Demokrasi telah berkembang lebih maju di kawasan Asia dan Australia meski masih tertinggal dari kawasan lain. Dalam laporannya bertajuk ”Democracy Index 2018: Me Too?”, lembaga riset The Economist Intelligence Unit menyebutkan, indeks demokrasi kawasan Asia dan Australia tahun 2018 sebesar 5,67 dalam skala penilaian 0 sampai 10. Angka ini masih di bawah indeks demokrasi di Amerika Latin, misalnya, yang berada pada angka 6,24.
Di antara sejumlah parameter yang dilihat, The Economist memandang aspek partisipasi politiklah yang paling menggembirakan di kawasan Asia dan Australia. Meski demikian, dunia politik tetap saja masih menjadi dunia yang maskulin, yang didominasi laki-laki. Keterwakilan perempuan di parlemen atau kabinet pemerintahan secara umum masih rendah.
Junko Isogai (45), aktivis antinuklir yang terjun ke dunia politik, mencalonkan diri sebagai wakil rakyat wilayah Niigata, Jepang bagian utara. Ibu dari seorang remaja perempuan itu menyebutkan, dirinya bagaikan seorang pelayan bar ketika berkampanye. ”Saya diminta untuk menuangkan sake, membuat percakapan yang penuh sanjungan, dan bertindak dengan cara yang pasti disukai laki-laki,” kata Isogai.
Kampanye tatap muka dan tuntutan menjalin ikatan personal menjadi salah satu hambatan bagi perempuan di Jepang ketika terjun ke dunia politik. Hambatan lain adalah minimnya sosok yang bisa dicontoh, norma sosial yang kurang memberikan penghargaan kepada perempuan yang vokal, tuntutan kerja yang berat di keluarga dan komunitas, serta anggapan masyarakat bahwa perempuan harus bertanggung jawab di rumah untuk mengurus anak dan orangtua.
Politisi, khususnya di Partai Demokrat Liberal (LDP), biasanya naik menuju panggung politik secara berjenjang dari bawah. Jalur perjalanan karier politik yang sama bisa sangat berat untuk dijalani perempuan yang masih dituntut membesarkan anak dan mengurus rumah.
”Setiap politisi harus membangun jaringan mereka sendiri. Banyak perempuan yang kariernya terhenti karena harus membesarkan anak dan berjuang menyeimbangkan antara karier dan kehidupannya tak memiliki cukup energi untuk bertahan,” tutur Profesor Mari Miura dari Sophia University, Jepang.
Banyak perempuan yang kariernya terhenti karena harus membesarkan anak dan berjuang menyeimbangkan antara karier dan kehidupannya tak memiliki cukup energi untuk bertahan.
Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe mengeluarkan kebijakan yang memungkinkan lebih banyak lagi perempuan berkiprah di dunia kerja. Namun, tetap saja dunia politik didominasi laki-laki.
Sejak Abe berkuasa pada Desember 2012, peringkat global Jepang dalam hal keterwakilan perempuan di parlemen merosot dari peringkat ke-122 ke peringkat ke-164 dari 193 negara. LDP sendiri memiliki perempuan politisi di parlemen yang lebih sedikit dibandingkan dengan partai oposisi.
Kasus Thailand
Jika Jepang di bawah pemerintahan Abe mencoba mendorong perempuan untuk lebih berperan dalam dunia kerja, justru Thailand sudah menunjukkan wajah seperti yang diinginkan Abe. Di negara Asia Tenggara itu, perempuan menduduki 37 persen posisi kepemimpinan, lebih besar dari persentase global yang sebesar 24 persen. Di Thailand, 40 persen jabatan setara direktur utama, direktur, atau manajer diduduki oleh perempuan, dan 34 persen posisi pimpinan keuangan perusahaan adalah perempuan.
Salah satu kunci kesuksesan perempuan di tampuk pimpinan sektor properti, transportasi, ritel, dan manufaktur adalah aspek budaya. Secara kultural, perempuan Thailand sudah dibiasakan untuk terlibat dalam setiap pekerjaan, terutama pada usaha ekonomi keluarga. Di luar itu, perempuan juga memiliki akses pada pendidikan.
”Di masa lalu, laki-laki akan pergi mengikuti wajib militer sehingga perempuanlah yang harus bertanggung jawab di rumah dan berjualan di pasar. Peran ini sudah mendarah daging pada perempuan,” kata Juree Vichit-Vadakan, mantan Presiden National Institute of Development Administration, sebuah lembaga kajian perempuan di Thailand, seperti dimuat koran The Strait Times, 26 Februari 2019.
Kesuksesan perempuan Thailand di bidang bisnis itu tidak berlaku di dunia politik. Pada pemerintahan junta militer (sebelum pemilu Maret 2019), hanya ada 13 perempuan di antara 240 anggota parlemen. Bahkan, tak ada satu pun perempuan masuk jajaran kabinet. Thailand pun menempati peringkat ke-182 dari 193 negara yang memiliki keterwakilan perempuan dalam politik.
Keterwakilan perempuan dalam politik dari sisi jumlah memang belum tentu bisa sepenuhnya menggambarkan kualitas yang mereka perankan. Namun, setidaknya, semakin banyak perempuan di parlemen, kian terbuka pula peluang bagi perempuan untuk mewarnai dinamika politik suatu bangsa. (REUTERS/*)
Editor:
samsulhadi
Bagikan
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
Tlp.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.