Persaingan Bermodal Pendidikan Vokasi
Upaya pemerintah memperkuat daya saing tenaga kerja lewat pendidikan vokasional atau keahlian terapan masih menghadapi sejumlah tantangan. Tantangan terbesar berkaitan dengan rendahnya pengetahuan dan minat masyarakat tentang pendidikan vokasi.

Siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) NU Maarif Kudus mengelas dengan mesin di gedung pengelasan sekolah tersebut di Kabupaten Kudus, Jawa Tengah, 22 Januari 2018.
Pendidikan vokasi semakin dibutuhkan saat ini. Tuntutan persaingan kerja semakin ketat, antara lain, karena peningkatan penduduk usia produktif dan masuknya pekerja asing. Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah tenaga kerja asing (TKA) sampai akhir 2018 mencapai 95.335 orang. Angka ini meningkat 10,88 persen dibandingkan sepanjang 2017, yang mencapai 85.974 orang.
Sementara, pada rentang tahun 2020-2030 Indonesia akan mengalami ”bonus demografi” berupa lonjakan penduduk usia produktif. Jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 268 juta jiwa (tahun 2020) dan 293 juta jiwa pada tahun 2030, dengan komposisi penduduk usia produktif mencapai 70 persen dan penduduk tidak produktif 30 persen.
Terkait dengan hal itu, pemerintah terus menggenjot perbaikan daya saing sumber daya manusia (SDM) Indonesia. Dalam hal daya saing ini, peringkat SDM Indonesia pada periode 2017-2018 berada di urutan ke-36 dari 137 negara, meningkat dibandingkan tahun sebelumnya yang berada di peringkat ke-41.
Guna mengembangkan sektor industri sebagai salah satu unsur dalam meningkatkan daya saing dan pertumbuhan ekonomi, perlu dikembangkan pula kompetensi SDM industri dan standar tenaga kerja. Daya saing RI membutuhkan fondasi yang kokoh pada sisi sumber daya manusianya.
Pendidikan vokasi dan pelatihan kejuruan menjadi target utama pembenahan pemerintah dalam rangka memperkuat SDM. Pemerintah pun telah menjadikan pendidikan vokasi sebagai prioritas dalam upaya pengembangan sumber daya manusia. Hal ini tertuang dalam Rencana Jangka Menengah Nasional 2020-2024. Dalam pidato pertamanya sebagai presiden terpilih pada Pilpres 2019 di Sentul International Convention Center (SICC) Bogor, Joko Widodo juga menyampaikan pentingnya vocational training dan vocational school.
Jadi tulang punggung
Pendidikan vokasi merupakan salah satu tulang punggung dalam mencetak SDM terampil dan berkualitas, yang sangat dibutuhkan dunia industri saat ini. Namun, penerapan vokasi di Indonesia dianggap belum maksimal dan masih menghadapi berbagai tantangan yang harus diselesaikan. Salah satunya adalah pola pikir masyarakat yang belum menempatkan pendidikan vokasi sebagai prioritas utama dalam melanjutkan pendidikan. Tak sedikit warga yang masih memandang sebelah mata terhadap pentingnya pendidikan vokasi.
Rendahnya minat masyarakat terhadap pendidikan vokasi terangkum dalam hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan 2017. Hampir 60 persen responden yang tersebar di 12 kota besar di Indonesia menyatakan tidak berminat meneruskan ke pendidikan diploma, baik untuk dirinya sendiri maupun dalam posisi sebagai orangtua yang menentukan pendidikan untuk anak.
Hampir separuh responden yang tidak berminat tersebut berpendapat, pendidikan diploma adalah pendidikan yang ”tanggung” karena harus melanjutkan lagi jika ingin mendapatkan gelar sarjana. Selain itu, lulusan pendidikan diploma juga dianggap kurang bergengsi atau identik dengan gaji yang lebih rendah ketimbang lulusan S-1.
Memahami pendidikan vokasi
Pemahaman tentang pendidikan vokasi yang belum terserap baik di masyarakat menjadi salah satu penyebab rendahnya minat melanjutkan studi vokasi. Undang-undang No 12/2012 tentang Pendidikan Tinggi tidak lagi membatasi pendidikan vokasi hanya pada program diploma satu hingga tiga. Pasal 6 UU tersebut menjelaskan, pendidikan vokasi merupakan pendidikan tinggi program diploma yang menyiapkan mahasiswa untuk pekerjaan dengan keahlian terapan tertentu. Pendidikan vokasi ini dapat diselenggarakan pendidikan tinggi sampai program magister atau bahkan program doktor terapan.
Selain itu, lulusan SMA/ MA/SMK dapat mengikuti tes pendidikan vokasi di jenjang sarjana tanpa harus menempuh jenjang pendidikan diploma tiga. Universitas Airlangga dan Universitas Gadjah Mada adalah beberapa contoh perguruan tinggi negeri yang membuka program pendidikan sarjana vokasi, yakni setingkat diploma empat yang akan menyandang gelar sarjana sains terapan (SST).
