Kombinasi Pelonggaran Moneter dan Ekspansi Fiskal Pacu Pertumbuhan
Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pelonggaran kebijakan moneter ini mesti dibarengi kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan konsumsi domestik.
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemangkasan suku bunga acuan Bank Indonesia tidak serta-merta mendorong pertumbuhan ekonomi. Pelonggaran kebijakan moneter ini mesti dibarengi kebijakan fiskal yang ekspansif untuk meningkatkan konsumsi domestik.
Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) pada 17-18 Juli 2019 memutuskan, suku bunga acuan BI, BI 7-day Reverse Repo Rate, turun 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. Arah kebijakan BI juga berubah haluan dari menjaga stabilitas menjadi mendorong perekonomian.
Kepala Ekonom PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, dampak pemangkasan suku bunga terhadap pertumbuhan ekonomi paling cepat 6-12 bulan mendatang. Hal itu karena transmisi penurunan suku bunga BI terhadap suku bunga kredit perbankan butuh waktu.
Mengutip data Otoritas Jasa Keuangan, suku bunga dasar kredit korporasi per akhir Mei 2019 pada 99 perbankan di Indonesia berkisar 10-11 persen.
Enrico mengatakan, suku bunga kredit diperkirakan belum akan turun sampai akhir tahun karena risiko penyaluran kredit meningkat seiring dengan perekonomian domestik yang lesu. Perbankan bersikap lebih berhati-hati agar rasio kredit macet (NPL) tidak meningkat.
”Pelonggaran kebijakan moneter BI cukup mendukung ketersediaan likuiditas. Perbankan saat ini punya peluru ekstra untuk memberi pinjaman, tetapi tidak sembarangan,” kata Enrico di Jakarta, Jumat (19/7/2019).
Dalam RDG BI bulan lalu, BI menurunkan rasio giro wajib minimum (GWM) perbankan sebesar 50 bps untuk melonggarkan likuiditas perbankan. Melalui kebijakan itu, BI berharap kecukupan likuiditas perbankan dapat bertambah hingga Rp 25 triliun-Rp 30 triliun.
Menurut Enrico, upaya mendorong pertumbuhan ekonomi tidak bisa hanya ditopang penurunan suku bunga. Pelonggaran kebijakan moneter mesti dibarengi kebijakan fiskal yang ekspansif untuk mencegah melambatnya perekonomian.
Ekspansi fiskal itu dibutuhkan untuk mendorong konsumsi domestik sekaligus permintaan kredit. Setelah BI memangkas suku bunga, pemerintah mesti mempercepat belanja modal, bantuan sosial, bantuan langsung tunai, serta transfer dana ke daerah.
”Pemangkasan suku bunga pasti berdampak ke sektor riil, tetapi tidak segera karena sisi katalisnya adalah belanja pemerintah,” ujar Enrico.
Berdasarkan data BI, pertumbuhan kredit per Mei 2019 relatif stabil di angka 11,1 persen. Adapun pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) pada Mei 2019 sebesar 6,7 persen, sedikit meningkat dibandingkan dengan April 2019, yaitu 6,6 persen.
Antisipasi perlambatan
Gubernur BI Perry Warjiyo, dalam konferensi pers hasil RDG BI, Kamis, mengatakan, penurunan suku bunga ditempuh untuk mengantisipasi makin melambatnya perekonomian. Jika BI tidak memangkas suku bunga, perekonomian bisa tumbuh di bawah titik tengah 5-5,4 persen.
”Kami berupaya menjaga agar deviasi pertumbuhan ekonomi tidak terlalu jauh dari 5,2 persen,” kata Perry.
Jika BI tidak memangkas suku bunga, perekonomian bisa tumbuh di bawah titik tengah 5-5,4 persen.
BI akan memperkuat koordinasi dengan OJK terkait transmisi penurunan suku bunga terhadap suku bunga perbankan dan bersinergi dengan pemerintah untuk menjaga fiskal tetap ekspansif. Bauran kebijakan ini akan berdampak terhadap perekonomian tahun 2020, yang diperkirakan tumbuh 5,1-5,5 persen.
Kepala Lembaga Pusat Kajian Ekonomi Makro (LPEM) Universitas Indonesia Febrio Kacaribu menambahkan, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi berasal dari perang dagang AS-China. Perdagangan global dapat memperburuk defisit transaksi berjalan pada triwulan II-2019.
”Perdagangan Indonesia tetap rentan terhadap perubahan harga global karena struktur ekspor yang bergantung pada komoditas,” ujar Febrio.
Untuk itu, lanjutnya, pemerintah harus menyusun terobosan dalam jangka pendek agar defisit transaksi berjalan tidak semakin dalam. Selain reformasi struktural, pemerintah perlu segera merealisasikan lebih banyak kerja sama perdagangan dan investasi bilateral dengan mitra dagang yang potensial.
Berdasarkan data BI, defisit transaksi berjalan pada triwulan I-2019 sebesar 7 miliar dollar AS atau 2,6 persen produk domestik bruto (PDB). Defisit transaksi berjalan pada 2019 diperkirakan lebih rendah dari tahun lalu, yaitu dalam kisaran 2,5-3 persen PDB. Defisit transaksi berjalan pada 2018 sebesar 2,99 persen PDB.