuatan hukum tetap, saat ini dalam tahap penunjukan penilaian (appraisal) oleh Pengadilan Negeri Nagan Raya, Aceh. Juga persiapan pelelangan kebun perusahaan seluas 5.600 hektar.
“Saat ini sedang proses untuk eksekusi bersama PN Nagan Raya karena kewenangan di Ketua PN. Diharapkan selesai tahun ini lelangnya,” katanya.
Rasio menambahkan, eksekusi denda kerugian negara dan pemulihan lingkungan PT Kallista Alam merupakan pengalaman pertama bagi penegakan hukum. Karena itu, model eksekusi tersebut menjadi pembelajaran serta pengalaman untuk diterapkan pada eksekusi putusan di tempat lain.