Setelah Sistem Zonasi
Meskipun diwarnai sejumlah kesulitan, sistem penerimaan peserta didik baru atau PPDB berdasarkan sistem zonasi pada 2019 boleh dikatakan sukses. Hampir semua pakar dan pengamat pendidikan mendukung dilanjutkannya penggunaan sistem ini.
Pemerintah telah sukses mewujudkan tugasnya dengan tegas, yaitu memberikan akses dan keadilan terhadap pendidikan bagi semua kalangan masyarakat. Begitulah roh yang menjiwai sistem PPDB menggunakan sistem zonasi.
Sistem zonasi ingin menjamin bahwa semua siswa dapat mengakses pendidikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh negara (baca: sekolah negeri). Proses penerimaan calon siswa baru dirancang segampang mungkin. Tujuan ini telah berhasil diwujudkan.
Ihwal favorit
Mencermati Permendikbud Nomor 51 Tahun 2018 sebagai dasar penggunaan sistem PPDB dengan sistem zonasi tak tersua intensi untuk meniadakan sekolah favorit. Padahal, dalam banyak diskusi dan wacana menanggapi penggunaan sistem PPDB dengan sistem zonasi, tema menghapuskan sekolah negeri favorit banyak dikaitkan dengan diterapkannya sistem PPDB dengan sistem zonasi.
Sistem zonasi ingin menjamin bahwa semua siswa dapat mengakses pendidikan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan oleh negara (baca: sekolah negeri).
Apakah sistem PPDB dengan sistem zonasi akan meniadakan sekolah favorit?
Penulis memandang sekolah itu sebagai sebuah lembaga berjiwa. Ia dibangun berdasarkan kebiasaan, tradisi, juga idealisme oleh orang-orang yang terlibat di dalamnya. Mereka yang terlibat di sekolah itu bukan hanya orang-orang yang pada saat itu beraktivitas di dalamnya.
Mereka juga termasuk para alumnus, bahkan dalam banyak kasus pemerintah daerah/pejabat pun ikut terlibat. Sejumlah sekolah dengan sengaja diperlakukan istimewa untuk kepentingan para pejabat.
Tak heran jika pada sebuah sekolah ada kebiasaan, tradisi, perilaku, atau cara berdinamika yang unggul dan khas. Jadi, ada semacam sistem sosial yang terbangun pada sekolah. Sebagai sebuah sistem sosial, setiap sekolah sesungguhnya punya gugus habitus. Itulah yang terjadi pada sejumlah sekolah favorit.
Sebagai sebuah lembaga sosial yang memengaruhi pembentukan karakter, pada sekolah favorit lahirlah lulusan yang memiliki habitus berkarakter unggul dan khas.
Sistem zonasi tak hanya mengusik zona nyaman sekolah, tetapi juga zona nyaman sejumlah pihak yang berkepentingan dengan sekolah tertentu.
Semua pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah semacam ini berjerih payah agar tercipta proses pembelajaran yang jujur meski demi tujuan itu sering kali sekolah seperti ini tidak melahirkan lulusan dengan nilai ujian nasional (UN) fantastis.
Sekolah-sekolah favorit lain menciptakan keunggulan dalam menciptakan dinamika studi yang rapi, tegas, disiplin, dinamis, konsisten, obyektif, transparan, dan berkeadilan. Pada sekolah seperti ini bukan hanya siswa, melainkan juga para guru, bahkan tenaga kependidikan, mau tak mau harus berjerih payah jika ingin tetap mengikuti dinamika di sekolah itu.
Apabila tak mau menyesuaikan dinamika unggul dan khas sekolah yang telah tercipta itu, siswa bahkan guru bersangkutan akan tersisih. Beberapa siswa juga guru akhirnya harus mengajukan pengunduran diri.
Tradisi-tradisi unggul dan khas itu, misalnya, tiadanya toleransi pada perilaku mencontek.
Apa setelahnya?
Apabila memang intensi bersayap dari diterapkannya sistem PPDB dengan sistem zonasi adalah untuk meniadakan sekolah favorit sehingga keadilan dan jaminan bagi segenap warga masyarakat beroleh pendidikan yang unggul terwujud, perlulah kesungguhan, kejujuran, dan konsistensi dalam pengelolaan pendidikan kita.
Pendidikan, khususnya sekolah, tidak pernah boleh lagi hanya menjadi instrumen mainan bagi kepentingan raja-raja kecil pengambil keputusan pemerintah, lebih-lebih para pejabat yang terkait dunia pendidikan.
Pemindahan sejumlah tenaga pendidik harus dilakukan dengan intensi yang tulus, yaitu hanya demi pemberdayaan sekolah. Bersama itu harus dipastikan pemberdayaan fasilitas penunjang proses pembelajaran yang transparan, obyektif, dan berkeadilan. Kita juga harus memastikan bahwa apa yang telah diputuskan dan dirancang di tingkat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diterapkan dengan sempurna di tingkat pemerintah daerah.
Kita bisa membayangkan itu semua merupakan kerja besar. Tak jarang untuk mewujudkan pendidikan yang berkeadilan ini akan terjadi tarik-menarik kepentingan yang sengit antara lembaga dan pejabat. Sistem zonasi tak hanya mengusik zona nyaman sekolah, tetapi juga zona nyaman sejumlah pihak yang berkepentingan dengan sekolah tertentu.
Apabila sistem PPDB dengan sistem zonasi ini tak diikuti dengan kesungguhan kita menyelenggarakan pendidikan yang lugas dan berkeadilan, sesungguhnya kita sedang membawa sebuah generasi bangsa ini masuk ke jurang keterpurukan. Akan ada sejumlah siswa yang mengalami bagaikan harus belajar menjadi kucing di kandang kucing, padahal hakikatnya ia singa. Jangan sekali-kali main-main dengan pengelolaan pendidikan karena hal itu sama saja dengan sedang mempermainkan nasib bangsa ini.
Sidharta Susila, Pemerhati Pendidikan, Tinggal di Semarang