Gawe Agung Upacara Adat Ngayu-Ayu yang diselenggarakan Lembaga Adat Gumi Sembahulun, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, dinilai penting. Tidak hanya sebagai momen mendekatkan masyarakat dengan alamnya, tetapi juga mempererat persatuan dan kesatuan antar masyarakat nusantara.
Oleh
ISMAIL ZAKARIA
·3 menit baca
SEMBALUN, KOMPAS - Gawe Agung Upacara Adat Ngayu-Ayu yang diselenggarakan Lembaga Adat Gumi Sembahulun, Desa Sembalun Bumbung, Kecamatan Sembalun, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, lebih dari sekadar merayakan kedekatan masyarakat dengan alamnya. Semuanya jadi wahana mempererat persatuan dan kesatuan antar masyarakat nusantara.
Rangkaian acara Gawe Agung Upacara Adat Ngayu-Ayu dimulai sejak 14 Juli 2019 dan puncaknya pada Kamis (18/7/2019). Ketua Panitia Penyelenggara Gatot DH Wibowo Kamis sore mengatakan, berbagai kegiatan dilakukan selama enam hari. Sebelum acara puncak, mereka mengadakan ritual gunung dilanjutkan dengan musyawarah pemangku gunung.
"Kami juga melaksanakan simposium nasional yang dihadiri berbagai pihak. Dalam simposium itu, disepakati berbagai hal, termasuk tentang pentingnya menjaga dan mengelola alam dengan sebaik-baiknya," kata Gatot.
Menurut Gatot, perilaku manusia berakibat pada reaksi alam. Dengan kata lain, ada hubungan simbiosis mutualisme atau tidak saling terpisahkan antara kedua hal itu. "Atas dasar itu, leluhur telah meletakkan sebuah ritual, bagaimana menyatukan manusia dengan alamnya," kata Gatot.
Menurut Gatot, hal itulah yang memang ingin dituju Upacara Adat Ngayu-Ayu. "Upacara ini tidak hanya memiliki nilai seremonial, tetapi juga spiritual. Tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam," kata Gatot.
Upacara ini tidak hanya memiliki nilai seremonial, tetapi juga spiritual. Tentang bagaimana hubungan manusia dengan Tuhan, sesama manusia, dan alam
Ketua Majelis Adat Paer Gumi Sembahulun (Sembalun) H Darmatip menambahkan, Ngayu-Ayu diselenggarakan setiap tiga tahun sekali. Menurut dia, melalui upacara adat itu, diharapkan terbangun kesadaran bersama pentingnya menjaga lingkungan. Darmatip menambahkan, tanda-tanda reaksi alam terhadap perilaku manusia sudah mulai terlihat di Sembalun yang berada di kaki gunung Rinjani.
"Dalam ritual adat ini, kami juga mengambil air dari 12 mata air di kawasan Rinjani. Ternyata, jelas terlihat bahwa dari tahun ke tahun airnya semakin berkurang," kata Darmatip.
Oleh karena itu, menurut Darmatip, semangat yang dibawa Ngayu-Ayu selanjutnya harus diwujudkan dalam aksi nyata. Majelis Adat Sembalun, menurut Darmatip, sudah memulainya dengan menyediakan 1.000 bibit pohon untuk ditanam di kawasan Rinjani.
Ritual adat
Pantauan Kompas, acara puncak Ngayu-Ayu dipusatkan di rumah adat Desa Sembalun Bumbung, sekitar 81 kilometer atau 2,5 jam perjalan darat dari Mataram. Ritual adat dimulai dengan penyambutan para raja-raja Nusantara dari berbagai daerah seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi.
Setelah kyai adat memotong kerbau dan menguburkan kepala kerbau yang dipercaya sebagai pantek (pasak) bumi, lantas digelar pertunjukan tari, hingga berbagai ritual adat termasuk mapakin (perang ketupat).
Dalam ritual itu juga dilakukan doa bagi air yang telah diambil dari 12 mata air untuk selanjutkan ditumpahkan di berbagai titik sebagai simbol penyatuan bumi, air, hutan, dan alam lingkungan.
Semua undangan, termasuk masyarakat Sembalun terlihat antusias mengikuti seluruh rangkaian ritual adat yang berakhir sekitar pukul 17.00 Wita.
Menurut Darmatip, selain mendekatkan masyarakat dengan alam lingkungan, Ngayu-Ayu juga untuk merekatkan hubungan antar sesama manusia. Tidak hanya antara sesama masyarakat sembalun, tetapi juga antar masyarakat se-Nusantara.
Seperti Ayu yang berarti indah, suasana ketika kita bersatu seperti ini yakni ada masyarakat, pemerintah, bahkan raja-raja adalah sebuah keindahan
"Momen ini untuk menghidupkan kebersamaan, menghangatkan kembali persaudaraan yang mungkin sudah usang. Seperti Ayu yang berarti indah, suasana ketika kita bersatu seperti ini yakni ada masyarakat, pemerintah, bahkan raja-raja adalah sebuah keindahan," kata Darmatip.
Darmatip berharap, hal itu tidak hanya terhenti setelah Ngayu-Ayu selesai. Tetapi terus dijaga oleh semua pihak. "Kepala para raja se-Nusantara atau perwakilan dari berbagai daerah, saya berharap agar semangat kebersamaan itu dibawa dan disebarkan juga," kata Darmatip.
Budayawan yang juga anggota trah Kerajaan Majapahit Aang Fajar yang turut hadir dalam acara itu mengatakan, Ngayu-Ayu menghadirkan raja, sultan, hingga ratu Nusantara. Oleh karena itu, ritual adat tersebut menjadi tempat untuk saling bersilaturahim dan merekatkan persatuan.
"Leluhur kita di seluruh penjuru nusantara sudah memiliki keterkaitan. Dengan kata lain, ini sebagai simbol bahwa nusantara kita sudah terajut. Memang ada perubahan seiring perkembangan zaman. Tetapi kita punya cara atau kearifan lokal untuk merawat persatuan itu salah satunya lewat Ngayu-Ayu," kata Aang.