Tidak Ada Turis di Cirebon…
Setelah turun dari kapal pesiar Silver Discoverer di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019), puluhan turis langsung dijemput dengan becak. Menggunakan kendaraan bertenaga manusia itu, mereka berkeliling ke Keraton Kasepuhan, Pasar Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.

Turis dari sejumlah negara menumpang becak saat mengunjungi Pasar Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Pasar Kanoman, para turis juga berwisata ke Keraton Kacirebonan dan Keraton Kasepuhan menggunakan becak.
Setelah turun dari kapal pesiar Silver Discoverer melalui Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019), puluhan turis dijemput becak. Menggunakan kendaraan bertenaga manusia itu, mereka mengunjungi Keraton Kasepuhan, Pasar Kanoman, dan Keraton Kacirebonan.
Di tengah perjalanan, Leoni, turis asal Amerika Serikat, mengambil alih mengayuh becak. Si abang becak berganti menjadi penumpang. Handuk kecil diikat ke tangan Leoni. Terik matahari siang itu masih bersahabat.
Leoni, perempuan berambut hitam lurus dengan hidung mancung itu, pun tersenyum sambil mengayuh becak. Napasnya terengah-engah. Turis asing lainnya asal Amerika, Eropa, dan Asia sontak tertawa dan mengabadikan momen tersebut.

Turis bercanda dengan pengamen di Pasar Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Pasar Kanoman, para turis juga berwisata ke Keraton Kacirebonan dan Keraton Kasepuhan.
Lalu, siapa turisnya jika justru mengayuh becak? ”There are no tourists here. I am just a little whiter than him (tidak ada turis di sini. Kulit saya hanya sedikit lebih putih dari dia),” ujar Leoni tersenyum memandang si abang becak.
Di Pasar Kanoman yang sesak dengan lapak pedagang dan parkiran motor, Leoni beberapa kali menerima permintaan foto bareng warga setempat. Sekitar 80 turis, termasuk Leoni, sama sekali tidak merasa terancam berada di pasar.
Mereka antusias bertanya kepada para pemandu terkait dagangan pasar, mulai dari telur asin, rebon, terasi, hingga kerupuk melarat khas Cirebon. Jenis-jenis dagangan itu baru sekali mereka lihat.

Turis dari sejumlah negara menumpang becak saat mengunjungi Keraton Kasepuhan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Keraton Kasepuhan, para turis juga berwisata ke Keraton Kacirebonan dan Pasar Kanoman menggunakan becak.
”Tadi ada turis yang beli empat telur asin pindang, Rp 10.000. Ternyata, sama seperti kita juga, doyan telur asin. Tapi, mereka enggak borong telurnya. Turis beberapa kali belanja di sini,” ujar Cartesih (50), warga yang berdagang di Pasar Kanoman 10 tahun terakhir.
Setelah menyapa selamat tinggal kepada Cartesih, Leoni mengendarai becak sekitar 1 kilometer menuju Keraton Kacirebonan di Jalan Pulasaren. Dua turis laki-laki ikut-ikutan menjadi penarik becak, sedangkan si abang becak duduk santai di kursinya. ”Saya suka pake becak ini,” ucap Leoni dalam bahasa Inggris sambil mengatur napas.
Seusai wisata, para turis harus berpisah dengan para abang becak. Mereka saling berjabat tangan, foto bersama, dan tidak lupa memberikan uang tip buat si penarik becak. Meskipun berbeda bahasa, sepertinya mereka saling memahami.