Undang-undang No 12/2012 dan Peraturan Presiden No 8/2012 tentang Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia juga menjabarkan bahwa alumnus pendidikan vokasi sarjana juga dapat langsung meneruskan ke program S-2 terapan di Indonesia atau luar negeri.

Dengan kata lain, pendidikan vokasi sebenarnya tidak lagi menjadi pendidikan yang ”tanggung” atau tidak bergengsi. Informasi yang kurang lengkap diterima masyarakat juga tecermin dari publikasi Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi tahun 2016. Publikasi tersebut menunjukkan, pendidikan vokasi baru menyerap sekitar 5,6 persen dari total mahasiswa nasional. Hasil jajak pendapat juga menunjukkan, empat dari lima orangtua lebih menginginkan anaknya melanjutkan pendidikan ke jenjang S-1 (nonvokasi) daripada jenjang diploma.
Pada tahun 2018 jumlah lembaga pendidikan vokasi baru mencapai 6 persen atau sekitar 271 politeknik di dalam negeri. Sementara di China porsi mahasiswa vokasinya sudah 59 persen, India (36 persen), Swiss (67 persen), Jerman (48 persen), Austria (76 persen), Belgia (55 persen), dan Belanda (68 persen).
Lebih mampu bersaing
Namun, ada sepertiga responden yang meminati pendidikan diploma. Lebih dari separuh responden yang berminat itu berpendapat, mereka memilih pendidikan diploma karena lebih siap langsung bekerja. Mayoritas responden (74 persen) juga mengakui bahwa lulusan pendidikan diploma lebih mampu bersaing dalam dunia kerja.
Pendapat mayoritas responden itu sejalan dengan kenyataan bahwa lulusan pendidikan tinggi juga tidak menjamin kemampuan bersaing di dunia kerja. Data Badan Pusat Statistik Februari 2019 menunjukkan, 13,1 persen pengangguran di Indonesia adalah pengangguran terdidik, termasuk yang bergelar sarjana.
Meski angkanya cenderung fluktuatif, hal ini menandakan ada penawaran tenaga kerja pada tingkat pendidikan tinggi yang belum sepenuhnya terserap oleh dunia kerja. Salah satu penyebabnya diduga adalah tidak sesuainya kompetensi para lulusan dengan kebutuhan dunia usaha, juga dunia industri.
Pemerintah memperkirakan, hingga tahun ini Indonesia akan membutuhkan sarjana berkeahlian khusus di bidang teknik, sains, mesin dan matematika, ketimbang lulusan sarjana umum. Ekspektasi pemerintah juga sejalan dengan bidang- bidang yang banyak diminati responden dalam memilih pendidikan vokasi. Hampir 40 persen responden yang berminat menempuh pendidikan diploma berminat pada program studi komputer, bisnis dan teknik.
Dorongan pemerintah
Pemerintah terus mendorong penerapan UU No 12/ 2012 secara konkret. Pemerintah membuka lembaga pendidikan vokasional melalui Akademi Komunitas, yakni perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan vokasi berbasis keunggulan lokal atau untuk memenuhi kebutuhan khusus.
Selain itu, Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 9 Tahun 2016 tentang Revitalisasi Pendidikan Vokasi juga dikeluarkan guna meningkatkan kuantitas dan kualitas pendidikan tinggi. Inpres tersebut menegaskan izin baru pendirian perguruan tinggi hanya diberikan untuk politeknik.
Semangat dari Inpres tersebut bukan lagi dari apa yang disediakan institusi pendidikan (supply), melainkan lebih pada apa yang dibutuhkan dunia usaha dan industri (demand). Permintaan dari dunia usaha makin lama makin besar, dan itu harus diantisipasi. Lulusan politeknik diwajibkan mempunyai sertifikat kompetensi untuk memenuhi standar sebagai tenaga kerja industri, sejalan dengan target pemerintah menciptakan 113 juta tenaga terampil pada 2030.
Bentuk dorongan lain adalah penandatanganan nota kesepahaman oleh lima kementerian untuk mengembangkan pendidikan vokasi berbasis kompetensi sesuai kebutuhan industri. Kelima kementerian menteri tersebut adalah Kementerian Perindustrian; Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan; Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi; Kementerian Ketenagakerjaan; dan Kementerian Badan Usaha Milik Negara. Nota kesepahaman itu mendorong industri berperan lebih besar dalam pendidikan vokasi, misalnya melalui teaching factory (praktik langsung di perusahaan).
Bagaimanapun, dorongan pemerintah dalam pengembangan pendidikan vokasi tak akan berjalan optimal tanpa kesamaan persepsi di masyarakat. Banyak lulusan SMA dan orangtua yang melihat pendidikan vokasi dengan cara berpikir yang lama. Mereka masih berpandangan, vokasi identik dengan karier dan gaji yang rendah. Upaya memasyarakatkan pendidikan vokasi harus dilakukan guna memperbarui juga pola pikir yang usang.(MB DEWI PANCAWATI/LITBANG KOMPAS)