Dengan Pemahaman Baik, Kekerasan Seksual Bisa Dicegah
Sebagai juru pijat di era revolusi industri 4.0, Olvi (46) selalu siap untuk dipanggil pelanggan kapan pun dan di mana pun untuk diminta mengatasi pegal-pegal yang menderanya. Namun, kemudahan itu tak berarti tanpa risiko.
Oleh
KRISTIAN OKA PRASETYADI
·5 menit baca
Sebagai juru pijat pada era revolusi industri 4.0, Olvi (46) selalu siap untuk dipanggil pelanggan kapan pun dan di mana pun untuk diminta mengatasi pegal-pegal yang menderanya. Penghasilan pun mengalir lebih mudah tanpa harus menunggu pelanggan datang ke sanggar pijatnya di Manado, Sulawesi Utara. Namun, kemudahan itu tak berarti tanpa risiko.
Suatu kali, mitra Go-Massage—di bawah manajemen aplikasi ojek dalam jaringan (daring) Go-Jek—itu dipanggil ke sebuah hotel oleh pelanggan laki-laki. Saat dipijat, laki-laki itu hanya menggunakan handuk untuk menutupi bagian bawah tubuhnya. Perempuan yang diduga istrinya sedang tidur lelap di ranjang sebelah.
”Tiba-tiba, dia (pelanggan) meraih tangan saya, lalu meletakkannya ke alat kelaminnya. Saya kaget sekali. Spontan, saya menyenggol istrinya agar bangun. Setelah istrinya sadar, dia langsung melepaskan tangan saya, kemudian saya memutuskan untuk pamit,” kata Olvi, Kamis (18/7/2019), dalam acara ”Pembekalan Pencegahan Kekerasan Seksual” yang diadakan PT Go-Jek Indonesia.
Pengalaman mengerikan seperti itu ternyata bukan hanya dialami Olvi. Beberapa mitra Go-Massage yang lain juga pernah tertimpa apes serupa. Mereka ingin melaporkannya kepada polisi atau kepada manajemen Go-Jek. Namun, tidak ada saksi yang dapat memperkuat laporan mereka karena hal itu terjadi di ruang privat yang tertutup.
Ternyata, tak hanya perempuan yang dapat menjadi korban. Laki-laki juga mengalaminya seperti yang terjadi pada Raimon Langi (47), mitra sopir Go-Car. Sebagai sopir yang lebih suka bekerja di malam hingga dini hari, ia mau tak mau mengakrabi kehidupan malam meski tak langsung terlibat di dalamnya.
”Tidak sekali customer perempuan dan waria yang saya antar menggoda saya untuk berhubungan seksual. Saya punya istri dan anak sehingga saya menolak. Tapi, mereka mengancam akan memberi satu bintang saja (untuk penilaian kepuasan pelanggan) atau mengajukan komplain pada Go-Jek. Bisa-bisa saya di-suspend,” katanya.
Tiada cara lain, Raimon hanya bisa mengatasinya dengan cepat-cepat mengantarkan pelanggannya ke titik tujuan untuk terhindar dari ancaman seperti itu. Dengan sampai lebih cepat, ia bisa terhindar dari cekcok dengan pelanggan yang berisiko pada keberlanjutan pekerjaannya.
Keamanan bersama
Di waktu bersamaan, jalan di Manado semakin ”dihijaukan” jaket dan helm ribuan ojek daring, baik mitra Go-Jek maupun Grab. Keamanan pelanggan ataupun mitra pengemudi dari kekerasan seksual tak boleh luput dari perhatian perusahaan aplikator sebagai penyedia platform layanan.
Teknologi yang mumpuni saja tidak cukup untuk mengamankan pelanggan. Mitra pengemudi bisa menjadi garda terdepan untuk mencegah kekerasan seksual. Go-Jek pun memulainya dengan memberikan pembekalan tentang pencegahan kekerasan seksual kepada mitra pengemudi ataupun layanan lainnya seperti pijat.