Darwis, tukang becak, menunjukkan uang 5 dollar AS yang diperoleh setelah mengantar turis menuju sejumlah tempat wisata di Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Pasar Kanoman, para turis juga berwisata ke Keraton Kacirebonan dan Keraton Kasepuhan.
”Saya dapat 5 dollar Amerika Serikat dari orang Chicago, AS. Namanya enggak tahu,” ucap Darwis (47), tukang becak, sambil menunjukkan uang dengan tampilan wajah Abraham Lincoln, mantan Presiden AS. Jika dihitung dengan kurs rupiah saat ini, warga Pulasaren itu mendapat tip sekitar Rp 69.600.
Jumlah itu belum ditambah dengan biaya carter becak dan jasanya kurang dari enam jam, yakni Rp 100.000. ”Padahal, biasanya dapat Rp 100.000 kalau narik becak dari pagi sampai sore. Tahun lalu juga saya bawa turis. Saya diajak oleh orang keraton. Semoga turisnya sering ke sini. Jadi, saya enggak susah nyari penumpang,” ujar bapak tiga anak itu.
Setelah mengucapkan sampai jumpa kepada si abang becak, para turis disambut tarian tradisional Cucuk Lampah oleh penari. Saat memasuki ruangan Prabayasa, Sultan Kacirebonan IX Abdul Gani Natadiningrat turut menyambut mereka.

Para turis menari bersama penari di Keraton Kacirebonan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Keraton Kacirebonan, para turis juga berwisata ke Pasar Kanoman dan Keraton Kasepuhan.
Tari Topeng dan Tari Sintren juga ditampilkan kepada turis. Tepuk tangan para turis pun membahana. Seakan berlomba dengan bunyi gamelan para nayaga.
Kamera dan telepon pintar mereka merekam gerak tari tradisional tersebut, utamanya saat si gadis sintren pingsan ketika mendapatkan duit saweran.
Di akhir acara, para turis dan penari menari tayub bersama. ”Seperti makna tariannya, kita harus guyub meskipun berbeda negara,” ucap pembawa acara dalam bahasa Inggris.
Sultan Kacirebonan IX Abdul Gani Natadiningrat bahagia dengan kedatangan turis ke Cirebon. ”Kami senang dan terbuka dengan wisatawan mancanegara. Cirebon ini kota bersejarah dari Kerajaan Padjadjaran, masuknya agama Islam, penjajahan Belanda, hingga termasuk dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” ujarnya.

Turis dari sejumlah negara mengunjungi Pasar Kanoman, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Pasar Kanoman, para turis juga berwisata ke Keraton Kacirebonan dan Keraton Kasepuhan.
Sejarah panjang itu menjadikan Cirebon sebagai tempat tinggal berbagai etnis dan bangsa. Hanya berjarak 400 meter dari Keraton Kanoman yang merupakan pusat penyebaran agama Islam ratusan tahun silam, berdiri Wihara Pemancar Keselamatan. Pedagang di sekitar Pasar Kanoman bahkan tidak sedikit merupakan etnis Tionghoa.
Di Panjunan, sekitar 2 kilometer dari Kanoman, terdapat kampung Arab. Tidak jauh dari itu, saat masa pemerintahan kolonial dulu, orang-orang Eropa bermukim di daerah Kebumen, Kesenden, dan Kejaksan. Sisa bangunan kolonial seperti di Pelabuhan Cirebon dan bekas pabrik rokok British American Tobacco juga dilalui oleh para turis.
Jauh sebelum itu, berdasarkan naskah Carita Purwaka Caruban Nagari karya Pangeran Arya Carbon yang ditulis 1720, Cirebon berasal dari kata sarumban yang berarti campuran lalu diucapkan menjadi caruban hingga akhirnya cirebon. Menurut pengamat sejarah Cirebon, Mustakim Asteja, pada masa pemerintahan Sunan Gunung Jati (1479-1568), Cirebon menjelma sebagai kota multikultural.

