Sosialisasi tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 kepada pekerja usia muda dinilai perlu lebih gencar. Literasi sejak usia dini bermanfaat agar pekerja memiliki kesadaran penuh akan hak K3 mereka.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
KOMPAS/MEDIANA
Suasana SafeYouth@Work Closing Project Workshop, Kamis (18/7/2019), di Hotel Ayana, Jakarta. Dalam lokakarya ini, peserta datang dari perwakilan serikat buruh/pekerja, pengusaha, mahasiswa, dan dosen. Mereka diajak memetakan kebutuhan sosialisasi K3 kepada pekerja usia muda.
JAKARTA, KOMPAS —Sosialisasi tentang pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja atau K3 kepada pekerja usia muda dinilai perlu lebih gencar. Literasi sejak usia dini bermanfaat agar pekerja memiliki kesadaran penuh akan hak K3 mereka.
”Kami menyarankan serikat buruh/pekerja juga harus dilibatkan. Kami mendorong pula para pelaku usaha membentuk panitia pembina K3 di lingkungan perusahaan dan mengikutsertakan pekerja usia muda,” ujar National Project Officer SafeYouth@Work Organisasi Buruh Internasional (ILO) Jakarta Abdul Hakim di sela-sela penutupan SafeYouth@Work Closing Project Workshop, Kamis (18/7/2019), di Hotel Ayana, Jakarta.
Cara seperti itu dia nilai akan lebih optimal. Setahun terakhir, kantor ILO Jakarta menggelar kampanye K3 sebagai bagian meningkatkan kesadaran pentingnya K3 di tempat kerja sekaligus memberikan tanggapan terhadap berbagai insiden K3 nasional.
Salah satu sasaran kampanye adalah pekerja usia muda, secara khusus usia 15 - 24 tahun. Literasi K3 sedini mungkin dianggap bagus karena sejalan dengan perubahan hubungan industrial dan cara kerja akibat revolusi industri keempat. ”Pekerja usia muda harus memahami bagaimana lanskap pekerjaan masa depan dan kaitannya dengan K3 kelak,” ujarnya.
Mengutip Survei Angkatan Tenaga Kerja Nasional tahun 2017 yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik, total angkatan kerja mencapai 120,64 juta orang. Tenaga kerja usia 15-24 tahun mewakili 14,2 persen dari total angkatan kerja. Mereka merupakan kelompok terbesar setelah pekerja usia 25-34 tahun (24,6 persen), pekerja usia 35-44 tahun (25 persen), dan pekerja usia 45-54 tahun (20,3 persen).
Pekerja usia 15-24 tahun tersebar di seluruh Indonesia. Jawa Barat adalah provinsi dengan pekerja usia itu terbanyak, yakni 2,9 juta orang. Kemudian, posisi berikutnya diisi oleh Jawa Timur sebesar 2,3 juta orang, Jawa Tengah 2,08 juta orang, Sumatera Utara 1,08 juta orang, dan Banten 799.321 orang.
Pekerja usia tersebut bekerja di berbagai sektor industri. Sektor perdagangan, hotel, dan restoran adalah sektor yang paling banyak dimasuki, yakni sekitar 4,68 juta orang. Sektor kedua adalah pertanian dengan total 4,18 juta orang, diikuti manufaktur 3,11 juta orang, jasa 2,68 juta orang, dan konstruksi 952.011 orang.
Perlu pendekatan berbeda saat menyosialisasikan K3 kepada pekerja usia muda, khususnya 15 -24 tahun.
Ketua Departemen K3 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Indri Hapsari berpendapat, diperlukan pendekatan berbeda saat menyosialisasikan K3 kepada pekerja usia muda, khususnya 15 -24 tahun. Manajemen perusahaan, misalnya, bisa melakukan sosialisasi secara persuasif selayaknya hubungan pertemanan, memakai video, dan demo kasus nyata.
”Sosialisasinya pun tidak bisa sekali dan berharap mereka paham. Lima atau sepuluh tahun mendatang, pekerja usia muda itu akan naik ke jenjang lebih tinggi sehingga edukasi K3 harus sedini mungkin,” ujarnya.
