Kerja Bersama Kunci Keluarkan Indonesia dari Tiga Besar Dunia
Penyakit kusta atau lepra masih ada di Indonesia. Bahkan, kasus di Indonesia tertinggi ketiga setelah India dan Brasil. Untuk bebas dari kusta tidak hanya upaya dari pemerintah, tetapi juga perlu upaya dan kepedulian dari berbagai pihak.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
SINGKAWANG, KOMPAS – Kusta atau lepra masih ada di Indonesia. Bahkan, kasus di Indonesia tertinggi ketiga setelah India dan Brasil. Untuk bebas dari paparan risiko kusta, mensyaratkan kerja nyata tidak hanya dari pemerintah, tetapi juga berbagai pihak.
Bentuk kepedulian dan upaya mengobati kusta, salah satunya dilakukan sejumlah dokter mata, kulit, dan kelamin serta rehabilitasi medik Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-Rumah Sakit dr Cipto Mangunkusumo. Mereka tergabung dalam tim KATAMATAKU, yakni Idektifikasi Tanda-tanda Mata, Ekstremitas, dan Kulit pada Kusta.
Sabtu (20/7/2019), mereka menggelar bakti sosial di Rumah Sakit Khusus (RSK) Alverno, Singkawang, Kalimantan Barat. RSK Alverno satu-satunya rumah sakit kusta di Kalbar. Dalam bakti sosial itu berbagai kegiatan mereka lakukan.
“Dalam bakti sosial ini ada beberapa kegiatan, di antaranya pemeriksaan kelainan mata, tungkai, dan kulit. Selain itu, melatih dokter umum dan wasor untuk mengenali gejala-gejala awal kusta. Dengan demikian, ketika melihat ada warga dengan gejala awal kusta bisa langsung diberi pertolongan, jangan menunggu parah sehingga mereka tidak cacat,” ujar Ketua KATAMATAKU, dr Yunia Irawati SpM(K), ditemui di RSK Alverno.
Kusta tidak hanya masalah daerah ataupun nasional, kata Ira, tetapi menjadi masalah internasional. Bahkan, kusta masih ada di Indonesia. Perlu peran serta semua pihak untuk mengatasinya. Oleh karena itu, KATAMATAKU hadir untuk memberikan kepedulian kepada para penyandang kusta.
Kusta adalah penyakit kronis yang disebabkan Mycobacterium leprae. Kuman diidentifikasi pertama kali oleh dr Gerhard Handsen dari Norwegia pada 1873. Penyakit ini menyerang kulit, saraf tepi, mukosa saluran pernapasan atas, dan mata. Kusta menular melalui percikan cairan dari hidung dan mulut dalam kontak dekat serta waktu lama dengan penderita yang tidak diobati.
Data Global Leprosy Update WHO 2017, jumlah kasus baru kusta di Indonesia tertinggi ketiga di dunia (15.910 kasus), setelah India (126.164 kasus) dan Brasil (26.875 kasus). Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan mencatat, pada 2017, ada 10 provinsi belum mencapai eliminasi, yakni Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Papua, dan Papua Barat. Artinya, banyak di wilayah Indonesia timur.
Melalui bakti sosial itu juga KATAMATAKU ingin mengampanyekan agar penderita kusta jangan dijauhi. Selain itu, jangan ada lagi stigma negatif di lingkungan terhadap para penderita kusta, tetapi hendaknya dibantu agar bisa sembuh. Bakti sosial ini juga bentuk dari pengabdian terhadap masyarakat.
Di RSK Alverno ia senang karena mendapat kekuatan dari para dokter dan sesama. Ia pun merasa diterima.
“Bakti sosial tahun kedua dilaksanakan. Tahun lalu dilaksanakan di Tangerang. Tahun ini memang memilih di luar, yakni di Singkawang, kebetulan lokasinya agak di pinggir kota dan perlu beberapa jam dari Pontianak,” papar Ira.
Dalam bakti sosial itu 107 pasien diperiksa. Para dokter KATAMATAKU memeriksa penderita kusta di salah satu ruangan di kompleks RSK Alverno. Ada yang memeriksakan mata, kulit, dan ada pula rehabilitasi medik.
Selain itu, para dokter itu juga bergantian memberian penyuluhan kepada penderita kusta. Sebab, untuk bisa bebas kusta, tidak hanya upaya dari pemerintah dan para dokter, tetapi juga pasien perlu peduli terhadap dirinya sendiri.
