logo Kompas.id
UtamaPekik Bhinneka Tunggal Ika...
Iklan

Pekik Bhinneka Tunggal Ika dari Desa Tenganan

Suara lantang nan merdu membelah siang di Dusun Pegringsingan, Tenganan, Manggis, Karangasem, Bali, Rabu (3/7/2019). Maestro penulis daun lontar I Wayan Muditadnana (88) membacakan penggalan Kakawin Sutasoma yang ia tulis 18 tahun silam.

Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
· 3 menit baca
https://cdn-assetd.kompas.id/KxfWRTJGru6oduz6pCMoneSK4j0=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190704abk-i-wayan-muditadnana_1563206639.jpg
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Maestro penulis daun lontar I Wayan Muditadnana (88) membacakan penggalan kitab Purusada Santa atau kitab Sutasoma di rumahnya, Dusun Pegringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (3/7/2019). Wayan menulis ulang kitab yang memuat ajaran Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika ini 18 tahun silam dalam proses penulisan selama dua tahun

Suara lantang nan merdu membelah siang di Dusun Pegringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Bali, Rabu (3/7/2019). Maestro penulis daun lontar I Wayan Muditadnana (88) membacakan penggalan Kakawin Sutasoma yang ia tulis 18 tahun silam…, ”Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa”.

Muditadnana menulis ulang Sutasoma di atas 122 lembar daun lontar dengan jumlah total halaman bolak-balik mencapai 244 halaman. Butuh waktu dua tahun untuk menulis ulang karya besar Mpu Tantular itu.

Tulisan legendaris itu ia salin dari naskah lontar pinjaman sesepuh di Tenganan. Ia menyalinnya ke dalam bahasa Bali kuno dengan beberapa perbaikan tata bahasa.

Kakawin ini mengisahkan hadirnya Purusada Santa, raksasa berbadan Rudra yang ingin menghancurkan alam. Atas nasihat dari Dewa Indra, datanglah Sutasoma yang mampu mengimbangi Purusada Santa.

”Ajaran tentang Bhinneka Tunggal Ika ada di halaman 115. Kalau tentang Pancasila ada di halaman 4. Merinding bulu kuduk saya kalau membacanya,” kata Muditadnana di rumahnya.

Ajaran tentang Bhinneka Tunggal Ika ada di halaman 115. Kalau tentang Pancasila ada di halaman 4. Merinding bulu kuduk saya kalau membacanya.

Meski badannya mulai renta dan berkali-kali harus menjalani operasi hernia, Muditadnana selalu bersemangat jika ditanya tentang Sutasoma. Auranya sebagai seorang dalang langsung keluar saat mendaraskan Kakawin Sutasoma dalam bahasa Bali halus. Selain aktif menulis lontar, Muditadnana ternyata juga gemar mendalang dan memainkan gamelan.

Iklan
https://cdn-assetd.kompas.id/5_hu94KieUc9JXu50Z_FTnbr9Bk=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190703abk2_1563206805.jpg
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Plakat di depan rumah I Wayan Muditadnana di Dusun Pegringsingan, Desa Tenganan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem, Rabu (3/7/2019).

Tak tertarik jual

Belum lama ini, tulisan lontar tentang Kakawin Sutasoma miliknya ditawar kolektor dengan harga fantastis, Rp 400 juta. Namun, Muditadnana bergeming.

”Saya disuruh beli mobil sama pembelinya. Perlu apa saya dengan mobil, tempat parkir saja tidak punya. Saya makan sudah cukup, tidur sudah nyenyak. Kok, saya disuruh beli mobil, gila ini orang,” ujarnya sembari terkekeh.

Karya-karya tulisan lontar Muditadnana memang banyak dicari kolektor. Beberapa bulan lalu, ia terpaksa melepas salah satu tulisannya karena terimpit biaya. Ia melepas satu set tulisan lontar seharga Rp 35 juta untuk pembiayaan operasi hernia yang dideritanya.

Namun, khusus untuk Kakawin Sutasoma, Muditadnana sama sekali tak tertarik untuk menjualnya. Koleksi yang disimpan di kayu panjang bertatahkan ukiran warna keemasan itu teramat berarti baginya. ”Saya selalu beri tahu kepada orang-orang, kalau mau belajar membaca lontar datanglah ke Tenganan. Jangan suruh saya pergi ke mana-mana, saya sudah tua,” katanya.

https://cdn-assetd.kompas.id/w0W82kw_7BtxvqZQVERfNNwtws8=/1024x768/filters:watermark(https://cdn-content.kompas.id/umum/kompas_main_logo.png,-16p,-13p,0)/https%3A%2F%2Fkompas.id%2Fwp-content%2Fuploads%2F2019%2F07%2F20190703abk3_1563206937.jpg
KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Foto Wayan Muditadnana dengan salah satu pejabat Eropa di rumahnya.

Tradisi membaca lontar masih terus berlanjut di Bali, terutama ketika digelar upacara-upacara adat. ”Kitab-kita kuno selalu dibacakan dan diartikan oleh para pembaca lontar, termasuk Kakawin Sutasoma yang berisi tentang Bhinneka Tunggal Ika dan Pancasila,” ucap Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria.

Muditadnana hidup di sebuah kampung Bali Aga Tenganan di pelosok Karangasem, kampung yang memiliki keyakinan bahwa mereka adalah penduduk asli Bali, bukan keturunan Majapahit yang datang dari Jawa.

Warga Bali Aga memiliki keunikan, yaitu tak mengenal kasta. Mereka juga hidup dalam kompleks permukiman yang relatif sama rata dari sisi ukuran rumah ataupun banjar. Namun, yang menakjubkan adalah, dari kampung pelosok ini justru pekik Bhinneka Tunggal Ika masih dikumandangkan. ”Bhinneka Tunggal Ika tan hana dharma mangrwa!”

Editor:
evyrachmawati
Bagikan
Logo Kompas
Logo iosLogo android
Kantor Redaksi
Menara Kompas Lantai 5, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 5347 710
+6221 5347 720
+6221 5347 730
+6221 530 2200
Kantor Iklan
Menara Kompas Lantai 2, Jalan Palmerah Selatan 21, Jakarta Pusat, DKI Jakarta, Indonesia, 10270.
+6221 8062 6699
Layanan Pelanggan
Kompas Kring
+6221 2567 6000