Mulai dibangun tahun 1929 dan digunakan tahun 1933, Museum Bank Mandiri awalnya merupakan De Factorij Batavia, kantor perwakilan NHM untuk Hindia Belanda.
Oleh
J Galuh Bimantara
·5 menit baca
Persekutuan Dagang Hindia Timur (VOC) sangat lekat dengan memori tentang penjajah asal negeri Belanda. Kompeni, ujaran lokal di Indonesia terhadap kata VOC, bahkan populer sebagai kata ganti orang Belanda. Padahal, seusai VOC bangkrut, ada perusahaan ”Negeri Kincir Angin” bernama Nederlandsche Handel-Maatschappij, NV alias NHM, yang juga tidak kalah memeras rakyat.
Angin mengacak rambut dari puncak sebuah bangunan di kawasan Kota Tua, Jakarta Barat, Selasa (16/7/2019) jelang sore. Rasa sejuk yang dijanjikan sang bayu kalah oleh panas matahari sejak siang. Namun, pemandangan di sekeliling membuat betah. Gedung Museum Bank Indonesia di sebelah kiri, Stasiun Jakarta Kota di depan, serta segala bangunan dengan gaya arsitektur era kolonial di sekitarnya membuat badan serasa terbang ke masa lalu.
Jika memandang lebih jauh, lengan-lengan crane untuk bongkar muat di Pelabuhan Sunda Kelapa, berjarak 2,5 kilometer di sebelah utara, juga terlihat jelas dari lokasi ini dalam ”ukuran mini”. ”Kalau belum ada gedung-gedung tinggi seperti sekarang, Harmoni pun bakal kelihatan,” ucap pemandu Museum Bank Mandiri, Baharudin, sambil menunjuk ke arah selatan.
Museum Bank Mandiri adalah bangunan yang atapnya sedang kami pijak. Baharudin mengajak Kompas menjelajah dari bagian bawah tanah hingga berakhir di rooftop gedung. Seperti bangunan-bangunan tua di sekelilingnya, gedung berusia lebih dari delapan dekade ini warisan penjajah, yakni dari perusahaan perbankan NHM.
Mulai dibangun tahun 1929 dan digunakan tahun 1933, Museum Bank Mandiri awalnya merupakan De Factorij Batavia, kantor perwakilan NHM untuk Hindia Belanda. Arsitek NHM bernama JJJ de Bruijn bekerja sama dengan arsitek biro Fermont-Hulswit Cuijpers, AP Smits, dan C van de Linde merancang gedung bergaya Nieuw Zakelijk atau art deco klasik itu.
Mulai dibangun tahun 1929 dan digunakan tahun 1933, Museum Bank Mandiri awalnya merupakan De Factorij Batavia, kantor perwakilan NHM untuk Hindia Belanda. Arsitek NHM bernama JJJ de Bruijn bekerja sama dengan arsitek biro Fermont-Hulswit Cuijpers, AP Smits, dan C van de Linde merancang gedung bergaya Nieuw Zakelijk atau art deco klasik itu.
Factorij NHM yang beralamat di Jalan Lapangan Stasiun Nomor 1 (Stationplein I-Binnen Nieuwpoortstraat) berfungsi juga sebagai bank. Bangunan tersebut adalah kantor kedua NHM di Batavia setelah sebelumnya—sejak cabang di Batavia buka pertama kali tahun 1926—berlokasi di Jalan Kalibesar Timur Nomor 27. NHM merupakan cikal bakal Bank Mandiri saat ini.
Pemandangan yang bisa didapatkan di atap gedung tadi, menurut Kepala Museum Bank Mandiri Budi Trinovari, menunjukkan, Factorij masa itu layaknya sebuah benteng.
”Berdiri di atas menara ini, mulai dari Sunda Kelapa, Ancol, putar sampai ke Harmoni, ke (yang sekarang) Jalan KH Mas Mansyur, Roxy, itu semua terkontrol. Dulu belum ada gedung tinggi, yang paling tinggi dia (Factorij). Atapnya bahkan tahan serangan udara,” ujarnya.
Luas bangunannya 21.509 meter persegi dan terdiri atas empat lantai, yaitu lantai bawah tanah (souterrain), lantai dasar (begane grond), lantai pertama (eerste verdieping), serta lantai kedua (tweede verdieping). Factorij berdiri di atas lahan seluas 10.039 meter persegi, yang andai dijadikan permukiman bisa untuk membangun sekitar 70 rumah.
Kegagahan gedung bukan sekadar tentang luas dan tingginya, melainkan juga kekuatannya. Budi menyebutkan, fondasi bangunan menggunakan paku bumi beton, sebuah metode baru di eranya ketika bangunan-bangunan sebelumnya lazimnya berdiri di atas fondasi cerucuk-cerucuk kayu.
Batu-batu di bagian dasar disusun dengan inspirasi Candi Borobudur di Magelang, Jawa Tengah. Itu sebenarnya sistem antigempa. ”Makanya, ini tidak ada sama sekali retak rambut (pada bangunan). Boleh dicek,” kata Budi.
