Potensi pengembangan ekonomi syariah secara global memerlukan kerja sama banyak pihak. Indonesia dapat menjadi pemain penting dalam rantai pasok ekonomi syariah di berbagai sektor.
Oleh
Norbertus Arya Dwiangga Martiar dari Dubai
·3 menit baca
DUBAI, KOMPAS — Potensi pengembangan ekonomi syariah secara global memerlukan kerja sama banyak pihak. Indonesia dapat menjadi pemain penting dalam rantai pasok ekonomi syariah di berbagai sektor.
Deputy CEO Strategy and Planning of Dubai The Capital of Islamic Economy dari Dubai Islamic Economy Development Centre, Saeed Mubarak Kharbash, menuturkan, ekonomi syariah tidak hanya menyangkut makanan halal ataupun mode. Bisa juga hal itu menjangkau sektor yang lebih luas. Dari sisi bisnis meliputi tiga sektor, yakni industri keuangan syariah, industri halal, dan ekonomi kreatif.
Meskipun demikian, sampai saat ini, sembilan negara pengekspor industri halal tertinggi justru bukan negara berpenduduk mayoritas Muslim, antara lain Brasil, Jepang, dan Korea Selatan. Mereka memasok sekitar 80 persen produk halal dunia.
”Potensi ekonomi syariah sangat besar di banyak sektor. Namun, yang diperlukan tidak hanya meningkatkan konsumsi, tetapi juga dampaknya terhadap kehidupan yang lebih luas,” kata Kharbash dalam wawancara dengan Kompas, Selasa (16/7/2019), di Dubai, Uni Emirat Arab.
Menurut Kharbash, upaya mengembangkan ekonomi syariah tidak hanya dilakukan satu negara, tetapi mesti juga berkolaborasi. Kerja sama atau kolaborasi itu, misalnya, terkait dengan standar dan inovasi. Kendati ekonomi syariah terus tumbuh di banyak negara, setiap negara memiliki standar ataupun syarat tersendiri.
Tantangan
Di Dubai, kontribusi ekonomi syariah terhadap produk domestik bruto (PDB) saat ini sekitar 10 persen, naik daripada tahun sebelumnya yang sebesar 8 persen. Kenaikan itu bukan karena pertumbuhan konsumsi, melainkan bersumber dari perluasan sektor yang dapat dipenuhi ekonomi syariah.
Salah satu tantangan dalam mengembangkan industri halal adalah rantai pasok global. Konsumen industri halal menuntut agar produk yang dikonsumsi jelas asal muasalnya, mulai dari sumber bahan baku, lokasi produksi, hingga distribusi. Oleh karena itu, otoritas dan pelaku industri halal harus memberikan akses kepada konsumen perihal informasi itu.
Saat ini, lanjut Kharbash, pihaknya telah bekerja sama dengan banyak negara dengan jumlah penduduk Muslim banyak, seperti Indonesia, untuk membahas dan mencari solusi agar industri halal semakin berkembang. Ia mencontohkan, perlu disusun perjanjian mengenai standardisasi makanan dan minuman halal sehingga produk yang dinyatakan halal di satu negara otomatis mendapat label halal di negara lain.
Managing Director Growth Strategy Research and Advisory Dinar Standard Rafi-uddin Shikoh menambahkan, saat ini Dubai menjadi pemimpin pasar, bukan hanya dalam pariwisata halal, melainkan juga keuangan syariah. Dubai menjadi pengekspor kembali berbagai produk industri halal di dunia.
Bertalian dengan produk jasa seperti pariwisata dan mode, generasi muda atau generasi milenial dan generasi Z semakin menuntut layanan jasa dan produk berkelanjutan. Terkait dengan hal itu, Indonesia merupakan salah satu pemain penting dalam industri busana muslim.
Secara terpisah, Assistant Vice President Dubai Business Events and City Operations Steen Jakobsen mengemukakan, salah satu strategi penting yang dilakukan otoritas Dubai untuk mengembangkan pariwisata adalah memperluas pasar dan segmentasinya. Otoritas Dubai tidak hanya menyediakan fasilitas untuk segmen atas, tetapi juga konsumen yang mencari pariwisata dengan harga terjangkau, seperti bagi keluarga ataupun perjalanan bisnis.
”Target pasar kami sebanyak mungkin orang dari banyak negara dan bukan hanya segmen tertentu. Kalau menggantungkan hanya pada satu segmen, hal itu menjadi rentan,” kata Jakobsen.
Langkah ini beralasan karena 9,6 persen produk domestik bruto Dubai disumbang sektor pariwisata. Pada 2018, sekitar 15,9 juta orang dari berbagai penjuru negara melakukan perjalanan ke Dubai. Dari jumlah itu, perjalanan dari India di posisi tertinggi (13 persen), disusul Arab Saudi (10 persen), Inggris (8 persen), dan China (5 persen).
Menurut Jakobsen, Asia Tenggara merupakan pasar potensial. Sebab, sudah ada penerbangan langsung dari negara-negara di Asia Tenggara menuju Dubai, seperti dari Jakarta. Saat ini, China dan Rusia merupakan dua negara asal wisatawan yang jumlah kunjungannya ke Dubai tumbuh pesat. Otoritas Dubai menargetkan kunjungan 25 juta wisatawan pada 2025.