Pelestarian dan pengelolaan Danau Tondano di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, terhambat masalah klasik, penataan ruang di sekitar sempadan danau. Permasalahan ini menyebabkan biaya pelestarian danau jadi membengkak.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·4 menit baca
MANADO, KOMPAS — Pelestarian dan pengelolaan Danau Tondano di Kabupaten Minahasa, Sulawesi Utara, terhambat masalah klasik, penataan ruang di sekitar sempadan danau. Permasalahan ini menyebabkan biaya pelestarian danau jadi membengkak.
Kepala Seksi Perencanaan Balai Wilayah Sungai Sulawesi (BWSS) I Rheky Lontoh, Senin (22/7/2019), mengatakan, selain eceng gondok, masalah yang juga merundung Danau Tondano saat ini adalah pendangkalan dan penyempitan. Sedimentasi berasal dari 38 sungai yang bermuara di danau tersebut.
”Jadi, sedimen harus dikendalikan supaya kedalaman dan luasan danau tidak berkurang terlalu cepat. Batasan danau nanti akan jadi lebih jelas. Warga juga tidak terganggu saat air danau sedang naik,” katanya.
Menurut data Kompas (29/11/2018), kedalaman rata-rata Danau Tondano saat ini sekitar 14 meter, berkurang dari 43 meter pada tahun 1940. Luas danau saat ini 4.278 hektar, berkurang dari sekitar 5.000 hektar.
Karena sedimentasi, tepi danau pun semakin dangkal. Telah banyak rumah warga yang didirikan di dataran tepi danau. Tak jarang tembok rumah langsung bersentuhan dengan air danau, sebagaimana ditemui di beberapa desa di Kecamatan Remboken, Tondano Timur, dan Tondano Selatan.
Oleh karena itu, saat ini BWSS I tengah mengatasinya dengan membangun tanggul (saddle dam). Pembangunan difokuskan di tiga segmen sempadan danau, yaitu Segmen Tolour dan Segmen Eris di tepi utara danau serta Segmen Kakas di selatan. Di daerah tersebut, tepian danau merupakan dataran rendah sehingga masyarakat banyak membangun rumah di sana.
Di daerah tersebut, tepian danau merupakan dataran rendah sehingga masyarakat banyak membangun rumah di sana.
”Celakanya, rumah-rumah itu hampir semua sudah bersertifikat, termasuk di Segmen Tolour yang sedang kami buatkan tanggul sekarang. Akibatnya, kami harus mengalah, membangun tanggul 9-15 meter menjorok ke daerah danau,” ucap Rheky.
Hal ini membuat biaya pembangunan jauh lebih mahal. Butuh Rp 93.711 miliar untuk membangun tanggul sepanjang 2,9 kilometer dari total 3,45 kilometer yang direncanakan. Rheky mengatakan, yang sudah dibangun pun belum sepenuhnya tuntas. Masih butuh Rp 150 miliar untuk menyelesaikannya dan menyempurnakan konstruksi tanggul dalam lima tahun.
Menurut Rheky, pembangunan bisa lebih cepat jika peraturan tentang rencana tata ruang dan wilayah telah selesai. Kewenangan itu berada di bawah pemerintah daerah, yaitu Kabupaten Minahasa.
Agar pengerjaan tanggul di Segmen Kakas dan Segmen Eris memakan biaya lebih murah, BWSS I akan mengusulkan kepada Pemerintah Kabupaten Minahasa untuk membangunnya di wilayah yang sekarang menjadi permukiman warga.
”Pemkab perlu memetakan daerah mana yang harusnya menjadi sempadan sungai. Ini akan kami ajukan ke kelompok kerja pengelolaan Danau Tondano,” katanya.
Sebelumnya, Bupati Minahasa telah membentuk Kelompok Kerja Pengelolaan Danau Tondano pada Kamis (18/7/2019). Kelompok ini beranggotakan beberapa instansi, seperti Balai Pelaksanaan Jalan Nasional XV Manado, BWSS I, serta Badan Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDASHL) Tondano.
Asisten 2 Bidang Perekonomian dan Pembangunan Kabupaten Minahasa Wilford Siagian mengatakan, pemkab sedang menyusun peraturan zonasi khusus daerah sempadan Danau Tondano. Jika peraturan telah dibuat, lanjutnya, danau akan lebih mudah dikelola karena tidak ada aktivitas masyarakat yang bertempat di daerah milik danau.
”Rumah-rumah yang terlihat di sekeliling danau itu dulunya air, tapi sekarang sudah berubah. Karena itu, rencana zonasi ini penting agar tindakan pemerintah bisa dikuatkan peraturan daerah,” ucapnya.
Butuh bantuan
Pemkab juga telah menyusun rencana pengelolaan Danau Tondano yang mencakup rencana jangka pendek, menengah, dan panjang. Dana Rp 500 juta yang dianggarkan dalam APBD Perubahan 2019 hanya untuk eksekusi rencana.
”Tapi, pemerintah daerah tidak bisa bekerja sendiri. Pendapatan asli daerah Kabupaten Minahasa adalah salah satu yang terendah di Indonesia. Kami butuh banyak bantuan dari provinsi dan pusat,” katanya.
Sementara itu, Kepala BPDASHL Tondano Rukma Dayadi menyebutkan, pihaknya membantu pengelolaan danau dengan memulihkan hutan lindung di sekitarnya yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air. Ada 100-200 hektar dari total 2.000 hektar lahan di sekitar DAS Tondano yang kritis.
”Sejak lima tahun terakhir, kami memulihkannya dengan melibatkan masyarakat dalam pembuatan kebun bibit. Dana yang dipakai Rp 50 juta untuk satu kelompok tani. Satu kebun bibit ditanami 20.000 batang pohon,” tuturnya.
Adapun jenis pohon yang ditanam meliputi cengkeh, kemiri, pala, dan sebagainya. Hasil dari pohon-pohon tersebut diminati masyarakat. Hingga kini, kata Rukma, 50 kelompok tani telah diberdayakan.