Implementasi Strategi Pencegahan Korupsi Belum Optimal
Sekalipun program antikorupsi berdampak pada pencegahan korupsi, kehadiran program itu masih minim. Tak hanya itu, tingkat partisipasi masyarakat sipil mencegah korupsi masih rendah. Padahal risiko korupsi masih tinggi.
Oleh
Kurnia Yunita Rahayu
·4 menit baca
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Diskusi Sosialisasi Hasil Monitoring dan Evaluasi Implementasi Strategi Pencegahan Korupsi, di Jakarta, Rabu (24/7/2019). Dalam diskusi, hadir sebagai pembicara, yaitu (dari kanan) Inspektur III Kementerian Dalam Negeri Elfin Elyas, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Bimo Wijayanto, dan Manajer Riset Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko.
JAKARTA, KOMPAS – Publik menilai implementasi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi belum optimal. Sekalipun program antikorupsi berdampak pada pencegahan korupsi, kehadiran program itu masih minim. Tak hanya itu, tingkat partisipasi masyarakat sipil mencegah korupsi masih rendah. Padahal risiko terjadinya korupsi masih tinggi.
Ini terlihat dari survei yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TII) bersama sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) di daerah yang menjadi objek penelitian implementasi Strategi Nasional Pencegahan Korupsi (Stranas PK) di level daerah.
Daerah yang menjadi objek penelitian, Pekanbaru, Riau; Malang, Jawa Timur; Semarang, Jawa Tengah; dan Makassar, Sulawesi Selatan. LSM yang diajak bekerjasama, Senarai Pekanbaru, Malang Corruption Watch, Pattiro Semarang, ACC Makassar. Penelitian mulai pertengahan Maret hingga April 2019.
Hasil penelitian dipaparkan saat diskusi bertajuk "Sosialisasi Hasil Monitoring dan Evaluasi Implementasi Stranas PK", di Jakarta, Rabu (24/7/2019). Hadir pula dalam diskusi itu, Inspektur III Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Elfin Elyas dan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden Bimo Wijayanto.
Manajer Riset TII Wawan Suyatmiko mengatakan penelitian berfokus pada tiga hal yang menjadi prioritas dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54 Tahun 2018 tentang Strategi Nasional Pencegahan Korupsi. Ketiga hal itu adalah risiko korupsi, program antikorupsi, dan partisipasi masyarakat sipil.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Manajer Riset Transparency International Indonesia Wawan Suyatmiko.
Dari hasil penelitian di klaster risiko korupsi, angka rata-ratanya mencapai 3,82 dari rentang nilai 0 hingga 4 atau tinggi. Klaster itu terbagi ke dalam tiga dimensi, yaitu perizinan dan tata negara (3,83); keuangan negara (3,98); serta penegakan hukum dan reformasi birokrasi (3,66). Ini artinya, publik menilai risiko korupsi di ketiga sektor tersebut, masih tinggi.
Adapun di klaster program antikorupsi, hasil survei menunjukkan, keberadaan program antikorupsi berada di angka 2,20 atau cenderung rendah sedangkan capaian program antikorupsi di angka 3,04 atau cenderung tinggi. Ini artinya publik merasakan program antikorupsi berdampak mencegah korupsi tetapi sayangnya jumlah program antikorupsi masih rendah.
Sementara di klaster partisipasi masyarakat sipil, akses dan kapasitas masyarakat sipil terhadap kebijakan antikorupsi masih rendah. Dimensi akses mendapatkan angka 1,47 atau sangat rendah sedangkan dimensi kapasitas mendapatkan angka 2,41 atau cenderung rendah.
“Ini salah satu artinya, selama ini masyarakat sipil sangat sulit mengakses berbagai kebijakan, data, dan informasi mengenai pemerintahan di daerah,” kata Wawan.
Sikap ASN
Sebagian besar terkendala dengan sikap aparatur sipil negara (ASN) yang cenderung masih membatasi masyarakat.
Contohnya, melarang publik untuk mengetahui dokumen anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Kesulitan tersebut akhirnya berdampak pada kapasitas masyarakat untuk mencegah korupsi juga rendah.
