Para korban kerja paksa Jepang di Korea Selatan menempuh langkah baru. Hal itu akan makin memperburuk hubungan Jepang-Korsel.
SEOUL, SELASA— Di tengah ketegangan paling serius dalam beberapa dekade terakhir antara Jepang dan Korea Selatan, warga Korsel korban kerja paksa perusahaan-perusahaan Jepang di Korsel mengupayakan langkah baru yang bisa semakin memanaskan ketegangan. Mereka akan mengajukan permohonan ke pengadilan agar pengadilan mengizinkan Pemerintah Korsel menjual aset-aset perusahaan Jepang di Korsel dan hasil penjualan itu digunakan membayar kompensasi bagi para korban kerja paksa.
Mitsubishi Heavy Industries menjadi target permohonan likuidasi paksa itu. Salah satu pendamping para korban, Kim Yeong-hwan, menyebut Mitsubishi tidak melakukan apa pun dalam enam bulan terakhir terkait isu tersebut. Karena itu, para korban mengajukan permohonan ke pengadilan.
”Untuk para korban yang berusia di atas 90 tahun, proses hukum tidak bisa ditunda lagi,” ujarnya dalam pernyataan tertulis yang disiarkan pada Selasa (16/7/2019) di Seoul, Korsel.
Jika permohonan dikabulkan, aset-aset Mitsubishi akan dilelang. Sejak proses lelang sampai dana tersedia untuk membayar kompensasi, diperkirakan membutuhkan waktu hingga enam bulan.
Permohonan itu merupakan tindak lanjut dari keputusan Mahkamah Agung Korsel pada November 2018. MA menetapkan, Mitsubishi harus membayar antara 80 juta won dan 150 juta won kepada masing-masing penggugat yang berjumlah 10 orang. Para penggugat terbukti menjadi korban kerja paksa pada era pendudukan Jepang di Korsel, 1910-1945.
Pada Oktober 2018, MA Korsel juga menghukum Nippon Steel dan Sumitomo Metal Corps karena alasan sama. Mereka harus membayar 100 juta won untuk masing-masing dari empat penggugat.
Siap membalas
Jepang menanggapi rencana permohonan itu dengan menyebut kemungkinan membalasnya. ”Jika perusahaan Jepang terancam, kami terpaksa melakukan langkah yang dibutuhkan. Untuk mencegah itu, kami mendesak Pemerintah Korsel bertindak sepantasnya,” kata Menteri Luar Negeri Jepang Taro Kono.
Menteri Perdagangan Jepang Hiroshige Seko berharap masalah itu bisa diselesaikan melalui saluran diplomatik. ”Perusahaan Jepang sebaiknya jangan sampai terancam. Pada dasarnya, kami berharap masalah ini ditangani Kementerian Luar Negeri,” ujarnya.
Tokyo meminta masalah kerja paksa diselesaikan lewat arbitrase pihak ketiga, seperti diatur dalam perjanjian tahun 1965. Seoul punya waktu hingga Kamis besok untuk menanggapi permintaan itu. Sampai sekarang, tak ada tanda-tanda Seoul menyetujui permintaan itu.
Hubungan Jepang-Korsel, dua mitra terbesar AS di Asia, memburuk awal bulan ini saat Jepang mengeluarkan kebijakan pembatasan ekspor bahan material teknologi tinggi ke Korsel. Seoul berencana mengadukan Tokyo terkait kebijakan itu ke Organisasi Perdagangan Dunia. Korsel menuding pembatasan itu dipicu keputusan MA soal pembayaran kompensasi bagi korban kerja paksa.
Seko menolak tudingan itu dan menyebut alasan pembatasan adalah keamanan. Media Jepang melaporkan, bahan material yang dibatasi ekspornya tersebut diduga diekspor ulang Korsel ke Korut. Material-material itu dikhawatirkan bisa digunakan dalam proses pembuatan senjata, selain hal itu juga melanggar ketentuan sanksi PBB. Presiden Korsel Moon Jae-in menyebut laporan tersebut ”tantangan serius”.