Belajar dari Anomali Kemiskinan Nusa Tenggara Timur
Masalah kemiskinan dan pengangguran sejatinya saling bertautan. Angka pengangguran yang tinggi akan berimbas ke kemiskinan, begitu pun sebaliknya. Namun, anomali terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Masalah kemiskinan dan pengangguran sejatinya saling bertautan. Angka pengangguran yang tinggi akan berimbas ke kemiskinan, begitu pun sebaliknya. Namun, anomali terjadi di Nusa Tenggara Timur.
Badan Pusat Statistik mencatat jumlah orang menganggur di Nusa Tenggara Timur berangsur-angsur turun. Tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2018 sebesar 3,01 persen, jauh di bawah rata-rata nasional 5,34 persen.
Orang menganggur di NTT berkurang 3.800 orang pada Agustus 2018 menjadi 74.700 orang. Tingkat partisipasi angkatan kerja pun melonjak hingga 70,17 persen.
Di sisi lain, NTT termasuk tiga besar provinsi dengan jumlah penduduk miskin tertinggi setelah Papua dan Papua Barat. Jumlah penduduk miskin pada September 2018 mencapai 1.134.110 orang atau 21,03 persen dari total penduduk. Adapun rata-rata tingkat kemiskinan nasional pada September 2018 sebesar 9,66 persen.
”Tersedianya lapangan kerja seharusnya mengurangi kemiskinan. Namun, kalau sekarang ini, ada lapangan kerja, tetapi mereka tetap miskin. Berarti ada yang salah,” kata Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang PS Brodjonegoro kepada Kompas, beberapa waktu lalu.
Tersedianya lapangan kerja seharusnya mengurangi kemiskinan. Namun, kalau sekarang ini, ada lapangan kerja, tetapi mereka tetap miskin. Berarti ada yang salah.
Bappenas menjadikan NTT sebagai provinsi percontohan pertama untuk Indonesia Development Forum (IDF) 2019 yang akan digelar pada 22-23 Juli di Jakarta. Pemerintah akan membuka diskusi dan meminta masukan kepada berbagai pihak untuk mengatasi masalah sekaligus menggarap potensi NTT.
NTT terpilih untuk membagi praktik-praktik pembangunan terbaik, termasuk solusi terpadu dalam membangun sumber daya manusia dan penciptaan lapangan kerja yang dihadapi. Peluang sektor usaha tidak hanya fokus pada pertanian, perkebunan, koperasi, dan peternakan, tetapi dikembangkan pula sektor unggulan, yakni pariwisata.
Anomali yang terjadi di NTT bukan tanpa sebab. Kendati mayoritas penduduk bekerja, upah mereka kecil. Sebanyak 1,83 juta orang atau 76 persen penduduk NTT bekerja di sektor informal. Sementara penduduk yang bekerja di sektor formal hanya sekitar 580.000 orang atau 23,96 persen. Mayoritas penduduk berpendidikan SD ke bawah.
Menurut Pelaksana Tugas Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah NTT Lecky Koli, sekitar 2 juta tenaga kerja di NTT bekerja di rumah keluarga atau di sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang masih memiliki hubungan keluarga. Sebagian besar tidak diupah, tetapi sekadar mendapat tempat tinggal dan makan minum.
Sementara itu, ada sekitar 150.000 orang yang bekerja di pertokoan, pusat perbelanjaan, dan UMKM dengan upah Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan. Padahal, upah minimum provinsi Rp 1,785 juta per bulan. Mereka yang bekerja di BUMN dan perusahaan swasta dengan modal usaha di atas Rp 1 miliar diupah sesuai UMP atau lebih (Kompas.id, 23/5/2019).
Baca juga: NTT Terpilih Menjadi Provinsi Percontohan Indonesia Development Forum 2019
Investasi berkualitas
Ditanya apa yang menjadi masalah mendasar di NTT, Bambang menjawab, kemiskinan. Tingginya kemiskinan di NTT menyebabkan orientasi untuk bekerja berubah. Penduduk rela bekerja tanpa dibayar asalkan tempat tinggal dan makan minum setiap hari terjamin. Mereka juga rela dibayar murah karena jenis lapangan kerja terbatas.
”Berarti kemiskinan harus ditekan dulu dengan penciptaan lapangan kerja berkualitas. Agar lapangan kerja berkualitas NTT butuh investasi,” kata Bambang.
Baca juga: Kemandirian Daerah Menciptakan Lapangan Kerja Berbasis Investasi
Menurut Bambang, di Indonesia, sedikitnya investasi menjadi akar masalah kemiskinan. Investasi penting untuk menambah lapangan kerja berkualitas, yang akhirnya bisa menekan kemiskinan, termasuk masalah stunting.
”Pola pikir pemerintah daerah akan investasi mesti berubah, tidak sekadar menambah pendapatan daerah, tetapi mengatasi kemiskinan,” katanya.
