Ursula von der Leyen menjadi perempuan pertama yang menjabat Presiden Dewan Komisi Eropa. Ia menghadapi agenda berat, seperti isu Brexit dan perubahan iklim.
Meskipun pencalonan Von der Leyen tidaklah mulus, ketika kubu besar di Parlemen Eropa, yaitu Partai Hijau, Sosial Demokrat, dan kubu sayap kanan menentangnya, ia mengantongi kelebihan. Dirinya didukung setidaknya 28 pemimpin UE.
Privilese itu tak dimiliki Frans Timmermans, kandidat asal Belanda, yang diajukan kubu Sosial Demokrat melalui proses yang sesuai aturan. Timmermans ditentang Perdana Menteri (PM) Italia karena bersikap kritis terhadap Hongaria dan Polandia yang memiliki pemerintahan ekstrem kanan.
Von der Leyen terpilih dengan dukungan 383 suara, terpaut sembilan suara dari batas minimal mayoritas di parlemen, 374 suara. Berbagai sumber menyebutkan, kemenangan itu dikarenakan dua pertiga kubu Sosial Demokrat akhirnya memberikan suara bagi Von der Leyen dengan imbalan kebijakan Komisi Eropa di masa depan yang selaras dengan isu yang diusung Sosial Demokrat.
Seperti juga sebuah pertarungan, Von der Leyen kini harus menyatukan kembali perbedaan di antara anggota UE. Ini menjadi tugas berat karena untuk pertama kalinya pemilihan pemimpin UE berlangsung alot dan berlarut-larut. Untuk pertama kalinya pula Jerman dan Perancis saling mengancam. Manfred Weber, kandidat usulan Jerman, ditolak Perancis dan Michel Barnier, kandidat usulan Perancis, ditolak Jerman.
Akar dari persoalan ini adalah terkikisnya kekuatan kubu tengah Konservatif (EPP) serta kubu Sosialis dan Demokrat di parlemen. Sebelumnya, kedua kubu ini selalu mendominasi Parlemen Eropa. Dalam pemilu legislatif Eropa, Juni lalu, EPP hanya meraih 182 kursi dari 216 kursi yang diraih pada 2014. Sedangkan Sosial Demokrat meraih 154 kursi dari sebelumnya 185 kursi. Hanya kubu Partai Hijau dan ekstrem kiri yang meraih tambahan signifikan.
Konfigurasi politik terbaru tersebut selanjutnya akan memengaruhi setiap kebijakan penting di UE. Terlebih, kubu Visegrad (Hongaria, Polandia, Ceko, dan Slowakia) kini bertambah kuat dengan bergabungnya Italia yang pemerintahannya berasal dari partai populis.
Terkait arah pendulum yang semakin ke kanan, Von der Leyen mengatakan, dirinya akan melakukan reformasi untuk meningkatkan pengawasan terhadap anggota UE yang tidak menghiraukan aturan blok dalam penghormatan terhadap hak-hak sipil, hukum, dan kebebasan berbicara.
Meskipun tidak menyebutkan nama negara, semua tahu, yang dimaksudkan adalah Hongaria dan Polandia, yang dalam beberapa tahun terakhir telah memberangus kebebasan berekspresi, antara lain dengan menahan sejumlah wartawan yang kritis.
Alhasil, tugas Von der Leyen akan semakin berat karena kelompok pembangkang di tubuh UE kini makin membesar.