Indri terlibat dalam penelitian kondisi pemahaman K3 di lingkup pekerja muda 15-24 tahun sektor konstruksi selama April-Juli 2019. Penelitian ini mendapat dana hibah dari ILO. Konstruksi dipilih karena menjadi salah satu sektor yang paling banyak diisi oleh pekerja muda. Alasan lain, Pemerintah Indonesia sekarang sedang gencar membangun proyek-proyek konstruksi.
Menurut dia, jumlah responden mencapai 440 orang. Mereka bekerja di dua BUMN karya dan dua perusahaan konstruksi swasta berskala besar. Keempatnya telah mengantongi berbagai sertifikat terkait K3.
KOMPAS/ALIF ICHWAN
Pencari kerja memadati bursa kerja Mega Career Expo di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Selasa (2/7/2019). Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, per Februari 2019 terdapat 136,18 juta orang angkatan kerja di Indonesia. Dari jumlah itu, 129,36 juta orang bekerja.
Terdapat temuan menarik berkaitan dengan perilaku serta pemahaman pekerja usia muda 15-24 tahun terhadap K3. Sekitar 55,3 persen pekerja adalah perokok dan bahkan merokok di area proyek. Lebih dari setengah responden tidur kurang dari delapan jam. Sekitar 9,6 persen pekerja adalah konsumen alkohol aktif.
Kasus K3 yang mereka alami biasanya disebabkan oleh kecerobohan sendiri walaupun dampaknya ringan dan tidak sampai menyebabkan cedera berat ataupun kematian. Hanya saja, Indri menegaskan, hal itu harus dilihat sebagai peringatan awal.
”Sosialisasi K3 secara intensif kepada mereka kurang. Ini barangkali bisa dipahami karena turn over bekerja di sektor konstruksi sangat tinggi. Setiap pekerja bekerja berdasarkan proyek,” katanya.
Pembina jasa konstruksi muda Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Ratih Fitriani, menyatakan, kementerian selalu rutin mengawasi pelaksanaan K3 di setiap proyek konstruksi, utamanya program pemerintah. Hanya, pengawasan lebih menekankan pada antisipasi kecelakaan kepada seluruh pekerja. Sementara penekanan aspek kesehatan khusus kepada pekerja usia muda belum optimal. ”Peninjauan biasanya menekankan lebih ke sisi engineering, kualitas bangunan yang sedang dikerjakan,” ucapnya.
KOMPAS/PRIYOMBODO
Antrean pencari kerja menunggu giliran untuk dapat memasuki ruangan pameran bursa kerja di Gedung Smesco, Jakarta, Rabu (13/02/2019). Bursa kerja selalu dipadati oleh para pencari kerja. Menurut data Badan Pusat Statistik, jumlah angkatan kerja pada Agustus 2018 sebanyak 131,01 juta orang, naik 2,95 juta orang dibandingkan pada Agustus 2017.
Pada saat bersamaan, Kepala Bagian Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) Lena Kurniawati mengatakan, Undang-Undang Nomor (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan akan segera direvisi. Rencana revisi ini menyikapi perubahan lanskap hubungan industrial yang dipengaruhi oleh tren revolusi industri keempat.
Dia mengungkapkan, selama proses perbincangan rencana, turut disertakan isu penyesuaian standar K3. ”Tren revolusi industri keempat mendorong perubahan cara bekerja. Salah satu kejadian mencolok adalah menyelesaikan pekerjaan tidak harus di kantor, tetapi di kafe dan ruang kerja bersama. Perubahan ini tentunya diikuti potensi bahaya K3 yang berbeda,” ujar Lena.
Sebelumnya, Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan K3 Kemnaker Sugeng Priyanto menyampaikan, pihaknya sedang gencar menyosialisasikan Permenaker Nomor 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja. Hadirnya permenaker ini mencabut peraturan sebelumnya, yaitu Permen Perburuhan Nomor 7 Tahun 1964 tentang Syarat Kesehatan, Kebersihan, serta Penerangan di Tempat Kerja. Juga Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 13 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Kimia di Tempat Kerja.
Permenaker Nomor 5 Tahun 2018 berisi pedoman baru mengenai nilai ambang batas faktor fisika dan kimia, standar faktor biologi, ergonomi dan psikologi, serta persyaratan higiene dan sanitasi. Dengan demikian, ini bisa menjadi jawaban untuk mewujudkan tempat kerja yang aman, sehat, dan nyaman sehingga produktivitas kerja meningkat.