Lesunya penjualan kendaraan pada semester I-2019 diharapkan tidak berlanjut. Pelaku usaha berharap penurunan suku bunga mendongkrak penjualan di semester II-2019. Namun, imbasnya diperkirakan tidak bisa segera.
Oleh
Cyprianus Anto Saptowalyono / Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Lesunya penjualan kendaraan pada semester I-2019 diharapkan tidak berlanjut. Pelaku usaha berharap penurunan suku bunga mendongkrak penjualan di semester II-2019. Namun, imbasnya diperkirakan tidak bisa segera.
Sepanjang semester I-2019, berdasarkan data yang dirilis PT Astra International Tbk dari Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil di dalam negeri tercatat 481.577 unit. Angka itu turun dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu sebanyak 553.773 unit.
Sejumlah faktor dinilai memengaruhi penurunan itu. Faktor itu antara lain terkait dengan penyelenggaraan pemilu, turunnya harga komoditas, serta lesunya perdagangan global. Beberapa faktor itu dinilai membuat sebagian konsumen menunda atau membatalkan pembelian.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, saat dihubungi di Jakarta, Jumat (19/7/2019), berpendapat, tertekannya harga komoditas, seperti sawit dan karet, berimbas kepada warga di daerah. Lesunya ekspor juga berdampak ke pendapatan, terutama mereka yang terlibat di industri berorientasi ekspor.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, nilai ekspor Indonesia sepanjang Januari-Juni 2019 mencapai 80,324 miliar dollar AS. Angka itu turun dibandingkan dengan nilai ekspor periode yang sama tahun lalu yang mencapai 87,85 miliar dollar AS.
Menurut Bhima, penurunan penjualan mobil lebih disebabkan oleh faktor di luar industri otomotif. Oleh karena itu, sisi permintaan mesti dipulihkan dengan menjaga dan meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga penjualan naik, terutama di pasar domestik.
Sebelumnya, Ketua Gaikindo Jongkie D Soegiarto mengatakan, ada beberapa faktor yang memengaruhi penurunan angka penjualan, antara lain terkait dengan kondisi ekonomi serta penyelenggaraan pemilu. Namun, penjualan mobil secara domestik sepanjang tahun ini ditargetkan setidaknya bisa mencapai 1,1 juta unit, relatif sama dengan tahun lalu yang 1,15 juta unit.
Suku bunga
Sejumlah pelaku usaha dan perbankan menyambut positif langkah Bank Indonesia (BI) menurunkan suku bunga acuan sebesar 0,25 persen menjadi 5,75 persen. Langkah itu dinilai menjadi sinyal positif sekaligus menumbuhkan kepercayaan pasar terhadap perekonomian Indonesia.
Akan tetapi, penurunan suku bunga dinilai tidak serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi. Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, dampak pemangkasan suku bunga terhadap pertumbuhan ekonomi paling cepat 6-12 bulan. Hal itu karena transmisi penurunan suku bunga BI terhadap suku bunga kredit bank butuh waktu.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, suku bunga dasar kredit korporasi per akhir Mei 2019 pada 99 perbankan di Indonesia berkisar 10-11 persen. Menurut Enrico, suku bunga kredit diperkirakan belum akan turun sampai akhir tahun karena risiko penyaluran kredit meningkat seiring perekonomian domestik yang lesu. Perbankan lebih berhati-hati agar rasio kredit macet tidak meningkat.
”Pelonggaran kebijakan moneter BI cukup mendukung ketersediaan likuiditas. Perbankan saat ini punya peluru ekstra untuk memberikan pinjaman, tetapi tidak sembarangan,” kata Enrico.
Upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya ditopang penurunan suku bunga. Pelonggaran kebijakan moneter, kata Enrico, mesti dibarengi kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mencegah melambatnya perekonomian.
Ekspansi fiskal itu dibutuhkan untuk mendorong konsumsi domestik sekaligus permintaan kredit. Setelah BI memangkas suku bunga, pemerintah mesti mempercepat belanja modal, bantuan sosial, bantuan langsung tunai, serta transfer dana ke daerah.
”Pemangkasan suku bunga pasti berdampak ke sektor riil, tetapi tak segera karena katalisnya adalah belanja pemerintah,” kata Enrico.
Berdasarkan data BI, pertumbuhan kredit per Mei 2019 relatif stabil di angka 11,1 persen. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga mencapai 6,7 persen, naik dibandingkan dengan April 2019 yang 6,6 persen.
Sebelumnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan, penurunan suku bunga ditempuh untuk mengantisipasi makin melambatnya perekonomian. BI akan berkoordinasi dengan OJK terkait dengan transmisi ke suku bunga perbankan dan bersinergi dengan pemerintah untuk menjaga fiskal tetap ekspansif. Kebijakan ini akan berdampak terhadap perekonomian tahun 2020 yang diperkirakan tumbuh 5,1-5,5 persen.
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menambahkan, risiko pelambatan berasal dari perang dagang AS-China yang dapat memperburuk defisit transaksi berjalan triwulan II-2019.
Pemerintah harus menyusun terobosan jangka pendek agar defisit transaksi berjalan tidak semakin dalam. Selain reformasi struktural, pemerintah perlu segera merealisasikan lebih banyak kerja sama perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang yang potensial.