Industri Kreatif Jadi Harapan untuk Serap Tenaga Kerja
Di tengah menguatnya industri padat modal yang lebih mengandalkan otomatisasi daripada industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja, di era revolusi industri 4.0, industri kreatif jadi harapan untuk menyerap tenaga kerja.
Oleh
ERIKA KURNIA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Industri kreatif diyakini menjadi harapan di era revolusi industri 4.0, khususnya dalam menyerap tenaga kerja. Penyerapan tenaga kerja pada sektor ini terus meningkat di tengah menguatnya industri padat modal yang lebih mengandalkan otomatisasi daripada industri padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono saat dihubungi Kompas, Minggu (21/7/2019), mengatakan, hilangnya lapangan pekerjaan akibat tumbuhnya industri padat modal tidak perlu terlalu dikhawatirkan.
”Ke depan masih akan ada beberapa pekerjaan yang berkurang dan bertumbuh. Misal, 10 tahun lalu apakah kita terbayang ada profesi youtuber ataupun mitra perusahaan aplikasi. Industri kreatif ke depan akan lebih banyak karena karakter industri, bisnis, dan pekerjaan akan berubah dan itu wajar,” katanya.
Tumbuhnya industri padat modal diindikasikan sebagai salah satu penyebab perlambatan penyerapan tenaga kerja hingga 2018.
Asosiasi Pengusaha Indonesia awal Juli menyampaikan, dari Rp 721,3 triliun investasi yang masuk selama 2018, rata-rata penyerapan tenaga kerja hanya 1.331 orang per Rp 1 triliun investasi. Ini jauh menurun jika dibandingkan dengan 2013; dari total Rp 398,3 triliun, tenaga kerja yang terserap mencapai 4.594 orang per Rp 1 triliun investasi.
Sementara pertumbuhan jumlah tenaga kerja di industri kreatif terus meningkat. Badan Ekonomi Kreatif mencatat, pada 2015, tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif sebanyak 15,9 juta orang. Tahun lalu, jumlah ini meningkat hingga mencapai 18 juta orang.
Berangkat dari hal itu, Bambang menilai, Indonesia bisa mengandalkan industri kreatif. Pada 2017, sektor ekonomi kreatif baru berkontribusi Rp 1.009 triliun atau 7,6 persen bagi pendapatan domestik bruto (PDB).
Karena itu, pemerintah terus menggenjot pengembangan industri kreatif. Salah satunya pengembangan pelatihan yang selama ini dilakukan Balai Latihan Kerja (BLK).
Pada akhir Juni, misalnya, Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri menjajaki kerja sama pengembangan pelatihan BLK di bidang mode dengan Istituto Marangoni di Milan, Italia. Kerja sama itu diharapkan mampu meningkatkan kapasitas peserta pelatihan di BLK agar tidak hanya mampu menjahit pakaian, tetapi juga mendesain ide.
Sektor mode sendiri diketahui memiliki andil cukup besar bagi produk domestik bruto industri kreatif setelah sektor kuliner yang menempati urutan teratas.
Menurut Bambang, Kementerian Ketenagakerjaan bertanggung jawab menyiapkan pelatihan, penguatan mutu, dan akses pelatihan secara bertahap untuk memenuhi kebutuhan industri.
”Dengan demikian, siapa pun dengan latar belakang pendidikan apa pun bisa mengakses pelatihan,” ucapnya.
Pengusaha baru
Pengusaha yang berorientasi pada kreativitas dan inovasi pun lebih banyak dibutuhkan dalam menghadapi bonus demografi pada 2030-2040.
Menurut data Badan Pusat Statistik, selama 2017, jumlah pengusaha di Indonesia baru mencapai 3,1 persen (8 juta) dari jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 263 juta penduduk. Ke depan diharapkan ada 4 juta pengusaha baru untuk dapat menyaingi jumlah pengusaha di negara tetangga, seperti Singapura yang mencapai 7 persen dan Malaysia yang mencapai 5 persen dari jumlah penduduk.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang Brodjonegoro berpendapat, menjadi pengusaha di era revolusi industri 4.0 tetap harus mempertimbangkan produktivitas dan keberlanjutan.
”Kami berharap banyak anak muda yang mau jadi wirausaha, tetapi jangan latah, semua mau ke digital, jadi usaha perintis. Kami tidak ingin mereka yang gagal jadi tidak produktif,” ujarnya dalam wawancara dengan Kompas, beberapa waktu lalu.
Ia pun berharap tren berwirausaha masyarakat usia produktif, sebagai subyek utama bonus demografi, tidak hanya berfokus di usaha rintisan yang identik dengan dunia teknologi digital, tetapi juga di lingkup usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Saat ini, lebih kurang terdapat 63 juta UMKM.