Defisit APBN Melebar, Opsi Tambahan Utang dari Pinjaman
Oleh
Karina Isna Irawan
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kementerian Keuangan tidak menutup kemungkinan menambah penerbitan surat berharga negara atau pinjaman luar negeri pada tahun ini. Fleksibilitas strategi dipertahankan untuk membiayai defisit anggaran yang melebar.
“Kami punya fleksibilitas menggunakan pinjaman atau menambah penerbitan surat berharga (SBN) negara untuk menutupi kebutuhan pembiayaan,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman yang dihubungi Kompas dari Jakarta, Rabu (17/7/2019).
Mengutip data Kementerian Keuangan, defisit APBN 2019 akan melebar dari target menjadi Rp 310,8 triliun atau 1,93 persen produk domestik bruto (PDB). Target defisit anggaran yang ditetapkan dalam UU APBN 2019 sebesar Rp 296 triliun atau 1,84 persen PDB.
Defisit APBN 2019 akan melebar dari target menjadi Rp 310,8 triliun atau 1,93 persen produk domestik bruto (PDB)
Pelebaran defisit anggaran berimbas terhadap realisasi pembiayaan APBN 2019 menjadi Rp 310,8 triliun atau 105 persen dari pagu, yang sebesar Rp 296 triliun. Realisasi pembiayaan tahun 2019 tumbuh 15,4 persen dibandingkan tahun 2018.
Luky mengatakan, defisit APBN mayoritas dibiayai dari penerbitan SBN dan pinjaman. Oleh karena itu, pembiayaan anggaran tergantung perkembangan pasar keuangan global dan domestik. Saat ini pemerintah sedang mencermati pengaruh sentimen positif Bank Sentral AS, The Fed.
“Sentimen dovish The Fed mengakibatkan arus modal masuk ke pasar keuangan negara-negara berkembang. Arus modal masuk itu berimbas terhadap penurunan imbal hasil yang cukup signifikan,” kata Luky.
Penurunan imbal hasil akan memengaruhi penerbitan SBN. Kendati demikian, pada 2019, penerbitan SBN diproyeksikan lebih rendah dari target APBN sebesar Rp 388,9 triliun menjadi Rp 381,8 triliun. Porsi pinjaman akan meningkat seiring penerbitan SBN yang lebih rendah.
Direktur Riset Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah Redjalam mengatakan, jadwal penerbitan SBN dalam setahun sudah ditetapkan dan dipublikasikan pemerintah. Prosesnya agak rumit apabila defisit APBN dibiayai dari penerbitan SBN.
“Tambahan pinjaman multilateral maupun bilateral lebih mudah. Selain itu, pinjaman diperlukan untuk menjaga hubungan baik dengan negara atau lembaga mitra,” kata Piter.
Realisasi penerbitan SBN per Juni 2019 sebesar Rp 195,7 triliun atau 50,3 persen dari pagu APBN. Adapun realisasi pinjaman Rp 15,3 triliun atau 51,4 persen dari pagu, yang terdiri dari pinjaman dalam negeri Rp 388 miliar dan pinjaman luar negeri 14,9 triliun.
Defisit aman
Berdasarkan data Kementerian Keuangan, defisit APBN 2019 akan melebar dari target menjadi Rp 310,8 triliun atau 1,93 persen PDB. Pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 2.030,8 triliun, sementara belanja negara Rp 2.341,6 triliun.
Menurut Piter, proyeksi defisit APBN yang melebar masih kategori aman. Pertumbuhan penerimaan pajak sudah terprediksi melemah karena kinerja ekspor-impor turun dan harga komoditas rendah. Di sisi lain, pemerintah memutuskan tidak akan mengurangi belanja, termasuk subsidi.
“Pelebaran defisit ini tidak berbahaya. Justru pemerintah harus memanfaatkan sebagai stimulus pertumbuhan,” kata Piter.
Selama ini, kata Piter, pemerintah menetapkan defisit APBN di bawah 3 persen cukup konservatif. Beban utang juga moderat sehingga tidak menimbulkan kekhawatiran. Pemerintah tetap mesti lebih jeli melihat perkembangan situasi global untuk menyiapkan strategi.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, instrumen APBN akan digunakan untuk kontra siklus akibat perlambatan pertumbuhan ekonomi. Realisasi belanja pemerintah pusat serta transfer ke daerah dan dana desa diupayakan tetap tinggi untuk mendorong konsumsi dan investasi.
“Defisit sedikit lebih tinggi dari UU APBN. Namun, deviasinya tidak terlalu tinggi sehingga tidak ada masalah,” kata Sri Mulyani.