”Sekarang, tingkat kekerasan di layanan Go-Ride (ojek daring) masih 0,0001 persen. Tapi, mitra harus ada kesadaran, mana yang bisa dilakukan dan mana yang tidak bisa dilakukan, apalagi di ruang publik. Jika driver sudah mengerti tentang pencegahan kekerasan seksual dan membudayakannya, pasti kepercayaan publik akan meningkat,” kata Head of Regional Corporate Affairs for East Indonesia Go-Jek Mulawarman.
Total 45 mitra pengemudi dan pijat mengikuti pelatihan ini, 17 di antaranya laki-laki. Manado adalah kota ketujuh tempat pembekalan dan pelatihan ini digelar. Go-Jek menggandeng beberapa pihak, salah satunya gerakan antikekerasan di ruang publik, Hollaback Jakarta.
Co-Director Hollaback Jakarta Anindya Restuviani membimbing para mitra layanan Go-Jek dengan sabar. Ia menjelaskan berbagai hal, seperti kekerasan seksual secara fisik, verbal, mental, ekonomi, hingga digital. Para mitra pun dituntun untuk menyadari bahwa memegang bagian tubuh tertentu, menggoda wanita dengan sapaan ”hei Manis”, hingga memotret seseorang tanpa izin dengan alasan seksual bisa dikategorikan sebagai kekerasan.
Pengemudi ojek daring dan layanan daring lainnya bisa menjadi garda terdepan untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat sekitar. (Anindya Restuviani)
”Kata kuncinya adalah ’tidak diinginkan’. Kalau tindakan itu dilakukan tanpa persetujuan orang yang ditujukan, artinya itu kekerasan,” kata Anindya kepada para mitra.
Para mitra juga diajak mengidentifikasi jenis-jenis kekerasan seksual dari yang ringan seperti komentar seksis sampai yang berat seperti pemerkosaan. Mereka tidak hanya diajarkan cara menghindari kekerasan seksual dan diajak untuk tidak menjadi pelaku, tetapi juga beraksi saat melihat orang lain melakukan kekerasan.
Menurut survei nasional yang dijalankan Hollaback Jakarta dan beberapa lembaga lainnya yang melibatkan 62.000 responden, terbukti bahwa tiga dari lima perempuan pernah mengalami kekerasan seksual di ruang publik, begitu pula satu dari 10 laki-laki. Sekitar 60 persen adalah kekerasan verbal, sedangkan 24 persen kekerasan fisik.
Anindya mengatakan, pengemudi ojek daring dan layanan daring lainnya bisa menjadi garda terdepan untuk memberikan rasa aman bagi masyarakat sekitar. ”Kekerasan verbal saja bisa membatasi ruang gerak kita, terutama perempuan, di ruang publik. Karena itu, pekerja transportasi publik punya andil besar memberikan rasa aman bagi sekitarnya,” kata Anindya.
Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Manado juga turut membimbing para mitra Go-Jek. Staf Penelitian dan Pengembangan LBH Manado Efraim Netanyahu mengatakan, saat ini ada tujuh kasus pelecehan seksual yang ditangani lembaganya. Tidak satu pun melibatkan pengemudi layanan transportasi daring.
Menurut Efraim, tidak perlu ada kekerasan seksual terlebih dahulu untuk memberikan pelatihan bagi mitra angkutan daring. ”Kalau itu terjadi, setidaknya mereka tahu akan meminta bantuan pada siapa, misalnya LBH Manado, tanpa rasa takut,” katanya.
Kepala Seksi Penanganan dan Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Sulut Mega Sondakh mengatakan, kekerasan seksual adalah fenomena gunung es. Banyak kasus yang telah terjadi, tetapi hanya sedikit orang yang mau melaporkan.
”Kalau pemerintah bekerja sendiri, tentu tidak akan bisa. Kami butuh bantuan dari masyarakat, terutama mitra-mitra ojek online,” katanya.
Memiliki kekuatan yang besar berarti dibebani pula dengan tanggung jawab yang besar. Sistem digital yang mumpuni tak lagi cukup untuk memberikan rasa aman. Mitra pengemudi angkutan dan layanan daring lainnya yang jumlahnya ribuan bisa menjadi pahlawan pencegah kekerasan seksual, begitu pula warga kota yang menjadi pengguna layanan daring.