Ribuan pesepak bola dan warga bergegas menuju Stadion Ullevi, Gothenburg, Swedia, untuk merayakan pembukaan Piala Gothia 2019. Di dalam kerumunan yang meriah itu, 18 pemain tim LKG-SKF Indonesia menyita banyak perhatian warga.
Oleh
ADRIAN FAJRIANSYAH dari Gothenburg, Swedia
·5 menit baca
Ribuan pesepak bola dan warga bergegas menuju Stadion Ullevi, Gothenburg, Swedia, untuk merayakan pembukaan Piala Gothia 2019. Di dalam kerumunan yang meriah itu, 18 pemain tim LKG-SKF Indonesia menyita banyak perhatian warga. Dengan sejumlah atribut budaya khas Indonesia, mereka jadi pusat perhatian.
Pengenalan budaya tersebut membuat Indonesia sudah bisa dibilang sukses dalam ikut serta pada kejuaraan sepak bola kelompok usia yang dirintis sejak 1975 itu. Sebab, salah satu tujuan utama Piala Gothia yang sering disebut Piala Dunia Remaja ini adalah saling mengenalkan budaya dari setiap negara.
Sekitar dua jam setelah menang 4-0 atas tim tuan rumah Gimonas Umea IF pada laga perdana Grup 4 Boys 15 Piala Gothia 2019, Senin (15/7/2019), kapten tim LKG-SKF Indonesia, Tegar Andrie Shevanton, memimpin 17 rekannya untuk menuju Stadion Ullevi. Walau masih lelah setelah bertanding, mereka tetap semangat untuk menghadiri pesta pembukaan Piala Gothia tersebut.
Tak lupa mereka mengenakan sejumlah atribut khas Indonesia, seperti belangkon dan baju surjan langgam Yogyakarta, serta alat musik othok-othok dan cendera mata wayang Hanoman. Mereka menggunakan semua atribut itu selama jalan kaki dari asrama di SMA Internasional Gothenburg hingga ke Stadion Ullevi yang dibangun untuk menggelar Piala Dunia 1958 itu.
Berjalan kaki sepanjang lebih kurang 2 kilometer mereka lakukan dengan riang gembira. Selama perjalanan, mereka membunyikan alat musik othok-othok sambil menyanyikan sejumlah lagu penyemangat. Tak henti mereka bernyanyi lantang, mulai dari selawatan, lagu ”Garuda di Dadaku”, hingga yel-yel penyemangat khas suporter sepak bola Indonesia.
Ternyata aksi para remaja berusia di bawah 15 tahun itu menyita perhatian peserta lain hingga warga setempat. Ada warga yang tinggal di sejumlah bangunan tua sekitar jalan membuka jendela untuk merekam aksi rombongan tim asal Indonesia itu. Ada pula warga yang sedang mengendarai mobil berhenti sejenak untuk merekam keheboan tersebut. Beberapa pedagang makanan pinggir jalan sampai menghentikan kerjaannya sejenak untuk sekadar tertawa melihat aksi tersebut.
Semua dilakukan untuk mengenalkan budaya-budaya yang ada di Indonesia.
Peserta lain yang juga berkelompok, bahkan, terdiam untuk melihat tim Indonesia lewat dengan keseruannya itu. Bahkan, ada tim asal negara lain yang turut ikut rombongan Indonesia guna merasakan keseruan tersebut. Secara tidak langsung, rombongan Indonesia ikut membakar semangat peserta lain untuk turut bernyanyi di sepanjang jalan.
Beberapa warga dan juga peserta ada pula yang meminta foto bersama tim Indonesia. Seusai foto, banyak yang bertanya apa nama penutup kepala yang mereka pakai, apa nama baju yang mereka kenakan, apa nama alat musik yang mereka mainkan, dan apa nama cendera mata yang mereka bawa.
”Apa kalian juga pakai penutup kepala itu saat pertandingan?” ujar warga setempat yang penasaran dengan bentuk belangkon.
Kehebohan itu bukannya berlebihan. Itu juga menjadi cara tim Indonesia menghangatkan tubuh. Apalagi suhu di Gothenburg hari itu mencapai 16 derajat celsius dengan angin semilir yang menusuk pori-pori kulit. Hari itu matahari tidak menyengat, mulai terbit sekitar pukul 04.00 hingga terbenam sekitar pukul 24.00.