Pola pikir pemerintah daerah akan investasi mesti berubah, tidak sekadar menambah pendapatan daerah, tetapi mengatasi kemiskinan.
Namun, kata Bambang, keinginan menarik investasi di NTT belum muncul baik dari sisi permintaan maupun penawaran. Masalah utamanya bukan lagi link and match antara keterampilan pekerja dan kebutuhan industri. Minimnya investasi di NTT karena dari sisi permintaan nyaris tidak ada.
”Ini yang menjadi sumber kemiskinan di beberapa provinsi karena investasi tidak ada dan masalah sumber daya manusia belum tertangani dengan baik,” kata Bambang.
Bambang menambahkan, investasi yang ditarik mesti berbasis keunggulan daerah. NTT memiliki potensi pariwisata, peternakan, dan perikanan yang cukup besar. Investasi untuk memaksimalkan potensi itu dan menciptakan nilai tambah. Investasi lapangan kerja yang berkualitas akan menjadikan perekonomian daerah unggul.
Di sektor pariwisata, NTT memiliki sumber daya alam yang unggul dan beberapa diantaranya sudah mendunia. Obyek-obyek wisata di NTT antara lain Pulau Komodo, Danau Kelimutu, Pulau Alor, Pantai Nembrala, dan Wae Rebo.
Ekspor perdana
Dua potensi NTT yang belakangan ini terus didorong dan dikembangkan adalah rumput laut dan pariwisata. Di NTT sudah ada investor rumput laut, PT Rote Karaginan Nusantara (RKN) yang memiliki pabrik pengolahan rumput laut di Desa Tablolong, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang.
Perusahaan itu telah mengekspor rumput laut olahan ke Argentina sebanyak 25 ton. Ini merupakan ekspor pertama langsung dari NTT sejak 61 tahun NTT ditetapkan sebagai provinsi.
Perusahaan tersebut memiliki pabrik pengolahan rumput laut di seluas Kupang 8 hektar dengan kapasitas produksi rata-rata 800 ton rumput laut per tahun. Tenaga kerjanya juga dari penduduk setempat, yaitu sebanyak 170 orang.
Dua jenis rumput laut yang dikembangkan adalah kotoni (Kappaphycus alvarezii) dan spinosum (Eucheuma denticulatum). Kedua jenis rumput laut itu diolah menjadi bubuk dan keripik. Harga rumput laut jenis ini di luar negeri 8 dollar AS-11 dollar AS per kilogram.
Mei lalu, Direktur Utama PT RKN Harris Sastra Lino mengatakan, usaha budidaya rumput laut di Rote, Alor, Maluku Tenggara Barat, dan Kupang dimulai pada 2016. PT RKN mulai produksi rumput laut 2017 setelah membangun pabrik di Desa Tablong, Kabupaten Kupang.
Selain budidaya rumput laut, kami juga membeli rumput laut kering dari masyarakat dengan harga Rp 20.000-Rp 23.000 per kilogram. Harga ini tergantung jarak dari pabrik.
”Sebelumnya, rumput laut milik petani dan nelayan ini jarang dipasarkan karena tidak ada yang mau beli. Sekarang, RKN menjamin membeli semua rumput laut yang dibudidaya masyarakat. Kini, mereka rajin merangkai anakan rumput laut di pantai,” kata Harris (Kompas.id, 29 Mei 2019).
Baca juga: Ekspor Perdana Langsung dari NTT ke Argentina
Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan NTT Ganef Wurgiyanto mengatakan, panjang garis pantai NTT mencapai 5.700 kilometer dengan luas laut 15.141.773,10 hektar. Kawasan pantai yang baru tergarap untuk pengembangan rumput laut sekitar 500 kilometer. Pengembangan budidaya rumput laut masih terbuka.
”Jumlah pulau di NTT sebanyak 1.192 buah, sebagian besar pulau memiliki pantai yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya rumput laut. Kehadiran RKN di Kupang menampung rumput laut sebagian besar dari Kupang dan Rote. Jika RKN membuka cabang di setiap pulau untuk mengelola rumput laut, itu lebih baik,” kata Ganef.
NTT memang telah dijadikan percontohan pembangunan inklusif berbasis investasi di Indonesia. Kendati begitu, jangan sampai investasi itu menghilangkan keasrian, kearifan lokal, dan mengabaikan masyarakat setempat.
NTT memang telah dijadikan percontohan pembangunan inklusif berbasis investasi di Indonesia. Kendati begitu, jangan sampai investasi itu menghilangkan keasrian, kearifan lokal, dan mengabaikan masyarakat setempat. Di tengah arus industrialisasi yang sudah pada tahap pengembangan industri 4.0, ekonomi kerakyatan di NTT tetap perlu ditumbuhkan.