Indonesia diharapkan bisa membentuk ekosistem vokasi yang matang seperti halnya China dan India. Di China, koordinasi antara sektor pendidikan, pemerintah dan industri diperkuat dengan adanya Komite Nasional Pendidikan Vokasi. Di India bahkan dibentuk undang-undang khusus vokasi.
Oleh
FAJAR RAMADHAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Sudah waktunya bagi institusi pendidikan vokasi dan sektor industri untuk duduk bersama menyelaraskan kebutuhan dunia kerja ke depan. Indonesia juga diharapkan bisa membentuk ekosistem vokasi yang matang seperti halnya China dan India.
Ketua Komite Pelatihan Vokasi Nasional (KPVN) Anton J Supit dalam seminar yang mengangkat tema ”Revitalisasi Pendidikan Tinggi Vokasi Indonesia”, di Universitas Prasetya Mulya, Jakarta, Rabu (17/7/2019), berharap tidak ada lagi jarak antara industri dan institusi pendidikan vokasi.
Keduanya harus bersama-sama membahas tentang kurikulum pendidikan dan praktik kerja. Tujuannya agar tenaga kerja yang dihasilkan tepat dengan kebutuhan industri. ”Industri harus datang ke sekolah dan menjelaskan tentang kebutuhan mereka,” ujarnya.
Anton menegaskan, saat ini perlu ada persepsi yang sama terhadap istilah vokasi. Vokasi sejatinya berkaitan dengan sebuah sistem pendidikan ganda yang terdiri atas 70 persen pelajaran praktik dan 30 persen teori. Menurut dia, jika ada politeknik atau akademi yang tidak menganut sistem itu, sejatinya belum tepat disebut vokasi.
Selain itu, Anton mengatakan, pola pikir tentang pendidikan vokasi perlu diubah. Pendidikan vokasi sudah banyak terbukti menghasilkan lulusan yang mumpuni. Salah satu contoh nyata adalah Vice President Chief Corporate Human Capital Development PT Astra International Tbk FX Sri Martono yang merupakan lulusan Akademi Teknik Mesin Industri (ATMI) Surakarta angkatan pertama.
”Jadi, bukan suatu pekerjaan yang main-main, melalui ATMI Surakarta, beliau bisa mencapai posisi puncak,” katanya.
Sementara menurut Duta Besar Indonesia untuk Swiss dan Liechtenstein Muliaman Darmansyah Hadad, pembicara lainnya dalam seminar, Indonesia perlu membentuk ekosistem vokasi yang mapan. Ia mencontohkan reformasi vokasi di China dan India.
China membutuhkan waktu 5-10 tahun untuk menentukan arah vokasinya. Mereka juga menggelontorkan 100 miliar yuan atau sekitar Rp 203 triliun untuk meningkatkan kemampuan pekerjanya.
Koordinasi antara sektor pendidikan, pemerintah, dan industri di China juga diperkuat dengan adanya Komite Nasional Pendidikan Vokasi.
”Hal yang sama juga dilakukan India. Mereka bahkan membentuk undang-undang khusus untuk vokasi,” ujar Muliaman.
Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristek dan Dikti) Ismunandar mengatakan, saat ini pemerintah memang fokus pada pembentukan ekosistem vokasi.
Ke depan, diharapkan tidak ada lagi lulusan vokasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan industri.
”Saya kira penting adanya komite nasional vokasi seperti di negara lain. Dengan begitu, kita semua bisa duduk untuk mendesain ekosistem tersebut,” katanya.
Kerja sama vokasi
Hingga kini, setidaknya ada tiga institusi pendidikan vokasi di Indonesia yang bekerja sama dengan institusi pendidikan Swiss. Pertama, kerja sama pendidikan bidang vokasi persawitan antara Institut Teknologi Sains Bandung (ITSB) dengan Swiss International Technical Connection (Siteco).
Kedua, kerja sama pendidikan vokasi bidang produksi batubara antara Politeknik Simas Berau dengan Siteco.
Terakhir, Universitas Prasetya Mulya yang bekerja sama dengan International Management Institute (IMI) dalam bidang produksi jamu.
Managing Director Sinarmas Gandi Sulistyanto mengatakan, kerja sama dengan Swiss berkaitan dengan batubara dan sawit adalah untuk pengembangan teknologi. Para dosen terbaik dari Swiss didatangkan untuk memberikan pelatihan kepada mahasiswa.
Dengan begitu, mahasiswa kelak tidak sekadar memperoleh ijazah kelulusan, tetapi juga sertifikat keahlian.