Terlepas dari itu, ini sudah menjadi tradisi tim LKG-SKF Indonesia setiap datang ke Piala Gothia. Mereka selalu menggunakan sejumlah atribut khas Indonesia saat akan bertanding maupun ikut pesta pembukaan kejuaraan itu. ”Dua tahun lalu kami hadir dengan tema Nusantara di mana anak-anak memakai pakaian adat dari ujung Aceh hingga ujung Papua. Tahun lalu kami datang dengan tema Bali. Tahun ini kami memilih tema khas Jawa. Semua dilakukan untuk mengenalkan budaya-budaya yang ada di Indonesia,” ujar asisten pelatih tim LKG-SKF Indonesia, Adi Wiyono.
Pesta budaya
Pembukaan Piala Gothia 2019 memang menjadi pesta budaya untuk para peserta. Selama dua jam pembukaan, dari pukul 20.00-22.00, panitia mendesain sedemikian rupa agar semua peserta diberi kesempatan melakukan pawai di dalam stadion dengan kekhasannya masing-masing. Para peserta dengan atribut khas negaranya itu memutari lapangan di dalam stadion berkapasitas 43.000 tempat duduk itu. Para penonton yang hadir termanjakan melihat keberagaman budaya dari semua penjuru dunia.
Tahun ini, Piala Gothia 2019 diikuti oleh 1.686 tim dari 75 negara. Tidak semua tim turun melakukan pawai di dalam stadion. Setiap negara hanya diwakili oleh beberapa tim. Indonesia yang tahun ini mengirimkan empat tim, diwakili oleh tim DKI Jakarta untuk Boys 12 Piala Gothia 2019. Tim itu berpawai dengan atribut khas Betawi, mulai dari peci, kain selendang, hingga bajunya. Adapun tim LKG-SKF Indonesia tidak kebagian giliran pawai.
Di sela-sela pawai, ada pentas budaya, seperti tari dan lagu. Pentas itu dibuat sesuai dengan usia para peserta, mulai dari yang termuda U-12 hingga tertua U-18. Tari diisi dengan jingkrak-jingkrak khas masa kini yang beberapa kali diberi sentuhan klasik, seperti dari tari balet. Adapun nyanyiannya adalah lagu-lagu disko elektrik modern yang juga kadang diberi sentuhan lagu-lagu band Queen dan Scorpions.
Dengan saling mengenal, kita bisa saling menghormati.
Kombinasi itu untuk mengakomodasi penonton yang lebih tua yang turut hadir pada acara itu. Apalagi, memang beberapa tim U-12 masih didampingi orangtuanya untuk hadir di Piala Gothia. Selain itu, tak sedikit pula warga lokal yang sudah sepuh mencari hiburan dari pembukaan ajang tersebut.
Ketika menyambut kedatangan semua peserta di bawah naungan SKF di SMA Internasional Gothenburg, Minggu (14/7/2019), CEO SKF Alrik Danielson menyampaikan, Piala Gothia memang ajang kompetisi sepak bola usia muda. Namun, selain dari itu, panitia dan sponsor utama, yakni SKF, berkeinginan semua peserta menjalin pertemanan, persaudaraan, dan saling belajar dan mengenal budaya dari tempat-tempat berbeda.
”Dengan saling mengenal, kita bisa saling menghormati. Itulah yang kami harapkan dari ajang ini, selain memunculkan pesepak bola-pesepak bola baru,” kata bos besar perusahaan SKF tersebut.
Untuk urusan budaya, Indonesia mungkin tidak kalah dari negara-negara lain. Dari Aceh sampai Papua, Indonesia menyimpan budaya yang beragam dan khas. Namun, untuk prestasi sepak bola, Indonesia masih tertinggal walaupun sumber daya manusianya sangat besar, lebih dari 200 juta jiwa.
Ketertinggalan prestasi itu yang perlu dikejar oleh Indonesia melalui pembenahan sistem pembinaan, penyediaan pelatih, dan infrastruktur. Indonesia perlu berkaca dari negara-negara kecil dengan penduduk kurang dari 1 juta jiwa, seperti Eslandia, tetapi mereka bisa meloloskan timnya ke Piala Dunia.