Ia mencontohkan, pembangunan terowongan penyeberangan orang penghubung halte Transjakarta, Stasiun Jakarta Kota, dan jalur pedestrian Kota Tua yang menimbulkan getaran cukup kencang tidak berpengaruh pada fisik Museum Bank Mandiri.
Sementara itu, berita harian Kompas tanggal 25 April 2007 menunjukkan, Stasiun Kereta Api Jakarta Kota atau dikenal sebagai Stasiun Beos mendapat kerusakan di 31 titik akibat proyek TPO, termasuk dinding sayap utara kompleks stasiun yang retak sepanjang belasan meter dengan lebar lebih besar dari jempol orang dewasa.
Menterengnya Factorij jadi kebanggaan direksi NHM. Buku The Factorij: Bank, Museum, Monument yang ditulis Jaap-Jan Mobron (2011) menyebutkan, pejabat Factorij NHM sampai menggunakan foto bangunan tersebut yang masih dalam tahap konstruksi dan diliputi struktur perancah bambu untuk ilustrasi halaman sampul publikasi stocklist pada Januari 1931.
Buku itu juga memberikan informasi, anggaran pembangunan awalnya ditetapkan sebesar 3 juta gulden, tetapi ternyata bengkak jadi 4,4 juta gulden. Menurut Budi, ini salah satu gedung paling mahal di kawasan Kota Tua.
Buah kesengsaraan
Namun, Budi bukan bermaksud mengagung-agungkan gedung peninggalan penjajah. Ia ingin menunjukkan, karya maestro arsitektur ini terbangun sebagai buah kesengsaraan rakyat. Kekayaan NHM menumpuk berkat cultuurstelsel, pemaksaan rakyat untuk menanam di lahan mereka sendiri komoditas sesuai yang diminta Pemerintah Hindia Belanda. Itu membuat cultuurstelsel juga dikenal sebagai sistem tanam paksa.
Berbagai referensi menyebutkan, Gubernur Jenderal Hindia Belanda periode 1830-1833 Johannes van den Bosch menggagas sistem tanam paksa. Ide yang ditentang oleh politisi Elout dan Dewan Pertimbangan Agung Hindia Belanda, tetapi disetujui Raja Belanda Willem I.
Budi, berbekal bahan yang dimilikinya, termasuk dokumen asli NHM yang masih tersimpan di Museum Bank Mandiri, berpendapat lain. ”NHM adalah dalangnya. Van den Bosch hanyalah wayang,” ucapnya.
NHM adalah dalangnya. Van den Bosch hanyalah wayang.
Budi menengarai NHM sebagai pengendali berjalannya tanam paksa. Perusahaan ini punya sejumlah peneliti yang dengan kajian-kajian mereka menentukan jenis komoditas untuk ditanam di lahan wilayah tertentu, misalnya Pasuruan dan Madiun di Jawa Timur cocok untuk perkebunan tebu, sedangkan Banaran di Semarang, Jawa Tengah, untuk kopi. Mereka kemungkinan mendapatkan data dari zaman VOC.
NHM jadi kepanjangan tangan Raja Belanda memonopoli perdagangan komoditas hasil tanam paksa, seperti kopi, tebu, dan indigo. Harga hasil-hasil perkebunan itu rata-rata hampir setara emas. Bahkan, bobot gula konon harus sama dengan bobot emas dalam penimbangan ketika transaksi.
Sistem tanam paksa berjalan pada kurun 1830-1870 dan melambungkan keuntungan NHM. Perusahaan ini sukses memenuhi tugas Raja Willem I untuk mengangkat kembali ekonomi Belanda dari keterpurukan.
Sistem tanam paksa berjalan pada kurun 1830-1870 dan melambungkan keuntungan NHM. Perusahaan ini sukses memenuhi tugas Raja Willem I untuk mengangkat kembali ekonomi Belanda dari keterpurukan.
Data dari Kartum Setiawan, sejarawan dan Ketua Komunitas Jelajah Budaya, NHM selama tahun 1835-1847 mengumpulkan dividen sebesar 16.157.600 gulden. Ia mengatakan, dividen merupakan laba perusahaan. NHM juga tercatat mendapatkan bunga sebesar 16.560.000 gulden pada kurun Januari 1832-Desember 1847.
Namun, sisi gelapnya, rakyat diperlakukan sebagai hamba, dieksploitasi tenaga dan tanahnya untuk kekayaan Kerajaan Belanda. Mungkin kemajuan negeri itu di masa kini ada hubungannya dengan tanam paksa di abad ke-19.
Inilah yang membuat Factorij NHM atau sekarang Museum Bank Mandiri, menurut Kartum, layak dipertahankan dan dilestarikan. Dalam kebisuannya, gedung tua ini merekam berbagai kisah pewarna perjalanan hidup bangsa Indonesia, termasuk kisah pahit.
Budi menyebut gedung Museum Bank Mandiri sebagai monumen tanam paksa. Ini untuk mengingatkan, ada perusahaan yang pernah menjajah bangsa dan menyiksa rakyat.
Apakah masih ada perusahaan yang seperti itu sekarang?