Direktur RSK Alverno Singkawang, Barita P Ompusunggu, menyambut baik bakti sosial yang dilaksanakan di RSK Alverno. Dengan adanya bakti sosial itu juga diharapkan bisa menginformasikan keberadaan RSK Alverno ke luar. Dengan diinformasikan ke luar keberadaan RSK Alverno diharapkan ada pihak yang bisa membantu. Apalagi, RSK Alverno adalah rumah sakit swasta murni.
“Penderita kusta yang tinggal di sini ada 32 orang. Sebagian besar mereka juga memang tinggal di sini karena sudah tidak punya keluarga lagi. Ada juga yang rawat inap sementara sekitar tiga hingga empat orang. Pasien rawat jalan ada sektar tiga orang. Pasien di sini tidak hanya dari Kalbar, tetapi juga dari luar Kalbar, misalnya dari Jawa dan Kapulauan Riau (Kepri). Bahkan, ada tiga pasien rawat jalan dari Kepri,” ujarnya.
Untuk obat kusta bagi orang dewasa dikirim dari Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar. Ketersediaannya mencukupi. Namun, yang menjadi kendala adalah obat untuk pasien anak-anak. Di sini pasien termuda usia enam tahun. Pasien baru secara umum pun masih berdatangan.
Sumber penularan
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan, Windra Woworuntu, mengatakan, jika masih ada penderita anak, berarti masih ada sumber penularannya. Maka, perlu cepat diatasi. Temukan penderitanya dan segera diobati sedini mungkin sehingga tidak menimbulkan kecacatan.
“Fokus perhatian pemerintah adalah deteksi dini. Cari sumber penularannya dan cepat diobati, sehingga tidak ada lagi stigma negatif dari masyarakat kepada penderita kusta,” papar Windra.
Secara terpisah Pengelola Program Kusta dan Frambusia Dinas Kesehatan Provinsi Kalbar, Hendri, mengatakan, di Kalbar lima besar penderita kusta terbanyak ada di Kabupaten Kayong Utara, Pontianak, Kubu Raya, Mempawah, dan Ketapang. Hal itu masih terjadi kemungkinan karena masih ada sumber penularan yang belum diobati.
Jumlah kasus pada 2018 di Kayong Utara sebanyak 22 kasus, Mempawah (18 kasus), Ketapang (8), Kubu Raya (8), Sanggau (6), dan Pontianak (6).
Di tengah masyarakat, stigma negatif terhadap penderita kusta masih tinggi, yang berujung pada pengucilan. Dengan kondisi seperti itu, kemungkinan luput dari pengobatan. Mereka juga cenderung minder.
Sebaran kasus kusta didorong di bawah 1 per 10.000 penduduk. Kalbar sejauh ini jauh di bawah itu, yakni 0,04 per 10.000 penduduk.
Andi Musa (35), salah satu pasien asal Sulawesi Tengah, sudah 7 tahun bekerja di perusahaan sawit di Balai Karangan, Kabupaten Sanggau. Sepuluh hari ia menjalani perawaran di RSK Alverno. Di Puskesmas Balai Karangan tidak ada obat.
Ia tidak memiliki keluarga di Kalimantan, sehingga datang sendiri ke RSK Alverno setelah mendapat info dari puskesmas tempat ia bekerja. Ia segera ke RSK Alverno, karena efek kusta sangat terasa di tubuhnya.
Jika ia tidak mendapat stigma negatif dari rekan kerjanya, kata Andi, karena teman-temannya tidak tahu kalau dirinya terkena kusta. Di RSK Alverno, ia merasa tertolong. Apalagi dengan adanya bakti sosial dari pihak luar.
Dahari (46), mantan penyandang kusta asal Singkawang, kini masih di RSK Alverno. Ia sembuh tahun 2017, tetapi masih ada bekas cacat fisik.
Ia menetap di RSK Alverno karena jika ia pulang ke rumah, tetangganya menjauh. Ada perubahan sikap tetangganya. Di RSK Alverno ia senang karena mendapat kekuatan dari para dokter dan sesama. Ia pun merasa diterima.
Bakti sosial seperti dilakukan KATAMAKU membuat ia senang. Ia menganggap bahwa itu bentuk perhatian dari orang lain.