Seorang pesepak bola profesional biasanya dihadapkan pada dua pilihan dilematis pada titik tertentu. Bermain di liga elite untuk meningkatkan kemampuan meski namanya bisa saja malah tenggelam, atau bermain di liga yang kurang prestisius tetapi bisa mendapatkan jam bermain lebih banyak dan uang lebih berlimpah. Jika opsi kedua yang dipilih, China menjadi tujuan yang tepat.
Stephan El Shaarawy termasuk yang memilih opsi kedua itu. Awal pekan ini, ia berani meninggalkan klub sebesar AS Roma dan bermain untuk klub yang nyaris masuk ke zona degradasi di Liga China, Shanghai Shenhua, selama tiga tahun. Sebelum menghadapi Hebei CFFC pada Jumat ini, Shenhua masih berada di peringkat ke-14 dengan raihan 12 poin.
“Memilih Shenhua membuat saya berani mengubah hidup dan saya bersungguh-sungguh menghadapi tantangan ini. Saya berharap bisa mendapatkan kebahagiaan,” ujar pemain yang juga pernah bermain untuk AC Milan ini seperti dikutip Football-Italia, Kamis (11/7/2019).
Pengakuannya itu bisa saja diartikan bahwa ia belum merasa bahagia. Padahal, ia selama ini bermain untuk klub yang berhasil menembus semifinal Liga Champions musim 2017-2018. Ia telah menghabiskan tiga setengah musim bersama klub berjuluk “Serigala Roma” itu dan mencetak 26 gol serta memberikan 26 assist dalam 139 laga.
Namun, Sang Serigala Roma memang seperti kehilangan taringnya pada musim lalu dan hanya finis di peringkat keenam Liga Italia. Mereka beruntung masih bisa tampil di Liga Europa musim 2019-2020 setelah mengambil jatah AC Milan yang sedang menjalani sanksi dari UEFA karena pelanggaran aturan anggaran.
Mencapai papan atas, apalagi sampai menjuarai Serie A memang masih menjadi misteri bagi Roma sejak musim 2000-2001. Manajemen Roma pun malah gemar menjual para pemain bintangnya sementara klub-klub Serie A lainnya, terutama Juventus, seperti memiliki modal tak terbatas dan bisa membeli pemain yang mereka inginkan.
Situasi semacam itu bisa membuat seorang pemain berusaha mencari kehidupan baru yang lebih baik. Tawaran itu pun datang dari Shenhua yang sanggup membayar El Shaarawy sebesar 15 juta euro (setelah potong pajak) atau Rp 238 miliar per musim. Kesempatan yang sulit ditolak mengingat ia hanya mendapat 2,5 juta euro atau Rp 40 miliar per musim di Roma.
Akhir Juni lalu, El Shaarawy meminta kenaikan gaji menjadi 3 juta euro atau Rp 47,6 miliar per musim plus bonus. Namun, Roma keberatan dan lebih baik menjualnya. Dengan memilih tawaran Shenhua, El Shaarawy jelas bisa mendapat kebahagiaan dari sisi materi. “Saya sudah berbicara dengan beberapa pemain yang bermain di China dan mereka merasa senang. Saya berharap bisa seperti mereka,” ujarnya.
Tawaran menggiurkan dari China ke sejumlah pemain di Eropa memang terus mengalir. Pekan ini, Marko Arnautovic juga pindah dari West Ham United ke Shanghai SIPG yang kini berada di peringkat ketiga klasemen sementara Liga China. Nilai transfernya sebesar 23 juta pounds atau Rp 406 miliar dan ia akan mendapat gaji 28.000 pounds atau Rp 5 miliar per pekan.
Di SIPG, Arnautovic akan bergabung dengan dua pemain asal Brasil, Oscar dan Hulk. Pada tahun 2017, Oscar pindah dari Chelsea dan memecahkan rekor transfer di Asia dengan nilai 60 juta pounds atau Rp 1,06 triliun. Gajinya pun fantastis, yaitu 400.000 pounds atau Rp 7 miliar per pekan.
Ini semua berawal dari revolusi persepakbolaan China dalam beberapa tahun terakhir yang didukung langsung Presiden China Xi Jinping. China ingin menjadi kekuatan besar di kancah sepak bola dunia dan para taipan pun ambil bagian dengan berinvestasi di klub-klub sehingga transfer gila-gilaan ini bisa terjadi.
Ada resiko
El Shaarawy masih berusia 26 tahun dan Oscar masih berusia 25 tahun ketika hijrah ke China. Ini membuktikan bahwa Liga China bukanlah liga untuk para pemain “tua” yang sudah tidak lagi kompetitif di liga elite Eropa. Para pemain muda berani mengambil resiko dengan bermain di liga yang persaingannya kurang ketat tetapi membuat kaya.
El Shaarawy tidak memberi tahu kepindahannya itu kepada pelatih tim nasional italia Roberto Mancini dan menurut laman Forbes, hal ini merupakan kesalahan besar. Dengan bermain di China, ia akan jauh dari pantauan sang pelatih. Kemampuan terbaiknya pun mungkin tidak bisa muncul. Artinya, El Shaarawy sedang mempertaruhkan masa depannya sebagai pemain timnas.
Marek Hamsik mantan pemain Napoli yang kini bermain untuk klub Dalian Yifang pun sudah menjadi contoh bahwa di balik uang besar ada kesulitan yang besar pula. Ia kaget melihat jumlah pelanggaran di lapangan begitu banyak dan waktu habis untuk berdebat dengan wasit. Hamsik juga kesulitan berkomunikasi dengan rekannya karena masalah bahasa. “Saya sudah mencoba yang terbaik tetapi terus menghadapi situasi seperti ini,” ujarnya.
Namun, ada pula yang bisa menikmati Liga China seperti mantan pemain Manchester City dan Juventus, Carlos Tevez. Pada 2017, Tevez bermain di Shenhua dengan gaji Rp 11,7 miliar per pekan tetapi tampil buruk dan hanya bertahan satu musim sebelum akhirnya kembali ke Boca Junior. Ia kemudian menganggap pengalaman singkatnya di China itu sebagai liburan.
Kini El Shaarawy maupun Arnautovic baru saja memulai petualangannya dan mungkin saja mereka mengalami kesulitan seperti Hamsik atau menganggapnya sebagai liburan seperti yang dilakukan Tevez. Atau justru lebih berkembang? (AFP/REUTERS)