Para turis menari bersama penari di Keraton Kacirebonan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Sekitar 80 turis berwisata ke Cirebon menggunakan kapal pesiar Silver Discoverer. Selain Keraton Kacirebonan, para turis juga berwisata ke Pasar Kanoman dan Keraton Kasepuhan.
Meskipun Sunan Gunung Jati merupakan salah satu Wali Sanga, sembilan tokoh besar penyebar agama Islam di Jawa, ia tetap menghargai agama lain. ”Cirebon sangat terbuka bagi interaksi berbagai budaya, suku, agama, dan bangsa lain. Melalui pelabuhannya, Cirebon menjadi salah satu jalur perniagaan dunia,” ujar Mustakim.
Gesekan antarbudaya bukannya tidak ada. Pada saat memasuki era penjajahan, warga Cirebon harus menghormati secara berlebihan bangsa Eropa dan Asia Timur. Para pegawai yang disebut sebagai orang pribumi harus jongkok bahkan bersujud jika bertemu dengan bangsa tersebut.
Namun, berdasarkan Kumpulan Makalah Kendi Pertula Pustaka Cirebon (2016) karya Mustakim, pada 4 Juli 1915, Bupati Cirebon Raden Adipati Salmon Salam Soerjadiningrat menghapuskan diskriminasi itu. Ia mengganti penghormatan melalui jongkok dan bersujud dengan berjabat tangan.

Turis mengunjungi Keraton Kacirebonan, Kota Cirebon, Jawa Barat, Senin (15/7/2019). Para turis tersebut datang menggunakan kapal pesiar ke Cirebon.
Keputusan bersama itu masih berlaku hingga kini. Para turis yang datang siang itu juga berjabat tangan dengan para penarik becak.
”Saya suka dengan keramahan warga di sini. Kami diterima dengan baik. Ini perspektif baru bahwa di mana pun kita, punya sejarah masing-masing. Bedanya, di sini, aspek Islam-nya lebih kuat,” ujar George, turis asal AS, yang baru pertama menginjak kota seluas 37 kilometer persegi itu.
Kalau memang Leoni bermaksud mengatakan kesetaraan antara turis dari sejumlah belahan dunia itu dengan warga setempat, jelas itu sungguh positif. Namun, tidak ada salahnya juga kalau ungkapan ”tidak ada turis di sini” dimaknai sebagai kekurangsiapan infrastruktur pariwisata Cirebon menyambut wisatawan mancanegara.

Kondisi dermaga pelra di Pelabuhan Cirebon, Jawa Barat, yang dipenuhi bangkai kapal.
Tengok saja, bagaimana susah payah para turis harus naik rubber boat dari kapal pesiar menuju Pelabuhan Cirebon karena kedalaman kolam pelabuhan minus 6 meter low water spring (LWS). Sementara, kapal berukuran 5.218 gros ton (GT) itu butuh kolam lebih dalam dari itu. Ketiadaan dermaga penumpang membuat turis menepi di antara perahu karet polisi.Menurut Ari Tampubolon dari Cruise Asia, penanggung jawab kunjungan turis ke Cirebon tersebut, Cirebon menjadi salah satu tujuan kapal pesiar karena memiliki kekayaan sejarah, seni, dan budaya. ”Turis tertarik ke sini. Bahkan, mereka meminta naik becak karena tempat wisatanya berdekatan,” ujarnya.
Sebelumnya, kapal bertolak dari Benoa, Bali, lalu menuju Probolinggo (Jawa Timur), Semarang (Jawa Tengah), Cirebon (Jawa Barat), Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), dan berakhir di Singapura. ”Tahun 2016, kami juga mampir ke Cirebon dengan jumlah turis hampir sama dengan sekarang. Dulu, 2012 dan 2013, kami sampai empat kali setahun ke Cirebon. Sekarang, tiga tahun sekali,” ujarnya.
Lima tahun terakhir, baru dua kapal pesiar singgah di Cirebon. Seirama dengan data Badan Pusat Statistik Kota Cirebon, jumlah wisman ke Kota Cirebon anjlok dari sebelumnya 20.618 orang pada tahun 2012 menjadi 11.558 wisman pada tahun 2017. Jangan-jangan, ungkapan Leoni bahwa tidak ada turis di Cirebon bakal terjadi. Tentu saja semua berharap tidak. Masih ada waktu berbenah.