Konflik bersenjata pasca-pengejaran kelompok kriminal bersenjata oleh TNI di Kabupaten Nduga, Papua, membuat masyarakat yang telah lama trauma pada lingkaran kekerasan diperkirakan semakin menderita. Pemerintah pusat pun diharapkan bertindak lebih optimal untuk mengatasi tragedi kemanusiaan tersebut.
Oleh
EDNA C PATTISINA
·2 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Konflik bersenjata pasca-pengejaran kelompok kriminal bersenjata oleh TNI di Kabupaten Nduga, Papua, membuat masyarakat yang telah lama trauma pada lingkaran kekerasan diperkirakan semakin menderita. Pemerintah pusat pun diharapkan bertindak lebih optimal untuk mengatasi tragedi kemanusiaan tersebut.
”Tim gabungan TNI/Polri yang beroperasi di 11 distrik membuat sekitar 45.000 warga mengungsi,” kata Otnomi Gwijangge, sebagai Kepala Dinas Kominfo Kabupaten Nduga, dalam acara peluncuran buku Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan Papua dan diskusi di Universitas Kristen Indonesia, Jumat (19/7/2019), Cawang, Jakarta. Otomi mengatakan, konflik terjadi di daerah yang padat sehingga ada sekitar 40 persen dari warga Kabupaten Nduga yang terpaksa mengungsi.
Ia mengakui, Kabupaten Nduga tidak berdaya menghadapi arus pengungsian internal tersebut. Penanganan pengungsi internal tidak sesuai dengan tugas dan wewenangan pemda. Namun, ia mengakui, akibat pengungsian tersebut, masyarakat kehilangan akses pendidikan, kesehatan, dan tempat ibadah.
Pendeta Benny Giai, Ketua Sinode Gereja Kemah Injil Indonesia di Papua, mengatakan, tragedi yang mengorbankan masyarakat Papua terus terjadi. Menurut dia, akar persoalannya bersifat sosial-historis.
”Jakarta perlu duduk dan dialog dengan orang Papua,” katanya.
Dosen Antropologi FISIP UKI Antie Soelaiman mengatakan, pengungsian tersebut memusnahkan peradaban masyarakat suku Nduga. Suku itu jadi tercerai berai. Mereka tidak bisa melakukan ritual sukunya dengan utuh. Bahkan, saat ini, bahasannya mulai tercampur aduk. Antie mengajak agar masyarakat mengulurkan tangan untuk rakyat Nduga.
Victor Yeimo, aktivis, menggarisbawahi bahwa konflik bersenjata di Nduga terkait kepentingan ekonomi dan politik. Hal senada disampaikan mantan Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai.
Sebelumnya, Hipolitus Wangge dari Tim Solidaritas untuk Nduga mengatakan, banyak warga meninggal dari tempat-tempat penampungan di Wamena per 16 Juli 2019 . Ada berbagai tempat lain yang menampung pengungsi, termasuk hutan-hutan. ”Diperkirakan jumlah korban jauh lebih banyak. Hari ini katanya ada seorang anak dua tahun yang meninggal karena kelaparan,” kata Hipo.
Hipo mengatakan, jumlah pengungsi di Wamena saja tercatat ada 5.201 orang per Juni 2019. Kondisi mereka terlunta-lunta, bahkan kekurangan makanan. Sanitasi juga tidak memadai. Oleh karena itu, selain sakit infeksi saluran pernapasan atas, banyak juga yang sakit disentri dan anemia karena kurang makan.
Editor:
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.