Khusus untuk hepatitis C, pengendalian virus juga bisa dilakukan juga dengan obat Direct Acting Antivirus (DAA). Obat ini dapat menunjukkan tingkat kesembuhan hingga 97 persen dalam waktu pengobatan 12-24 minggu. Pengobatan ini dinilai lebih berhasil dan lebih cepat.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kemungkinan penularan hepatitis B dari ibu ke anak selama masa kehamilan bisa terjadi sekitar 90 persen. Untuk itulah, deteksi hepatitis B pada ibu hamil menjadi prioritas pemerintah dalam upaya mencegah penularan dan perlindungan sejak dini.
Berdasarkan Sistem Informasi Hepatitis dan Penyakit Infeksi Saluran Pencernaan (SIHEPI) 2018-2019, jumlah ibu hamil yang diperiksa hepatitis B mencapai 1,64 juta orang di seluruh Indonesia. Dari pemeriksaan tersebut, 30.965 ibu hamil ditemukan reaktif atau terinfeksi virus hepatitis B.
Sementara itu, 15.747 bayi baru lahir dari ibu reaktif hepatitis B telah diberikan Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg). Pemberian HBIg dilakukan untuk meningkatkan upaya perlindungan pada bayi agar terhindar dari hepatitis B yang ditularkan dari ibunya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu dalam siaran pers yang diterima di Jakarta, Selasa (23/7/2019), mengatakan, pencegahan penularan hepatitis B dari ibu ke bayi bisa dilakukan dengan vaksinasi HB0 setelah bayi lahir kurang dari 24 jam. Sementara pada bayi lahir dari ibu hepatitis B segera beri Imunoglobulin Hepatitis B (HBIg) kurang dari 24 jam.
”Hepatitis B bisa ditularkan melalui kontak cairan tubuh, baik dari ibu ke anak, anak ke anak, atau dari dewasa ke anak. Penularan juga bisa terjadi dari transfusi darah dan organ yang tidak diskrining, penggunaan jarum yang tidak aman, hubungan seksual, serta kontak dengan darah,” katanya.
Peradangan hati atau hepatitis disebabkan oleh virus hepatitis, perlemakan, parasit malaria, alkohol, obat-obatan, dan virus lain, seperti dengue dan herpes. Pengendalian faktor risiko untuk menghindari dari penularan hepatitis B bisa dilakukan dengan berperilaku hidup bersih sehat, tidak mempergunakan alat pribadi secara bersama, seperti gunting kuku, alat cukur, dan sikat gigi, serta tidak menggunakan jarum suntik bersama.
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia Andri Sanityoso Sulaiman menambahkan, masyarakat juga perlu mewaspadai berbagai jenis penyakit hepatitis lain, selain hepatitis B. Hal ini terutama untuk hepatitis A, B, dan C yang cukup banyak ditemukan di Indonesia.
”Di Indonesia banyak hepatitis A, B, dan C. Masing-masing memiliki kriteria tersendiri. Dari masa inkubasi, misalnya, hepatitis A adalah 30 hari, hepatitis B 80 hari, dan hepatitis C 50 hari. Saat ini, hepatitis A merupakan penyakit endemis dan sepanjang tahun akan ada kasus yang terjadi,” ucapnya.
Pengendalian risiko
Ia menuturkan, pengendalian faktor risiko penyakit merupakan cara efektif untuk mengatasi penyakit hepatitis yang dialami. Khusus untuk hepatitis C, pengendalian virus juga bisa dilakukan juga dengan obat Direct Acting Antivirus (DAA).
Obat ini dapat menunjukkan tingkat kesembuhan hingga 97 persen dalam waktu pengobatan 12-24 minggu. Pengobatan ini dinilai lebih berhasil dan lebih cepat dibandingkan menggunakan obat Pegylated Interferon, yang sebelumnya banyak digunakan.
Saat ini, pelayanan pengobatan DAA hepatitis C di Indonesia terus dikembangkan. Pada 2017, layanan pengobatan DAA dilaksanakan 29 rumah sakit di tujuh provinsi. Pada 2018, layanan pengobatan DAA sudah bisa dilakukan 36 rumah sakit di 14 provinsi, dan pada 2019 layanan pengobatan DAA dilakukan 37 rumah sakit di 15 provinsi.
”Darah penderita hepatitis C, walaupun sudah sembuh, akan selamanya mengandung antibodi hepatitis C. Meski begitu, tubuh tidak akan memiliki kekebalan khusus sehingga bisa saja terjadi infeksi ulang,” kata Andri.