Menurut Wawan, rendahnya keterlibatan masyarakat sipil perlu menjadi bahan evaluasi bagi Tim Nasional PK. Sebab, inklusivitas itu merupakan semangat utama dari Perpres No 54/2018 yang merupakan pengganti Perpres No 55 Tahun 2012 tentang Stranas PK dan Pencegahan Korupsi Jangka Panjang Tahun 2012-2015 dan Jangka Menengah Tahun 2012-2014. Bagian utama yang direvisi dalam perpres adalah ketiadaan keterlibatan publik dalam mencegah korupsi.
Membuka diri
Elfin mengakui, kesadaran ASN di daerah untuk melibatkan masyarakat dalam Stranas PK masih rendah. “Temuan ini mendorong kami untuk lebih membuka diri kepada masyarakat,” kata dia.
KOMPAS/KURNIA YUNITA RAHAYU
Inspektur III Kementerian Dalam Negeri Elfin Elyas.
Menurutnya, dalam sejumlah aturan sebenarnya sudah diatur agar pemerintah daerah membuka akses terhadap informasi dan kebijakan seluas-luasnya untuk masyarakat.
Sebagai contoh, agenda musyawarah perencanaan dan pembangunan dan rincian dana pembangunan daerah yang bisa diakses oleh publik.
“Namun terkadang apa yang ada di regulasi itu belum diimplementasikan, kami butuh waktu untuk betul-betul membuka akses masyarakat agar menjadi lebih baik,” kata Elfin.
Minim sosialisasi
Bimo Wijayanto yang juga bagian dari Timnas PK pun mengakui, keterlibatan masyarakat di daerah memang masih rendah. Hal ini ditegaskannya akan dijadikan bahan evaluasi di Timnas PK.
Meski demikian, ia mengatakan, implementasi Stranas PK dilaksanakan secara bertahap. Sepanjang dua tahun pertama pasca lahirnya Perpres Stranas PK, fokus timnya adalah pada level kementerian dan lembaga di tingkat nasional.
Adapun di tingkat daerah, pencegahan korupsi masih terfokus pada tiga bidang, yaitu pengadaan barang dan jasa, kebijakan satu peta, dan reformasi birokrasi.
Namun menurut Wawan, hasil penelitian juga menunjukkan, langkah pencegahan korupsi pada tiga bidang tersebut belum disosialisasikan dengan baik ke daerah. Padahal, sosialisasi mendalam dibutuhkan untuk mencegah berulangnya kasus korupsi.
Berdasarkan catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sejak tahun 2004—2018, terdapat 188 kasus korupsi yang terkait dengan pengadaan barang dan jasa. Jumlah tersebut menempati peringkat kedua kasus terbanyak setelah penyuapan yang totalnya mencapai 564 kasus.
ANTARA FOTO/SIGID KURNIAWAN
Ilustrasi: Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra dengan mengenakan rompi tahanan meninggalkan kantor KPK di Jakarta, Jumat (26/10/2018) dini hari. KPK menetapkan dan menahan Bupati Cirebon Sunjaya Purwadi Sastra sebagai tersangka kasus dugaan suap jual beli jabatan serta dugaan korupsi proyek dan perizinan di Kabupaten Cirebon.
Dalam periode waktu yang sama, sudah ada 20 gubernur dan 101 bupati/wakil bupati/wali kota/wakil wali kota yang terjerat korupsi. Kasus terakhir adalah Bupati Cirebon, Jawa Barat, Sunjaya Purwadi Sastra yang menerima suap Rp 50 miliar untuk jual beli jabatan.
“Jika diseminasi di tiga bidang di level daerah itu dilakukan secara optimal, seharusnya bisa berdampak positif pada pencegahan korupsi. Akan tetapi, kenyataannya, ketiga hal itu bahkan belum bergaung,” kata Wawan.
Selain dari pemerintah, diseminasi itu akan lebih cepat menyebar dan efektif jika ada keterlibatan masyarakat sipil. Oleh karena itu, kata Wawan, pembentukan forum antikorupsi yang terdiri dari berbagai kalangan penting untuk dilaksanakan.